MENURUT cerita, ada semacam sepakbola "gaya Solo". Jika seorang
pemain mendapat tendangan penalti, ia akan sengaja menyodorkan
bola kepada kiper atau menendangnya ke luar gawang. Gol yang
diciptakan lewat tendangan dari titik penalti dianggap tidak
jantan, tidak gagah. Konon di beberapa daerah juga berlaku
kebiasaan semacam itu. Ini kebiasaan zaman sebelum perang dulu.
Tapi apa yang terjadi pada pertandingan Turnarmen Piala Suharto,
antara Persija lawan Surabaya, paling tidak mengingatkan
kebiasaan kuno itu. Persija oleh Wasit Runtukahu diberi
kesempatan untuk mengambil penalti, akibat pelanggaran yang
dilakukan oleh Lukman Santoso terhadap Risdianto di daerah
penalti. Keputusan wasit ini menimbulkan protes dari pihak
Persebaya. Dan mereka mogok. Tendangan penalti diteruskan --
tanpa kehadiran Didiek Noerhadi, penjaga gawang Persebaya. Pada
saat ini Ronny Pasla yang ditugaskan sebagai algojo dengan
tenang menendang bola ke luar gawang.
Perbuatan Ronny itu menimbulkan pelbagai interpretasi. Waktu itu
kedudukan sementara diungguli Persebaya 2-1. Tapi yang pasti,
tendangan penalti yang tidak membuahkan gol itu, telah
menyelamatkn jalan buntu. Artinya setelah itu pertandingan
dilanjutkan dan berakhir dengan kemenangan Persija 3-2
Yang berlainan dengan "gaya Solo" adalah tendangan penalti itu
terjadi tanpa kawalan penjaga gawang. Bertolak dari peraturan
permainan FIFA (Federasi Sepakbola Dunia) "Law 5" tentang
wewenang yang dilimpahkan kepada wasit, kita tidak bisa lain
kecuali menerimanya. Juga "Law 12" tentang pelanggaran yang
menurut interpretasi wasit harus diganjar dengan hukuman
penalti, kita harus taati. Tapi dalam pelaksanaan hukuman
penalti seperti yang disebutkan dalam "Law 14" Seorang penjaga
gawang harus berada di gawangnya -- tidak terpenuhi. Karena
Persebaya pada waktu itu dalam keadaan mogok.
Peristiwa itu terjadi dalam suatu turnamen memperebutkan Piala
Presiden, bukan sekedar pertandingan persahabatan. Dan hasil
pertandingan di antara kedua kesebelasan itu bisa mempengaruhi
kedudukan peserta lain. Sehingga bisa juga diinterpretasikan
sebagai "main sabun". Meski keadaannya jauh dari maksud
demikian. Maka, jika PSMS dan Persipura mengajukan protes
terhadap kebijaksanaan wasit yang tidak menindak pembangkangan
kesebelasan yang bersangkutan, sangat dapat dimengerti. Tapi
toleransi yang kemudian ditumbuhkan oleh semua peserta dengan
menganggap "persoalan sudah selesai", nampaknya tidak juga
memecahkan dilema sepakbola kita dewasa ini.
Di satu pinak wasit itu maha kuasa yang keputusannya harus
dipatuhi dengan penuh disiplin di lain pihak keputusan wasit
itu terlalu sering mencerminkan kurang trampilnya ia mentrapkan
peraturan yang berlaku. Sehingga dirasakan berat sebelah. Dan
ini hampir selalu terjadi pada pimpinan wasit PSSI. Dalam
pertandingan Pre Olimpik yang baru lalu, antara Indonesia dan
Malaysia, kok pemain-pemain PSSI bisa menerima keputusan wasit
yang melegalisir gol Mochtar Dahari yang sangat berbau offside?
Tanpa banyak cing-cong mau mogok segala. Tepat sekali jawab Sir
Stanley Rous, ketika Ketua FIFA ini mendapat pertanyaan dari
seorang wartawan Asia: Dapatkah suatu kesebelasan Asia
memenangkan Piala Dunia (World Cup)? "Kenapa tidak", kata Rous,
"kalau wasit yang memimpin pertandingan membuat kesalahan".
Kenyataannya pimpinan PSSI menurunkan para wasit "yunior" dalam
turnamen besar ini memang tak terbantah. Dalam "welcome party"
sehari menjelang pertandingan pertama Turnamen Piala Suharto,
Ketua Komisi Wasit PSSI, Budhi Prasetyo, bukan tidak mengendus
kericuhan yang bakal timbul karena kelemahan pimpinan
wasit-wasit muda. "Coba lihat", katanya pada wartawan TEMPO,
"semua wasit hendak diatur oleh Ketua Umum PSSI Bardosono.
Padahal kebanyakan dari mereka masih kurang berpengalaman". Tapi
Prasetyo berhenti di situ. Ia tidak berusaha membantah untuk
memperbaiki kekeliruan Ketua Umum. Di sini jadi jelas "hak
mandataris" seorang Ketua Umum yang lazim berlaku dalam bidang
"politis-organisatoris" dibiarkan merembet ke bidang "teknis
permainan". Tak seorang pun dari pimpinan lainnya yang berani
mengoreksi. Selama semangat "yes-man" dan "abs" masih dominan
dalam soal-soal yang prinsipiil, nampaknya penyelesaian setiap
kericuhan akan condong pada "gali lubang tutup lubang".
Investasi PSSI besar-besaran percuma saja, jika aspek perwasitan
-- bagian integral dari permainan sepakbola -- tidak mendapat
perhatian yang seimbang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini