Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Era baru ke ruang angkasa

Rencana peluncuran pesawat shuttle "columbia" di landasan nasa, cape kennedy, merupakan penerbangan perdana space shuttle yang tertunda hampir dua tahun proyek ini sebagai sistem angkutan ruang angkasa.(ilt)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR dua tahun tertunda rencana peluncurannya. Proyek Space Shuttle sudah menelan biaya jauh melampaui anggarannya semula. Tampaknya kini berbagai kesulitan sudah teratasi. Dua pekan lalu program Amerika Serikat itu sempat mengambil jiwa seorang pekerja. Pekan lalu uji coba mesin pesawat itu untuk kesekian kali dilakukan dengan berhasil, melambungkan harapan peluncurannya kelak. Di Landasan NASA (Pusat Ruang Angkasa), Tanjung (Cape) Kennedy, Florida, AS, peluncuran Space Shuttle pertama yang diharapkan pekan ini. Peluncuran dan operasinya memang sudah ditunggu berbagai negara. Banyak instansi sudah memesan tempat, hingga kini 47 penerbangan pesawat shuttle yang diberi nama Columbia, sudah terjual. Juga Indonesia sudah memesan tempat untuk meluncurkan satelit komunikasi Palapa generasi berikutnya. Columbia merupakan yang pertama dari sebuah armada. Saat ini 3 pesawat serupa dalam berbagai tahap penyelesaian, hingga menjelang pertengahan 1980-an diharapkan beroperasi suatu sistem angkutan ruang angkasa. Armada ini bakal menggantikan hampir semua sarana pesawat ruang angkasa lainnya, terutama yang berdasarkan roket dan peralatan yang sebagian besar terbuang. "Saat kami memasuki tahap operasi dan bisa menerapkan suatu jadwal penerbangan tetap, kemungkinan komersial tak terhingga," kata Jesse Moore yang mengkoordinasikan rencana penerbangan shuttle di NASA. Tahap operasi penuh diharapkan dalam tahun 1982, setelah pesawat Columbia melakukan 4 kali penerbangan tes ke ruang angkasa. Setiap penerbangan tes itu dikemudikan seorang komandan dan seorang pilot. Penerbangan yang direncanakan pekan ini -- menurut rencana 54 jam -- akan dikemudikan oleh John W. Young sebagai komandan dan Kapten Robert L. Crippen sebagai pilot. Young, 50 tahun sudah berpengalaman dalam penerbangan ke ruang angkasa, bahkan ke bulan. Bagi Crippen, 43 tahun, penerbangan ini pertama kali meski ia sudah mempersiapkan diri sejak 1968. Kedua astronaut itu terpilih dalam Maret 1978, ketika NASA memperkirakan penerbangan perdana Space Shuttle pada pertengahan 1979. Sementara tertunda, keduanya menyibukkan diri dengan berbagai jenis latihan persiapan. Mereka berlatih dengan simulator yang menyerupai keadaan cockpit Columbia. Pada layar televisi simulator itu tampil keadaan di ruang angkasa dan keadaan mendarat kembali di bumi. Semua gambar dikendalikan komputer. Keunikannya ialah pesawat itu, setelah mengorbit di ruang angkasa, kembali mendarat di bumi seperti pesawat terbang biasa. Pesawat itu akan bisa diluncurkan berulang kali hingga -- seperti dikemukakan NASA -- penerbangan ke ruang angkasa menjadi murah. Bukan hanya itu. Sebagian besar peralatan yang diluncurkan akan kembali utuh ke bumi. Selama ini dalam peluncuran ke ruang angkasa sebagian besar tabung roket dan peralatan lain dilepas dan hancur dalam atmosfir hingga yang kembali hanya kapsul yang memuat para astronaut. Tujuan utama Space Shuttle ialah mengangkut berbagai benda dan peralatan ke ruang angkasa. Untuk itu pesawatnya dilengkapi sebuah palka -- panjang 18 m dengan diameter 4,5 m -- yang bisa memuat baran sampai 30 ton. Sejumlah satelit bisa diangkutnya ke dalam orbit sesuai dengan kebutuhan. Bahkan satelit yang rusak dalam orbit akan bisa direparasi atau diangkut kembali ke bumi jika perlu. Pesawat itu bisa pula berfungsi sebagai laboratorium penelitian di ruang angkasa, membantu penelitian astronomi, pengamatan cuaca di bumi, menemukan sumber daya alam, meneliti samudra dan bertindak sebagai bengkel pengangkut barang untuk berbagai konstruksi di ruang angkasa kelak. Menjelang tahun 1985, menurut rencana, sebuah teleskop raksasa bergaris tengah 2,43 m akan diangkutnya. Alat itu, bisa mengamat ruang angkasa 7 kali lebih jauh dari teleskop di bumi kini. Space Shuttle untuk tujuan militer juga suatu kemungkinan. Terutama penempatan berbagai satelit pengintai dan pos komando di ruang angkasa yang lengkap dengan peluru kendali. "Kami merencanakan peralihan ke sistem shutle menjelang tahun 1983," kata Harold Brown, Menteri Pertahanan zaman Carter, tahun lalu. "Ketergantungan kami pada shuttle menjadi mutlak." Tentu saja rencana ini tidak terlepas dari pengamatan Uni Soviet. Suratkabar resmi Pravda telah menuduh AS menyebarkan perlombaan senjata ke dalam ruang angkasa. Yang bakal dilontarkan ke ruang angkasa itu terdiri atas empat komponen. Komponen utama ialah Columbia, pesawat pengorbit. Besarnya mirip sebuah DC-9, jenis pesawat jet milik Indonesia yang pekan lalu dibajak ke Bangkok. Perbedaan utama ialah sayapnya berbentuk delta dan terpasang di bagian belakang tubuh pesawat. Columbia menggunakan 3 mesin utama yang dinyalakan dengan bahan bakar hidrogen dan oksigen cair. Pesawat ini nongkrong di atas tangki bahan bakar cair ini yang panjangnya 47 m, lebih panjang dan besar daripada pengorbit itu sendiri. Pada sisi kiri dan kanan tangki raksasa, yang terbuat dari aluminium khusus itu, terpasang tabung roket yang lebih kecil berisikan bahan bakar padat. Pesawat Layang-layang Dua menit pertama dari saat peluncuran, dua roket ini membantu dorongan ketiga mesin Columbia. Setelah itu kedua tabung yang sudah kosong itu dilepas dan jatuh kembali ke Samudra Atlantik dengan parasut. Tabung ini dipungut untuk kemudian dipergunakan lagi setelah diisi kembali dengan bahan bakar padat. Ini berupa campuran aluminium perkhlorat, bubuk aluminium, oksida besi dan bahan perekat polimer. Enam menit berikutnya kendaraan ini didorong mesin utama yang memperoleh bahan akar cair dari tangki raksasa. Setelah kosong, tangki ini pun dilepas dan jatuh. Komponen ini hancur dalam lapisan atmosfir. Selanjutnya Columbia dikendalikan dua roket kecil pada tubuhnya untuk menemukan posisinya yang tepat dalam orbit. Kedua roket ini juga nanti mengarahkan pesawat pengorbit itu untuk kembali ke atmosfir bumi dan kemudian mendarat tanpa mesin, seperti pesawat layang-layang raksasa. Mendekati landasan sepanjang 5 km -- kecepatannya masih berkisar 370 km per jam -- pesawat ini membuka rodanya. Hanya itu yang dilakukan secara manual. Semua manouvre lainnya dikendalikan oleh komputer. Para astronaut bertugas mengawasi keempat komputer dalam Columbia dan mengoreksinya bila terjadi kesalahan. Satu komputer lagi dicadangkan. Kombinasi roket, tangki dan pesawat ruang angkasa berkembang dari berbagai rencana, keputusan dan kompromi sejak Presiden Nixon menyetujui proyek Space Shuttle, Januari 1972. Problem terutama menyangkut lapisan pelindung yang harus menyerap panas yang mencapai hampir 1.500øC bila Columbia memasuki kembali lapisan udara bumi. Lapisan ini terbuat dari 30.992 lembar tegel kaca silika. Setiap lembar berbentuk sesuai dengan bagian tubuh yang dilindunginya dan harus lengket demikian kuat hingga tahan panas dan guncangan udara. Menurut Marshall Kaplan, ahli NASA, kehilangan satu lembar saja bisa menyebabkan kebakaran total. Ternyata waktu diuji ribuan lembar tegel tidak memenuhi syarat dan ribuan lagi mengalami kegagalan setelah pesawat Columbia diangkut dari perusahaan Rockwell International di California ke Tanjung Kennedy, menumpang di punggung sebuah Boeing 747. Ratusan juru teknik muda terpaksa dikerahkan siang malam membuka semua lembar tegel itu dan mengembalikannya lagi kemudian. Problem lain terjadi dalam pengembangan mesin utama Columbia. Mesin ini paling mutakhir, relatif kecil, harus mampu mengembangkan daya dorong sebesar 170 ton lebih dan bertahan terhadap berbagai tekanan luar biasa. Proses pengembangan mesin itu penuh dengan berbagai kegagalan: Katup yang meledak, sambungan las yang tidak tahan, tabung bahan bakar yang pecah, daun turbin yang retak. Bahkan pernah mesin itu sendiri meledak. Awal 1979, Pemerintahan Carter pernah mengkhawatirkan nasib proyek shuttle ini. Carter mengusahakan dana tambahaan. Anggarannya mencapai US$ 6,3 milyar (Rp 3.937 milyar) -- dihitung dengan nilai dollar tahun 1971. Kalau diperhitungkan tingkat inflasi, kini ia bisa mencapai US$ 10 milyar (Rp 6.250 milyar), bahkan jauh lebih dari itu jika juga diperhitungkan ongkos, lain yang berhubungan tidak langsung dengan proyek ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus