Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI puncak gunung, dia menyepi. Dia tak mau diganggu macam-macam urusan. Persis seperti Rocky Balboa yang mengungsi ke gurun es di Rusia sebelum menghadapi Ivan Drago, petinju komunis yang kejam, dalam film Rocky IV, begitulah Oscar de la Hoya. Dia pergi dari hiruk-pikuk Los Angeles, naik pesawat, dan membenamkan diri di Big Bear, sebuah kawasan pegunungan indah tapi sangat terpencil di California Selatan.
Di sana, Oscar berusaha mengembalikan masa mudanya. Setidaknya, dia ingin bugar seperti sepuluh tahun silam. Pegunungan ini dianggap cocok membantu mengembalikan kondisinya. Maklum, di ketinggian yang mencapai 7.000 meter dari permukaan laut, kondisi tubuhnya bisa lebih singset dengan cepat. Berlatih di udara dengan kadar oksigen sangat tipis cocok untuk meningkatkan daya tahan fisik.
Alhasil, sansak pun oleng dihajar kepalannya. Lari menaklukkan bukit menjadi sarapan keduanya. Peluh menetes hampir tak henti selama dua bulan dia berada di sana. Usianya yang sudah masuk 35 tahun seolah terkorting. Wajah dan tubuh Oscar bugar bin segar. Berat badannya susut 7,5 kilogram.
Tentu saja ada yang memicunya. Semua itu dilakukan demi pertarungannya dengan Manny Pacquiao, petinju asal Filipina. ”Pacquiao menyalakan semangat hidupku. Anda tahu, kan, betapa beratnya berlatih di kawasan yang udaranya sangat tipis,” katanya.
Pertarungan yang digelar di Las Vegas, Amerika, Minggu lalu ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan gelar apa pun. Namun ajang tersebut tetap sangat bergengsi. Siapa pun tahu, untuk saat ini, Manny adalah penguasa kelas welter. Hampir tak ada lagi lawan yang sebanding dengannya. Semua sudah ditaklukkan. Manny kesulitan mencari lawan sepadan.
Eh, jangan lupa. Tinju adalah bisnis tontonan yang paling asoy buat mengumpulkan uang. Oscar pun melihat peluang di sana. Di kala seorang petinju melenggang sendirian, itu artinya ada kesempatan bagi sang old crack seperti dirinya untuk kembali berlaga. Apalagi Oscar punya rekor sempurna: dia bisa dibilang merajai ring tinju pada 1990-an.
Pertandingan model seperti ini lumrah. Contohnya banyak sekali. Saat sudah kepayahan, Muhammad Ali akhirnya bersedia bertanding lagi melawan Larry Holmes, yang berada di masa kejayaannya. Demikian pula yang terjadi dengan Holmes. Ketika memasuki masa pensiun, ia bisa dipanggil naik ring melawan Mike Tyson. Alhasil, sang old crack pun dibantai. Kekuatan tua dan muda memang tak sepadan.
Oscar tak tahu soal itu? Soal memilih lawan tanding, dia jagoannya. Terbukti catatan pertandingannya bisa elok hingga 44 partai. Apalagi, setelah dilihat-lihat, ternyata fisik Manny yang cungkring dia anggap ”cocok” sebagai lawannya. Tubuh Oscar lebih besar ketimbang Manny. Di luar itu, wuih, lebih sedap lagi. Ada bau fulus yang menyengat dari pria kecil asal Filipina itu.
Itulah sebabnya Oscar maju ke ring tidak saja sebagai petinju, tapi juga sebagai promotor. Untuk pertandingan ini, dia mengeluarkan uang hingga US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun. Dia juga menggadang-gadangnya sebagai fight of the year mengalahkan popularitas semua pertarungan di ring tinju sepanjang tahun ini.
Tak ada yang salah tentu saja. Pertarungan Oscar dan Manny merupakan salah satu partai yang banyak ditunggu para penggila olahraga adu gebuk ini. Amat sayang bila dilewatkan. Apakah itu artinya? Uang bertebaran di sana.
Coba kita utak-atik uang yang akan turun bersamaan dengan pertandingan ini. Tiket langsung sold out tak lama setelah resmi dijual. Total pendapatan dari pintu masuk ini mencapai lebih dari US$ 17 juta atau sekitar Rp 205 miliar.
Dari penonton televisi, setidaknya dia mendapatkan US$ 55 setiap menit dari 750 ribu rumah. Uang dari iklan itu akan makin gendut ketika kedua petinju rela berlama-lama di atas ring. Itu baru di Amerika Serikat saja. Bila dijumlahkan dengan kawasan lain, bisa jadi kalkulatornya hang. Pokoknya, semua pertimbangan, ujung-ujungnya duit.
Orang tak perlu merasa heran dengan pertandingan semacam itu. Namanya juga pasar bebas. Dan Oscar adalah penganut yang setia. Seperti dalam biografinya, American Son, Oscar memang menempatkan uang di posisi yang penting dalam hidupnya.
Bagusnya, Oscar punya modal cukup. Dia secara mengejutkan menjadi peraih medali emas pada Olimpiade 1992. Sejak itulah dia menjulang, dengan kisah yang berakhir manis: menjuarai lima gelar tinju dalam kelas berbeda, yang menempatkannya sebagai petinju elite. Oscar pun sering dijadikan contoh sebagai salah satu petinju kontemporer terbaik di Amerika.
Alhasil, dengan bekal yang hampir sempurna itu, dia merambah berbagai mesin uang. Pertama tentu saja soal wajahnya yang tampan sehingga laku dijual untuk berbagai produk iklan. Dia pun sempat membuat album musik pada 2000 dengan judul Oscar, dengan hit Ven A Mi. Lagu ini juga sempat masuk nominasi Grammy Award.
Episode berikutnya adalah mencari duit. Dengan kemampuannya beraksi dan kehebatannya mendramatisasi sebuah pertarungan, dia juga menjadi salesman brilian. Mau bukti? Golden Boy Promotions, perusahaannya, yang mengadu petinju, kini menjadi salah satu perusahaan mapan.
Duit memang menjadi panglima Oscar. Saat bertarung di masa kecilnya, dia selalu mendapatkan uang dari keluarganya. ”Bisa dapat satu dolar, setengah dolar. Pokoknya, saya selalu mendapat uang tiap kali bertinju,” katanya sumringah.
Duit pula yang membuat keberaniannya timbul. Tentu ini berbeda dengan yang terjadi sebelumnya. Saat dia diajak bertinju pertama kali pada usia empat tahun, abangnya langsung memakaikan sarung tinju dan pelindung kepala. Tahu apa yang terjadi? Oscar menangis keras-keras. Sepupunya berhasil mendaratkan pukulan di bagian hidungnya. Keras sekali.
Nah, sekarang keadaannya sudah berbeda. Bagi Oscar, menang atau kalah itu urusan kesekian. Yang penting, dia menangguk dolar sebanyak-banyaknya. Kalaulah kalah, dia masih bisa mengemas pertandingan ulang, yang harganya makin menggila. Sebaliknya, bila menang, dia bisa mundur sejenak, lalu kembali ke ring. Jurusnya pun tetap sama: diet, duel, dan duit.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo