Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Gali Lubang Tutup Lubang

Saat skor 2-1 utk persebaya, persija dapat tendangan finalti. R Pasla yang bertindak sebagai algojo. bola ditendang keluar. karena itu kemenangan persija 3-2 atas persebaya dicurigai. (or)

24 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENURUT cerita, ada semacam sepakbola "gaya Solo". Jika seorang pemain mendapat tendangan penalti, ia akan sengaja menyodorkan bola kepada kiper atau menendangnya ke luar gawang. Gol yang diciptakan lewat tendangan dari titik penalti dianggap tidak jantan, tidak gagah. Konon di beberapa daerah juga berlaku kebiasaan semacam itu. Ini kebiasaan zaman sebelum perang dulu. Tapi apa yang terjadi pada pertandingan Turnarmen Piala Suharto, antara Persija lawan Surabaya, paling tidak mengingatkan kebiasaan kuno itu. Persija oleh Wasit Runtukahu diberi kesempatan untuk mengambil penalti, akibat pelanggaran yang dilakukan oleh Lukman Santoso terhadap Risdianto di daerah penalti. Keputusan wasit ini menimbulkan protes dari pihak Persebaya. Dan mereka mogok. Tendangan penalti diteruskan -- tanpa kehadiran Didiek Noerhadi, penjaga gawang Persebaya. Pada saat ini Ronny Pasla yang ditugaskan sebagai algojo dengan tenang menendang bola ke luar gawang. Perbuatan Ronny itu menimbulkan pelbagai interpretasi. Waktu itu kedudukan sementara diungguli Persebaya 2-1. Tapi yang pasti, tendangan penalti yang tidak membuahkan gol itu, telah menyelamatkn jalan buntu. Artinya setelah itu pertandingan dilanjutkan dan berakhir dengan kemenangan Persija 3-2 Yang berlainan dengan "gaya Solo" adalah tendangan penalti itu terjadi tanpa kawalan penjaga gawang. Bertolak dari peraturan permainan FIFA (Federasi Sepakbola Dunia) "Law 5" tentang wewenang yang dilimpahkan kepada wasit, kita tidak bisa lain kecuali menerimanya. Juga "Law 12" tentang pelanggaran yang menurut interpretasi wasit harus diganjar dengan hukuman penalti, kita harus taati. Tapi dalam pelaksanaan hukuman penalti seperti yang disebutkan dalam "Law 14" Seorang penjaga gawang harus berada di gawangnya -- tidak terpenuhi. Karena Persebaya pada waktu itu dalam keadaan mogok. Peristiwa itu terjadi dalam suatu turnamen memperebutkan Piala Presiden, bukan sekedar pertandingan persahabatan. Dan hasil pertandingan di antara kedua kesebelasan itu bisa mempengaruhi kedudukan peserta lain. Sehingga bisa juga diinterpretasikan sebagai "main sabun". Meski keadaannya jauh dari maksud demikian. Maka, jika PSMS dan Persipura mengajukan protes terhadap kebijaksanaan wasit yang tidak menindak pembangkangan kesebelasan yang bersangkutan, sangat dapat dimengerti. Tapi toleransi yang kemudian ditumbuhkan oleh semua peserta dengan menganggap "persoalan sudah selesai", nampaknya tidak juga memecahkan dilema sepakbola kita dewasa ini. Di satu pinak wasit itu maha kuasa yang keputusannya harus dipatuhi dengan penuh disiplin di lain pihak keputusan wasit itu terlalu sering mencerminkan kurang trampilnya ia mentrapkan peraturan yang berlaku. Sehingga dirasakan berat sebelah. Dan ini hampir selalu terjadi pada pimpinan wasit PSSI. Dalam pertandingan Pre Olimpik yang baru lalu, antara Indonesia dan Malaysia, kok pemain-pemain PSSI bisa menerima keputusan wasit yang melegalisir gol Mochtar Dahari yang sangat berbau offside? Tanpa banyak cing-cong mau mogok segala. Tepat sekali jawab Sir Stanley Rous, ketika Ketua FIFA ini mendapat pertanyaan dari seorang wartawan Asia: Dapatkah suatu kesebelasan Asia memenangkan Piala Dunia (World Cup)? "Kenapa tidak", kata Rous, "kalau wasit yang memimpin pertandingan membuat kesalahan". Kenyataannya pimpinan PSSI menurunkan para wasit "yunior" dalam turnamen besar ini memang tak terbantah. Dalam "welcome party" sehari menjelang pertandingan pertama Turnamen Piala Suharto, Ketua Komisi Wasit PSSI, Budhi Prasetyo, bukan tidak mengendus kericuhan yang bakal timbul karena kelemahan pimpinan wasit-wasit muda. "Coba lihat", katanya pada wartawan TEMPO, "semua wasit hendak diatur oleh Ketua Umum PSSI Bardosono. Padahal kebanyakan dari mereka masih kurang berpengalaman". Tapi Prasetyo berhenti di situ. Ia tidak berusaha membantah untuk memperbaiki kekeliruan Ketua Umum. Di sini jadi jelas "hak mandataris" seorang Ketua Umum yang lazim berlaku dalam bidang "politis-organisatoris" dibiarkan merembet ke bidang "teknis permainan". Tak seorang pun dari pimpinan lainnya yang berani mengoreksi. Selama semangat "yes-man" dan "abs" masih dominan dalam soal-soal yang prinsipiil, nampaknya penyelesaian setiap kericuhan akan condong pada "gali lubang tutup lubang". Investasi PSSI besar-besaran percuma saja, jika aspek perwasitan -- bagian integral dari permainan sepakbola -- tidak mendapat perhatian yang seimbang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus