RUMAH di Kompleks Timah Nomor 2, Cilandak, Jakarta Selatan itu sejak Rabu pekan lalu tidak pernah sepi. Lebih-lebih bila malam. Orangorang ikut tahlilan. Achmad Effendi, 65 tahun, menerima arus tamu dengan wajah duka. Lelaki ini kehilangan putra ketiganya, Didiek Samsu Wahyu Triachdi, 30 tahun. "Kalau ibu, sih, sudah nggak tahan. Capek, sedih, sampai sakit. Sekarang istirahat di kamar," ujar Machdi, abang Didiek. Kematian Didiek mengguncang keluarganya. Apalagi ia cuma sempat pamit pada ibunya. Pagi sebelum berangkat itu, Didiek menunggui ibunya yang sedang salat subuh. Begitu ibunya selesai salat, Didiek pamit lalu keluar rumah. Memang, itu bukan hal baru karena Didiek sering pergi jauh. Sejak duduk di SMA Pangudi Luhur Jakarta, ia sudah gemar berkemah dan mendaki gunung. Hampir semua gunung di Jawa, Bali, Lombok, dan Sumatera sudah dijelajahinya. Kegiatan ini makin menggila ketika ia diterima sebagai anggota Mapala UI pada tahun 1985. Seperti juga Norman Edwin, Didiek mulai berkenalan dengan gunung es pada tahun 1986 lewat Carstensz Pyramid (ketinggian 4.400 m) puncak Pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya. Tahun 1987 Didiek lulus ujian skripsi jurusan arkeologi FS UI. Sebagai "anak gunung", enam tahun termasuk waktu yang singkat untuk menyelesaikan pendidikan tingginya. Namun, yang namanya naik gunung tetap saja diteruskannya. Secara berturut-turut, 1989-1990, ia mendaki dua puncak benua, yaitu Mt. McKinley (6.000 m) di Alaska, dan Elbrus (6.100 m) di Uni Soviet. "Seandainya ia sempat mencapai puncak Aconcagua, berarti tinggal tiga puncak benua yang belum didaki Didiek, yaitu, Vinson Massif, Kilimanjaro, dan Everest," ujar mantan ketua Mapala UI, Eka Agus Rachman. Di luar kegiatan alam bebas, Didiek juga terlibat berbagai penelitian. Tidak cuma dalam ilmu arkeologi, tetapi juga dalam proyek bersama oseanolog kondang, Jacques Cousteau, di Pulau Nias, Sumatera. Selain itu, Didiek pun sering menulis artikel untuk media massa. Tahun 1990 ia melamar di majalah Jakarta-Jakarta dan diterima sebagai reporter. Ia sebenarnya tak suka surat-suratan. Tetapi aneh, sebelum melakukan ekspedisi di Aconcagua, ia membeli banyak kartu pos. Menurut seorang temannya, saat itu Norman sempat nyeletuk, "Itu kartu nggak bakal sampai, soalnya tulisan lu jelek." Ia terus menulis sampai sepuluh kartu pos. Tak jelas, berapa buah yang diposkannya. Yang jelas, kartu pos Didiek sampai pekan lalu hanya tiba dua biji di Jakarta. Satu buat sekretariat Mapala UI. Satu lagi buat seorang teman wanitanya, Fifi, anak Mapala UI juga. Bunyinya: Belakangan gue jadi ingat Tuhan. Diemdiem, di sini gue sembahyang (tapi gue ngumpet-ngumpet, takut ketahuan anak-anak, gue malu). Gue nggak tahu, tapi belakangan gue sudah merasa lebih siap . . .. Kini, Didiek sudah tenang di sisi Tuhan. Inna lillahi wainna Ilaihi raaji'un. Namun, sampai Jumat pekan lalu, Tuhan tampaknya masih "merahasiakan" di mana Norman Edwin, sahabat perjalanan Didiek. Badai salju menyulitkan pencarian Norman. Istrinya, Karlina Arifin, dosen di arkeologi Fakultas Sastra UI, pasrah tapi optimistis. "Saya optimistis dia bisa mengatasi kesulitannya di Aconcagua," kata Karlina. Begitu juga putri Norman satu-satunya, Melati, 7 tahun. Begitu melihat wajah bapaknya muncul di layar TVRI Rabu malam lalu, Melati langsung bilang, "Nah, itu ayah di TV. Sudah nggak celaka lagi." Dari semua anggota Mapala UI, Norman memang paling berpengalaman di gunung es. "Kalau mau dilihat dari Puncak Tujuh Benua, apalagi kalau Aconcagua nanti terbukti sudah dicapai, tinggal dua puncak yang belum didaki Norman, yakni Vinson Massif di Kutub Selatan dan Everest (8.800 m)," kata Anto Gabuq. Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini