Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Cari duit tanpa kritik

Terbit tiga buku tentang perkembangan film indonesia, yaitu "indonesian cinema, national culture on screen karya g. heider dan shadows on the silver screen dan pantulan layar putih karya salim said.

4 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRITIK untuk karya film boleh dibilang nol. Di berbagai media cetak, kritik film lebih sering tampil sebagai sinopsis dengan tambahan pujian atau makian di sanasini. Ada pula yang memuat sinopsis sebuah film dari produser apa adanya. Sedangkan acara Sinema-Sinema di RCTI yang mempertontonkan logo sponsor yang menonjol tentunya tak bisa mengatakan "film ini kurang layak ditonton". Sedangkan acara Film Kita Bulan Ini TVRI juga cenderung menyajikan potongan film serta sedikit sinopsis tanpa evaluasi mendalam seperti layaknya kritik film di televisi luar negeri. Di balik film "tanpa kritik" ini, munculnya tiga buah buku yang mengulas perfilman Indonesia, seperti Indonesian Cinema, National Culture on Screen karya G. Heider, Shadows on the Silver Screen dan Pantulan Layar Putih yang ditulis oleh Salim Said, patut disambut. Ketiga buku yang terbit akhir tahun silam itu samasama membicarakan perkembangan film Indonesia dari tahun 1950-an hingga kini. Bedanya, Salim Said melihatnya dari segi sosiologis, sedangkan Heider menggunakan pisau antropologis. Dari sekian banyak penulis film Indonesia, Salim Said mungkin hanyalah satusatunya kritikus film yang paling mengabdi kepada bidangnya. Salim, 48 tahun, sebenarnya bukan seorang sarjana bidang film. Shadows on the Silver Screen dari Yayasan Lontar adalah terjemahan dari Profil Dunia Film Indonesia, yang diterbitkan berdasarkan skripsi Salim di Fakultas Sosiologi Universitas Indonesia. Sedangkan Pantulan Layar Putih, yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, berisi berbagai resensi Salim Said selama ia masih bekerja di majalah TEMPO dan beberapa wawancara sejumlah wartawan dengan Salim Said mengenai film Indonesia kini. Sebagai seorang wartawan yang pernah mengecap pendidikan sosiologi di ATNI dan meraih gelar doktor di bidang politik, ulasan Salim menjadi sangat penting. Ia bisa berbicara dengan tajam tentang "kegagalan" kita dalam mengenali masalah perfilman Indonesia. Ia mampu membaca hubungan antara apa yang tercermin dalam film dan masyarakat. "Film yang mencerminkan mentalitas bangsa itu melebihi yang tercermin lewat media artistik lainnya," demikian Sigfreid Kracauer seperti yang dikutip Salim Said. Dasar teori ini adalah karena film adalah hasil karya sekelompok orang dan ditujukan untuk banyak orang. Dan salah satu mentalitas yang tercermin dari filmfilm Indonesia, menurut Salim, adalah prinsip the end justify the means (tujuan menghalalkan segala cara). Terlalu banyak contoh filmfilm Indonesia yang mengambil sikap menggampangkan dan mengorbankan logika cerita. Film Biarkan Bulan Itu . . ., karya Arifin C. Noer, yang menampilkan sepasang suami istri kaya raya yang menempati rumah seluas lapangan bola tapi hanya punya seorang pembantu. Atau film Perisai Kasih Terkoyak yang membuat penyelesaian seorang gadis lumpuh mendadak bisa berlarilari hanya karena ada petir menyambar. Karena usia perfilman Indonesia masih muda? Bagi Salim Said, itu tak jadi alasan. Ia menunjuk sastra Indonesia, yang juga lahir di tahun 1920-an, ternyata bisa jauh lebih maju. Di kedua bukunya, Salim mengemukakan argumentasi bahwa perfilman Indonesia sudah punya "dosa asal" sejak awal. Salim menganggap film bukan sekadar benda seni tapi juga sebuah produk yang diperdagangkan. Namun, baginya, pembuat film Indonesia belum tahu bagaimana membikin film yang baik dan laku. Yang membuat kedua buku Salim istimewa dan sangat layak dibaca adalah karena ia menunjang semua pandangannya dengan berbagai contoh dan riset yang dalam. Salim tak hanya berlaku sebagai seorang sosiolog yang mencari hubungan sebab-akibat antara film dan masyarakatnya tapi ia juga berlaku sebagai wartawan yang mencari fakta dengan lengkap dan imbang serta sebagai pengamat film yang mengupas setiap film dari aspek sinematografis. Apalagi pada babbab akhir Pantulan Layar Putih, Salim juga mengungkapkan pengalamannya menjadi juri FFI (Festival Film Indonesia) tahun 1987-1988. Salim mencatat bahwa 80% dari 15 film yang lolos dalam seleksi utama bercerita tentang masyarakat kelas menengah yang hidup di kota, 63% memunculkan anak tunggal sebagai peran utamanya, dan 10 dari 15 film bersimbah darah akibat pengguguran kandungan, tikaman, ledakan bom, kena gunaguna, atau alat vital yang dipotong. Tapi Salim tak mau hanya mengungkapkan cerita sedih dalam perfilman Indonesia. Di tahun 1977, hampir semua wanita Indonesia yang terpepet hidupnya belakangan ambil jalan pintas: jualan kehormatan. Tapi sepuluh tahun kemudian, wanita-wanita miskin tak selalu mencari jalan keluar menjadi pelacur ketika datang ke kota. Penilaian kuantitatif seperti ini juga sama pentingnya dengan evaluasi kualitas pada babbab sebelumnya, untuk mengetahui bagaimana persepsi rata-rata pembuat film Indonesia. Itulah yang menyebabkan kedua buku Salim menjadi jauh lebih menarik dibandingkan dengan buku Heider. Heider memang bukan seorang kritikus film dan tidak berpretensi untuk menjadi kritikus. Ia berusaha mencari korelasi antara kebudayaan Indonesia dan film Indonesia. Kecenderungan Heider yang lebih banyak bergulat dengan teori-teori antropologi membuat buku ini menjadi sebuah bacaan yang monoton. Bagaimanapun, ketiga buku ini menjadi penting karena penulisan yang serius dan mendalam tentang film Indonesia sangat langka. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus