SEWAKTU Huang Chiang Hui disebut Oey Kian Hoey, ia pernah
memenangkan Mr. Indonesia 1951 dan Mr. Indonesia 1952. Dengan
gelar itu atlit binaraga dan angkat besi kelabiran Banten (1930)
ini meninggalkan Indonesia. Sejak 1952, ia menetap di Peking dan
menjadi atlit angkatbesi Cina yang terkemuka. Beberapa kali ia
memecahkan rekor dunia kelas ringan. Kini Huang aktif sebagai
pelatih, dan menyertai tim angkat besi RRC ke Asian Games VIII,
Bangkok.
Prestasi timnya dinilainya "lumayan". Dari 10 kelas yang
dipertandingkan, Cina ikut 7 kelas dengan hasil 5 medali emas.
Tapi di mana rahasia kebolehan mereka? Wartawan TEMPO, Lukman
Setiawan berusaha langsung menggali informasi dari kubu mereka.
Laporannya:
DI kamar 517, Chavalit Hotel, Bangkok. Hadir Huang dan
pimpinan tim, Wang Hai Ju, seorang tua asal propinsi Shansi.
Ruang yang luasnya cukupan itu terasa agak sesak. Di meja tulis
ada dua semangka besar, beberapa sawo dan jeruk. Di meja lain
tampak cangkir Cocacola, yang ternyata tidak sekali pakai lalu
dibuang. Roti, obat-obatan, tumpukan peti air-soda dan banyak
lagi barang keperluan sehari-hari.
Persediaan logistik itu rupanya vital. Selama perlawatan ke
Bangkok seorang hanya diberi uang-saku AS$ 10, dan itu pun tidak
mereka kuasai. "Semua cukup di sini," kata Huang yang masih
lancar berbahasa Indonesia. "Jadi untuk belanja ke luar tidak
bisa."
Kontingen RRC terdiri atas 400 orang, termasuk rombongan
kesenian. Mereka kelihatannya lebih bebas sekarang. Boleh
berjalan-jalan ke luar, tapi dengan syarat harus paling sedikit
berdua atau berkelompok. "Ini bukan apaapa, hanya menyangkut
soal keamanan. Beberapa tahun yang lalu, ketika 'Komplotan
Bandit 4' yang dikepalai Chiang Ching masih berkuasa, berbicara
berdua dengan orang asing seperti yang kita lakukan di kamar
ini, jangan harap bisa terjadi," kata Huang.
"Sekarang kita dipersilakan memilih sendiri seragam latihan yang
kita sukai. Jadi masing-masing cabang boleh memilih merah, biru
atau hijau."
Mereka boleh membaca buku asing, majalah apa saja asal tidak
porno. Isap rokok "555" dan "Dunhill" juga mereka lakukan meski
tidak terang-terangan.
Karena kebebasan itu juga tim olahraga Cina banyak melakukan
perlawatan ke luar negeri. Menjelang AG VIII, tim renang Cina
melawat ke Tunisia dan Yugoslavia. Tim angkat besi ke Amerika
Serikat, Perancis dan Inggeris. Dari perlawatan itu mereka
merasa masih tertinggal jauh dari Eropa dan Amerika Serikat.
Seorang pelatih renang mereka, Mu Hsiang Hsiung, malah memuji
teknik dan ketahanan fisik perenang Indonesia yang dilatih di
Amerika.
Di RRC berlaku juga sistim pelatnas (TC). "Para pemain
dikumpulkan selama 4 sampai 6 bulan dalam pusat latihan,
diseleksi, lalu dipilih," kata Hou Chia Chang, pemain dobel
bulutangkis Cina yang juga berasal dari Indonesia. Tapi dalam
kehidupan sehari-hari, mereka memang sudah dikhususkan dalam
sekolah pendidikan jasmani. Para pengajarnya termasuk
tokoh-tokoh seperti Huang Chiang Hui dan pelatih nasional
lainnya. "Hidup saya sebenarnya enak-enak saja," kata Huang,
"pagi hari mengajar teori, sore hari mengajar praktek." Ia
menambahkan bahwa pembinaan yang teratur dan intensif baru
dibangkitkan lagi 5 tahun terakhir ini. "Selama periode
1965-1972, praktis pembinaan olahraga kacau. Semua dikendalikan
'Komplotan Bandit 4'."
Bentuk Baru
Keadaan serba tertutup itu membuat mereka seperti "orang yang
baru melek". Misalnya, Huang tidak pernah melihat jam tangan
yang diperlengkapi dengan stopwatch. Apalagi yang digital dengan
baterei.
Biaya hidup bagi atlit dan pembina olahraga "tidak masalah".
Huang dengan seorang isteri dan dua anak mendapat gaji 100 Yuan
($ 1 = 1,7 Yuan). Di Peking, ia tinggal di flat bertingkat 5
terdiri dari dua kamar dan 1 ruang tamu. "Di atas saya Tang
Hsien Hu dan di bawah saya Hou Chia Chang yang keduanya juga
sudah berkeluarga."
Biaya dan harga barang dia perinci: sewa flat 5 y sebulan, beras
1 kg 40 sen, telur 8 sen, daging 1,80 y, nonton bioskop 25 sen,
pakaian satu stel 100 y, baju 6 y dan sepatu 20 y. Tapi arjoji
terbilang mahal. Bikinan lokal (Shanghai 120 y. Juga sepeda,
150 y.
Rambut para atlit wanita mulai mencari bentuk baru. Mereka sudah
meninggalkan mode kepang atau buntut kuda yang dipertahankan
belasan tahun."Kini wanita boleh membuat gelombang pada
rambutnya meskipun keriting terang-terangan belum dilakukan anak
muda," kata Huang.
Di samping sebagai pelatih, Huang adalah juga anggota
Permusyawaratan Politik RRC. Indonesia, terutama Jakarta, di
mana dia dibesarkan dan menjadi terkenal, tak dapat dia lupakan.
"Apalagi jika diingat sate kambing dan gado-gadonya. "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini