SESAMA taekwondo lokal rupanya tak mau bersaing lagi. Ada
Persatuan Taekwondo Indonesia (PTI) pada mulanya. Ada pula
kemudian Federasi Taekwondo Indonesia (FTI). Sesudah lama
berpisah, hanya karena berbeda sistem pertandingan, keduanya
kini sepakat untuk bersatu.
Tapi perbedaan sistern itu belum sepenuhnya bisa diausi. PTI
yang dipimpin Leo Lopulisa mempunyai sistem sama dengan ITF
(Federasi Taekwondo Internasional) yang berpusat di Kanada.
Adalah Choi Hong-kee, orang Korea yang mendirikan ITF, yang
menguji Lopulisa untuk naik tingkat Dan II (1972). Sedang
Lopulisa menggemari sistem kontrak terkontrol (controlled
contact).
FTI yang dipimpin Sugiri, Dirjen Perhubungan Udara, menggunakan
sistem kontak penuh (full contact). Seorang pengusaha asal
Korea, Kim Yong-tai, pernah membina mereka yang terkemuka di
FTI. Kim bermukim di Indonesia sebelum pindah ke Australia dalam
tahun 1970-an.
Persaingan antara PTI dan FTI terutama menonjol di Semarang,
Surabaya dan Medan. Di negera asalnya, Korea, taekwondo pun
mengalami persaingan organisasi. "Tak perlu persaingan itu kita
impor pula," kata Lopulisa. Sugiri pun pernah sependapat dengan
Lopulisa ketika keduanya menghadap D. Suprayogi, tokoh KONI,
tahun 1977. Namun keduanya waktu itu terlalu sibuk dengan urusan
masing-masing hingga niat persatuan tertunda terus.
Bila keduanya tetap berpisah, demikian sikap KONI, taekwondo tak
mungkin dipertandingkan dalam PON 1981, yang berlangsung
September. Agaknya itulah yang mendorong PTI dan FTI mengadakan
musyawarah di KONI, 28 Maret, selama 3 jam.
Kedua golongan itu akhirnya sepakat membentuk Pengurus Besar
(PB) Taekwondo Indonesia. Lopulisa terpilih sebagai ketua umum,
sedang Sugiri sebagai pembina. Karena Lopulisa akan segera
bertugas di luar negeri, tokoh lain tampaknya akan memegang
peranan guna mengatasi pertikaian semula mengenai kontak penuh
atau kontak terkontrol. Dalam PB itu terdapat juga Kadapol Metro
Jaya Anton Sudjarwo (Ketua I), Manunggal Maladi bekas FTI (Ketua
II) dan Suharno Gunawan bekas PTI (Ketua III).
Tantangan pertama bagi masyarakat taekwondo Indonesia adalah
Kejuaraan Nasional 24-26 April di Senayan. Sistem full contact
akan dipakai dalam pertandingan itu, tapi penggemar controlled
contact akan dapat kesempatan mengisi acara demonstrasi.
"Biarkan saja (kedua sistem itu) berkembang secara alamiah,"
kata Sugiri. Artinya, siapa saja yang berpindah dari satu ke
lain sistem tak perlu takut lagi. "Mereka bebas memilih,"
sambung Lopulisa.
Di dalam negeri persoalannya sudah selesai tampaknya. Namun PB
Taekwondo masih harus memutuskan bagaimana cara mengikuti
kejuaraan internasional. Mau pilih sistem WTF atau ITF?
Kejuaraan dunia di Santa Clara mulai 26 Juli, misalnya, akan
memakai dewan juri dari WTF. Bagi peserta bekas FTI yang dulu
dekat dengan WTF soal ranking dalam pertandingan tak akan jadi
soal. Tapi juri WTF mungkin menolak peserta bekas PTI yang
ranking-nya belum diakui organisasi internasional itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini