LAGU itu disebut Lagu Tanpa Judul. Tatkala para mahasiswa AMI
(Akademi Musik Indonesia, Yogya) membawakannya, tiba-tiba
seorang laki-laki muncul, naik ke kursi dan berpidato. Dengan
lugu tapi juga tajam ia bicara tentang musik. Antara lain: bahwa
musik yang sedang dimainkan di bawah konduktor Edward C. Van
Ness itu tidak penting. Yang penting adalah pidatonya.
Ini terjadi di Teater Arena, 21 Desember lalu. Malam itu
rombongan AMI sedang membawakan acara lagu klasik dan
kontemporer. Karuan saja para penonton menyangka ini bagian dari
apa yang dinamakan musik kontemporer. "Belum selesai," kata
orang yang berpidato itu ketika musik terdengar lirih. Kemudian
musik menggenjot lagi, tapi orang itu turun dari kursi membawa
kertas-kertas pidatonya, lalu duduk dengan tenang.
Orang itu adalah Sutanto, mahasiswa tingkat II, jurusan vokal.
Tak seorang pun yang tahu sebelumnya apa yang akan ia lakukan.
Bahkan anak-anak AMI sendiri kaget. Tapi mereka tidak bisa
berbuat apa-apa, karena Sutanto adalah pencipta Lagu Tanpa Judul
itu. Ia menyatakan, meskipun lagu itu tanpa judul, judulnya
sebenarnya adalah isi pidato yang dibawakannya. Sebagaimana
halnya penari Sardono, ia rupanya ingin menganggap proses
sedemikian pentingnya penampilannya yang mengejutkan adalah
bagian dari 'proses kreatif lagu lagunya.
Kalangan AMI sendiri ada yang senang, ada yang tidak. Konduktor
Van Ness terkejut -- tapi berusaha main terus, sebagaimana juga
ia akan main terus kalau ada gangguan lain. "Saya belum tahu apa
yang hendak dilakukannya. Saya harus menanyainya lagi apa yang
di kehendakinya. Tapi, ya, saya anggap ia sudah punya sikap, dan
itu baik" -- katanya kepada TEMPO.
Dengan pertunjukan sekitar 3 jam dan pengunjung yang padat, AMI
kali ini seperti membawa seluruh kekuatannya. Mereka menjinjing
sebuah orkes lengkap dan serombongan paduan suara. Di samping
itu terselip juga sebuah nomor dari para mahasiswa LPKJ -- musik
kontemporer yang dinamakan Ekolog Suara.
Seluruh penampilan boleh dianggap sebuah informasi terhadap apa
yang terjadi di AMI -- dan kemudian LPKJ. AMI Yogya berusaha
mengkombinasikan dengan skor satu-satu antara musik klasik dan
kontemporer. Ini agaknya hasil usaha Van Ness (31 tahun yang
baru 4 tahun mengajar di sana. Waktu ia masuk, ia melihat
orientasi AMI hanya pada musik Barat. "Saya berusaha mengaitkan
kembali AMI pada lingkungannya, yakni musik-musik tradisional,"
ujarnya. Salah satu cara yang ditempuhnya yaitu pemilihan
repertoar.
"Saya lihat dari segi irama, struktur, sifat, keadaan sosial
serta unsur improvisasinya yang kuat, musik tradisionil lebih
dekat dengan musik Barok, Renaissance dan Kontemporer." Itulah
sebabnya dalam penampilan ini terlihat misalnya musik yang
memiliki unsur jazz dan sebagainya -- La Creation du Monde dari
Darius Milhaud (1892-1971). Ia juga membawakan karya Camille
Saint-Saens (1835-1921), Danse Marcabre op. 40.
Van Ness merasa penampilan AMI di Teater Arena menghadapi
halangan dari segi akuistik -- dan bantuan yang bagus dari
manager panggung. Baginya anakanak AMI telah muncul dengan
mantap. Banyak yang semula ragu, malam itu tampil dengan yakin.
Bahkan mereka ustru mendapat kepercayaan diri yang besar,
gara-gara beberapa pemain profesional dari Jakarta yang ikut
main ternyata mendapat kesukaran karena sulitnya partitur.
Dan yang sangat penting: akrab. Van Ness ternyata menyadari hal
itu."lde tentang musik," katanya, "dahulu dimulai dengan
keinginan memaksa orang untuk mendengar. Tetapi ide musik
sekarang adalah melayani apa yang ingin didengar orang."
Ekologi Suara
Yang menarik lagi adalah nomor Four for Four, sebuah ensembel
perkusi yang dimainkan 2 wanita dan 2 pria. Kita mendengar
komposisi bunyi dari lembut ke keras dan kemudian hilang
pelahan, dengan tanjakan dan kejutan. Nomor ini, sangat
komunikatif, tidak didar sari analisa yang kering dan mencapai
bunyi yang kaya.
Berbeda dengan itu adalah nomor kologi Suara para mahasiswa
LPKJ. Diikuti bermacam instrumen yang diletakkan tersebar di
seluruh panggung, baik di arena maupun di sela-sela penonton,
dan dibunyikan dengan dramatik. Konsep penampilan ini, di mana
bunyi dilihat sebagai bunyi dengan seluruh kekuatannya, datang
dari Slamet Abdul Syukur. Tetapi nomor ini terasa terlalu
berkepanjangan--yang lebih terlihat adalah keasyikan para
pemain. Ia masih merupakan proses penJaJagan, meskl sebagai
konsep dianggap gejala yang paling mutakhir.
Tapi Frans Haryadi, bekas dosen LPKJ dan pernah dosen AMI,
bergirang hati terhadap pementasan kedua akademi. "Mereka mulai
mampu menjadikan musik sebagai medium ekspresi," katanya. Ia
sendiri menganggap konsep yang mau disampaikan LPKJ besar,
dilaksanakan dengan serius tetapi masih belum gempal.
Seperti juga diceritakan Frans, di tahun 1971 misalnya -- waktu
ia meninggalkan AMI -- akademi itu dalam keadaan krisis karena
tidak adanya kesatuan pendapat para pengajar terhadap pengarahan
-- sementara begitu banyak kecenderungan yang ada. "Meskipun AMI
pernah mengalami masa puncak yang lebih baik dari sekarang, tapi
akademi itu menunjukkan tanda sedang maju," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini