TAHUN 1979, tahun domestik bagi atlit Indonesia. Tiada lagi
latihan ke luar negeri. Begitu keputusan Ketua Harian KONI
Pusat, D. Soeprajogi pekan lalu. "Untuk menghadapi SEA Garnes
X," katanya, "Cukup didatangkan pelatih dari luar sebagai
gantinya."
Soeprajogi cukup mengejutkan, memang. Ketika menghadapi Asian
Games VIII di Bangkok Desember lalu, hampir seluruh dari 11
cabang olahraga yang dipersiapkan kebagian jatah di luar
negeri. Renang, misalnya, sudah sejak tahun 1975 di San Diego,
AS. Juga tenis meja di Senta, Yugoslavia sampai waktu yang
panjang. Latihan yang murni di dalam negeri hanya bulutankis.
Untuk persiapan SEA Games X di Jakarta September depan, KONI
Pusat jelas menghadapi kekurangan dana. "Dari 650 juta yang
diperlukan, pemerintah memberi cuma Rp 500 juta," tutur
Soeprajogi. Indonesia harus mempersiapkan 18 cabang olahraga
yang dipertandingkan di SEA Games nanti.
Mengingat keterbatasan biaya itu, Soeprajogi memilih pelatih
yang berasal dari negara sosialis dengan bayaran sedikit lebih
murah dibandingkan mereka yang berasal dari Barat. KONI Pusat
menyediakan honorarium US$1000 per bulan plus ongkos tinggal di
sini untuk pelatih dari negara sosialis.
Pelatnas SEA Games X dimulai Maret. Waktunya sangat mendesak.
Tampaknya KONI Pusat tak mempunyai banyak pilihan. Apalagi
mengingat seorang atlit yang dilatih di luar negeri akan meminta
biaya sedikitnya US$ 450/bulan.
Ada untung-rugi untuk mendatangkan pelatih atau mengirimkan
atlit ke luar negeri. Bila ia berlatih di luar negeri, "banyak
sekali pertandingan yang bisa diikuti," cerita Soeprajogi.
'Kalau pelatih didatangkan, jumlah atlit yang memetik manfaat
bisa lebih banyak." Di kandang sendiri, tentu saja, atlit tak
bisa menakar kekuatan lawan.
Bikin Hancur?
Gagasan Soeprajogi mengecewakan olahragawannya sendiri. Atlit
panahan, Donald Pandiangan, misalnya, berpendapat: "Di luar
negeri, kita punya kesempatan lebih banyak." Mengenai
pendatangan pelatih, ia tampak agak keberatan. "Kalau latihan di
dalam negeri, lebih baik ditangani langsung oleh pelatih
Indonesia," ucap Pandiangan. "Supaya hubungan batin antara si
atlit dan pelatih lebih dekat."
Keberatan Pandiangan itu tampak didasari oleh pengalamannya
menghadapi AG VIII lalu. Lima minggu menjelang keberangkatan,
KONI Pusat mendatangkan Tadeusz Purzycki, pelatih panahan dari
Polandia. Bagaimana kenyataannya? "Prestasi kita hancur,
gara-gara pelatih itu (maksudnya: Purzycki) melakukan perombakan
terhadap teknik, timng, dan moment yang sudah biasa kita
lakukan selama ini," lanjut Pandiangan. "Lain hal, kalau
persiapannya lebih panjang. Sedikitnya 1 tahun." Di AG VIII, tim
panahan Indonesia hanya merenggut 1 medali perunggu dari 2
medali emas yang diharapkan.
Di mata pelatih Indonesia, kehadiran rekannya dari luar negeri
memang dirasakan perlu. Tapi bukan untuk langsung menangani
atlit, melainkan buat menatar saja. Pendapat itu antara lain
tercermin dari pelatih renang, drs. Saparjiman. "Pelatih kita
sebetulnya tidak kalah dibandingkan mereka," komentar pelatih W.
T. Item, juga dari renang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini