BETAPA gembiranya bebas dari bui yang mengungkungnya. "Bismillahirrahmanirrahim," teriak Jumhur Hidayat alias Denci ketika melintasi gerbang Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Denci disusul tiga sobatnya, Ucok, Ammarsyah, dan Fadjroel Rachman. "Hore .... Kami bebas .... Merdeka," sorak mereka disambut belasan penjemputnya. Sepekan kemudian, dua teman senasib mereka, Bambang dan Enin Supriyanto, juga dilepas dari LP Banceuy di kota yang sama awal Maret lalu. Enam pemuda itu adalah aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang memelopori demonstrasi yang belakangan dikenal sebagai "Kasus 5 Agustus 1989". Peristiwa itu diawali oleh kedatangan Menteri Rudini, yang diundang rektor ITB untuk memberi ceramah pada acara pembukaan penataran P4 mahasiswa baru. Tapi belum sempat Rudini memasuki Gedung Serba Guna ITB, tempat acara itu dilangsungkan, sekitar 200 mahasiswa mencegat Rudini dengan menggelar puluhan poster dan membakar banban bekas sembari meneriakkan yel-yel menyerang Rudini. Buntutnya, dua hari berikutnya, Rektor Wiranto Arismunandar menskors dan mendrop out sejumlah mahasiswa yang ditangkapi aparat keamanan hari itu. Keputusan itu mengundang protes mahasiswa lainnya. Tapi rekan mereka tetap saja harus masuk ruang tahanan yang sesak. Di depan hakim, mereka pun lantas dihukum. Setelah dua pertiga masa hukuman berjalan, mereka kini bisa menikmati kesempatan "lepas bersyarat". Artinya, enam pemuda itu setiap bulan wajib lapor ke kejaksaan tempat tinggal orangtuanya sampai genap masa hukuman pada Juli 1993 kelak. Namun, wajib lapor bukanlah masalah utama. "Saya didrop out ketika dalam pemeriksaan yang berwajib tanpa ada pembelaan terhadap hak-hak saya," ungkap Denci, 24 tahun. Semenjak masuk penjara hingga bebas, keinginan mereka untuk kuliah lagi terus membara. "Adalah hak kami untuk diterima ITB lagi," bekas mahasiswa jurusan Teknik Fisika ITB angkatan 1986 ini menambahkan. Menurut Denci, yang melalap 250 buku selama 2,5 tahun di penjara, keputusan yang berwajib menahan dia dan rekan-rekannya tidak relevan dengan keputusan drop out yang dikeluarkan rektor. "Kalau kami dianggap bersalah dalam masalah politik, kami sudah menebusnya dengan penjara. Soal akademis, kami salah apa? Kami bukan bodoh sehingga perlu diDO," kata aktivis kampus yang punya nilai ratarata B ini setengah teriak. Hingga pekan ini Denci dkk. belum mengirimkan permohonan ke rektor untuk diterima kembali di ITB. Tapi, orangtua Denci sudah mencoba, walau rektor kabarnya tak pernah mau menemuinya. Harapan Denci kembali ke bangku kuliah memang menggunung. Apa pun universitas yang menerima, apakah itu Universitas Indonesia, Institut Teknologi Surabaya, atau yang lain, Denci sudah siap. Sekitar empat bulan lalu, ia menghubungi Universitas Sidney di Australia dan mendapat jawaban bahwa nilai selama enam semester di ITB bisa ditransfer ke sana. Masalahnya, universitas itu mensyaratkan adanya surat pengantar dari ITB. "Inilah yang sekarang saya kejar," ujar Denci. Bila Denci ingin kembali kuliah di mana pun, Enin dan Fadjroel tetap menuntut bisa balik ke ITB. "Ini bukan soal boleh atau tidak, melainkan soal hak kami sebagai warga negara untuk memperoleh pendidikan. ITB sebagai institusi pendidikan wajib memberikan pendidikan kepada kami," seru Fadjroel, 28 tahun. Maka, mereka menggugat jatuhnya vonis drop out dari rektor. "Secara akademis maupun prosedural, ITB sama sekali tak berhak memecat kami," kata Enin, 28 tahun, bekas mahasiswa desain interior tahun terakhir. Cuma ada satu jalan bagi mereka: "Tiada tawar-menawar. ITB mencabut SK pemecatan itu," ujar Enin yang disebutsebut sebagai konseptor demonstrasi 5 Agustus 1989. Menanggapi hasrat para eks mahasiswa itu Menteri Fuad Hassan balik melimpahkan ke ITB. Menurut Fuad, departemennya tak punya kebijakan apa pun mengenai persoalan eks mahasiswa itu. "Saya tak keberatan mereka yang sudah selesai dari hukumannya itu kembali diterima kuliah asalkan semua syarat dipenuhi dan ITB mau menerimanya," kata Fuad kepada wartawan TEMPO Linda Djalil. Cuma, apa syarat yang bakal diajukan ITB masih sulit diduga. Soalnya, Rektor Wiranto mengambil sikap tutup mulut. "Kalau masalah 5 Agustus no comment. Saya tak mau masalah ini jadi polemik," ujar Wiranto. Nasib Denci dkk. itu merangsang minat KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia). Ketua umum KNPI Tjahjo Kumolo menyatakan pihaknya siap membantu Denci cs. agar bisa kembali kuliah. "Kami bersedia memberikan rekomendasi atau mengantar mereka menghadap Menteri Fuad Hassan dan Rektor Wiranto," kata Tjahjo. "Seorang penjahat pun bila telah menebus dosanya dengan menjalani hukuman di LP diberi bantuan untuk kehidupan selanjutnya," anggota DPR itu menambahkan. Mengapa KNPI tertarik membantu para demonstran itu? "Masyarakat sering salah kaprah menganggap KNPI perpanjangan tangan pemerintah. Padahal kami ini organisasi pemuda yang memperhatikan masalah-masalah pemuda," tutur Tjahjo kepada Leila S. Chudori dari TEMPO. Sayangnya, uluran KNPI itu dinidini ditampik Denci cs. "Dulu, ketika mahasiswa Bandung, Ujungpandang, Jakarta, Malang, dan Yogya memprotes DO dan penahanan kami, mereka diam saja. Apa sih maunya KNPI. Terus terang, kami belum mengenal mereka," kata Denci geram. Ardian Taufik Gesuri (Jakarta), Ahmad Taufik, dan Happy Sulistiadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini