Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Klasik dan kontemporer bersatulah

Pementasan musik klasik dan kontemporer dilakukan oleh mahasiswa ami & lpkj, pada tgl 21 des 1978 di teater arena, tim jakarta. (ms)

6 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAGU itu disebut Lagu Tanpa Judul. Tatkala para mahasiswa AMI (Akademi Musik Indonesia, Yogya) membawakannya, tiba-tiba seorang laki-laki muncul, naik ke kursi dan berpidato. Dengan lugu tapi juga tajam ia bicara tentang musik. Antara lain: bahwa musik yang sedang dimainkan di bawah konduktor Edward C. Van Ness itu tidak penting. Yang penting adalah pidatonya. Ini terjadi di Teater Arena, 21 Desember lalu. Malam itu rombongan AMI sedang membawakan acara lagu klasik dan kontemporer. Karuan saja para penonton menyangka ini bagian dari apa yang dinamakan musik kontemporer. "Belum selesai," kata orang yang berpidato itu ketika musik terdengar lirih. Kemudian musik menggenjot lagi, tapi orang itu turun dari kursi membawa kertas-kertas pidatonya, lalu duduk dengan tenang. Orang itu adalah Sutanto, mahasiswa tingkat II, jurusan vokal. Tak seorang pun yang tahu sebelumnya apa yang akan ia lakukan. Bahkan anak-anak AMI sendiri kaget. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena Sutanto adalah pencipta Lagu Tanpa Judul itu. Ia menyatakan, meskipun lagu itu tanpa judul, judulnya sebenarnya adalah isi pidato yang dibawakannya. Sebagaimana halnya penari Sardono, ia rupanya ingin menganggap proses sedemikian pentingnya penampilannya yang mengejutkan adalah bagian dari 'proses kreatif lagu lagunya. Kalangan AMI sendiri ada yang senang, ada yang tidak. Konduktor Van Ness terkejut -- tapi berusaha main terus, sebagaimana juga ia akan main terus kalau ada gangguan lain. "Saya belum tahu apa yang hendak dilakukannya. Saya harus menanyainya lagi apa yang di kehendakinya. Tapi, ya, saya anggap ia sudah punya sikap, dan itu baik" -- katanya kepada TEMPO. Dengan pertunjukan sekitar 3 jam dan pengunjung yang padat, AMI kali ini seperti membawa seluruh kekuatannya. Mereka menjinjing sebuah orkes lengkap dan serombongan paduan suara. Di samping itu terselip juga sebuah nomor dari para mahasiswa LPKJ -- musik kontemporer yang dinamakan Ekolog Suara. Seluruh penampilan boleh dianggap sebuah informasi terhadap apa yang terjadi di AMI -- dan kemudian LPKJ. AMI Yogya berusaha mengkombinasikan dengan skor satu-satu antara musik klasik dan kontemporer. Ini agaknya hasil usaha Van Ness (31 tahun yang baru 4 tahun mengajar di sana. Waktu ia masuk, ia melihat orientasi AMI hanya pada musik Barat. "Saya berusaha mengaitkan kembali AMI pada lingkungannya, yakni musik-musik tradisional," ujarnya. Salah satu cara yang ditempuhnya yaitu pemilihan repertoar. "Saya lihat dari segi irama, struktur, sifat, keadaan sosial serta unsur improvisasinya yang kuat, musik tradisionil lebih dekat dengan musik Barok, Renaissance dan Kontemporer." Itulah sebabnya dalam penampilan ini terlihat misalnya musik yang memiliki unsur jazz dan sebagainya -- La Creation du Monde dari Darius Milhaud (1892-1971). Ia juga membawakan karya Camille Saint-Saens (1835-1921), Danse Marcabre op. 40. Van Ness merasa penampilan AMI di Teater Arena menghadapi halangan dari segi akuistik -- dan bantuan yang bagus dari manager panggung. Baginya anakanak AMI telah muncul dengan mantap. Banyak yang semula ragu, malam itu tampil dengan yakin. Bahkan mereka ustru mendapat kepercayaan diri yang besar, gara-gara beberapa pemain profesional dari Jakarta yang ikut main ternyata mendapat kesukaran karena sulitnya partitur. Dan yang sangat penting: akrab. Van Ness ternyata menyadari hal itu."lde tentang musik," katanya, "dahulu dimulai dengan keinginan memaksa orang untuk mendengar. Tetapi ide musik sekarang adalah melayani apa yang ingin didengar orang." Ekologi Suara Yang menarik lagi adalah nomor Four for Four, sebuah ensembel perkusi yang dimainkan 2 wanita dan 2 pria. Kita mendengar komposisi bunyi dari lembut ke keras dan kemudian hilang pelahan, dengan tanjakan dan kejutan. Nomor ini, sangat komunikatif, tidak didar sari analisa yang kering dan mencapai bunyi yang kaya. Berbeda dengan itu adalah nomor kologi Suara para mahasiswa LPKJ. Diikuti bermacam instrumen yang diletakkan tersebar di seluruh panggung, baik di arena maupun di sela-sela penonton, dan dibunyikan dengan dramatik. Konsep penampilan ini, di mana bunyi dilihat sebagai bunyi dengan seluruh kekuatannya, datang dari Slamet Abdul Syukur. Tetapi nomor ini terasa terlalu berkepanjangan--yang lebih terlihat adalah keasyikan para pemain. Ia masih merupakan proses penJaJagan, meskl sebagai konsep dianggap gejala yang paling mutakhir. Tapi Frans Haryadi, bekas dosen LPKJ dan pernah dosen AMI, bergirang hati terhadap pementasan kedua akademi. "Mereka mulai mampu menjadikan musik sebagai medium ekspresi," katanya. Ia sendiri menganggap konsep yang mau disampaikan LPKJ besar, dilaksanakan dengan serius tetapi masih belum gempal. Seperti juga diceritakan Frans, di tahun 1971 misalnya -- waktu ia meninggalkan AMI -- akademi itu dalam keadaan krisis karena tidak adanya kesatuan pendapat para pengajar terhadap pengarahan -- sementara begitu banyak kecenderungan yang ada. "Meskipun AMI pernah mengalami masa puncak yang lebih baik dari sekarang, tapi akademi itu menunjukkan tanda sedang maju," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus