Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Habis Prestasi, Pemain Dilego

PBSI berencana menjual pemain yang kemampuannya dianggap sudah mentok.

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Guangzhou, Indonesia benar-benar berjaya. Kemenangan tidak hanya milik regu Piala Thomas yang melalap Malaysia di final, tapi juga diraih para petinggi Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Di sana, dalam sidang Federasi Bulutangkis Internasional (IBF), mereka sukses menyarangkan sejumlah agenda.

Saat pemain berpeluh keringat, para petinggi PBSI sibuk berkasak-kusuk dalam sidang IBF. Mereka melobi utusan negeri lain agar menyokong usul mengembalikan penghitungan skor, dari 7 poin kembali ke 15 poin. Hasilnya? Para pengurus berhasil mengumpulkan 96 suara yang setuju berbanding dengan 51 suara yang menolak. Perubahan ini menguntungkan Indonesia. Dari hasil evaluasi PBSI, kebanyakan pemain Indonesia tidak cocok dengan aturan 7 poin.

Selain itu, mereka juga sukses men-ceploskan aturan baru soal kepindahan pemain. Dengan aturan ini, pemain yang membela suatu negara harus sudah menetap di negeri itu minimal selama tiga tahun. Beleid anyar ini bisa mengerem niat pemain yang ingin membela negeri lain dengan jalan pintas.

Kabar baik tak berhenti di situ. Di tengah riuh-rendahnya tepuk tangan penonton dalam perhelatan akbar tersebut, diam-diam pengurus PBSI rajin berbisik-bisik dengan petinggi federasi badminton negara lain. Mereka menawarkan rencana penjualan sejumlah pebulu tangkis Indonesia. Pemain-pemain yang akan dilego ini prestasinya sudah mentok, tapi pengalaman dan kemampuan teknisnya masih dibutuhkan oleh negara lain.

Sambutannya? Inilah yang membuat G. Sulistyanto, Direktur Luar Negeri PBSI, tersenyum puas. Katanya, beberapa negara seperti Singapura, Hong Kong, dan Amerika Serikat sudah menyatakan minat untuk membeli pemain yang ditawarkannya. "Malah belakangan juga datang surat permintaan dari Inggris," tuturnya.

Gebrakan ini amat mengejutkan. Banyak yang menduga, aksi obral pemain berkaitan dengan buruknya prestasi yang diraih Tim Uber. Namun Sulistyanto membantahnya. Menurut dia, rencana ini sudah dipatok sejak reformasi total di tubuh induk olahraga tepok bulu itu dicanangkan. Tujuannya agar perpindahan pemain betul-betul terpantau oleh PBSI. "Jadi, mereka tidak perlu pergi diam-diam lagi," katanya.

Lalu siapa saja yang akan dijual? Sulistyanto tak mau menyebut nama. Ia cuma menjelaskan kriterianya. Selain pemain senior yang prestasinya sudah mepet, juga pemain junior yang tidak tertampung di pelatnas. "Yang senior, kalau putri, ukurannya yang sudah melewati usia 25 tahun dan dianggap sudah tidak bisa lagi berkembang," ujar Sulistyanto.

Soal harga, ia belum berani menyebut angka. Cuma, pembagian keuntungan hasil penjualannya sama dengan aturan umum perpindahan pemain. Selama ini, pihak PBSI dan induk olahraga di daerah hanya mendapat 25 persen dari total biaya perpindahan pemain itu. Bagian terbesar, yakni 75 persen, tetap diperoleh pemain dan klub yang melahirkannya.

Susi Susanti, peraih medali emas Olimpiade Atlanta 1996, menilai langkah ini cukup bijaksana. Dengan cara itu, PBSI tidak terkesan mengusir pemain yang prestasinya sudah mentok. "Sebaiknya memang begitu, sehingga mereka mempunyai kesempatan memperoleh taraf hidup yang lebih layak," katanya.

Hanya, bekas pemain nasional Retno Kustiyah menanggapinya lebih hati-hati. Menurut dia, sebelum rencana ini dijalankan, sebaiknya PBSI meneliti betul prestasi pemain yang akan dijual. Ia mewanti-wanti, "Jangan sampai kualitas mereka memalukan bangsa kita."

Para pemain pun menyambut gembira. Deyana Lomban, misalnya, tidak keberatan dengan rencana itu asalkan kepentingan pemain diperhatikan. Diakuinya, bermain di luar negeri merupakan salah satu pilihan para pemain yang sudah tidak bisa berkembang lagi di sini. "Mungkin di luar negeri kami bisa lebih mengembangkan diri," kata pemain ganda ini.

Demikian pula reaksi Yuli Marfuah, pemain tunggal Tim Uber Indonesia. Ia oke-oke saja terhadap rencana itu. Cuma, bila dirinya termasuk pemain yang akan dilego, dia mikir-mikir dulu. "Saya nggak langsung mengiyakan. Mesti tanya pada hati dulu," katanya kepada Budi Riza dari Tempo News Room.

Kalau mau jujur, mojang Bandung itu mengaku masih betah berlatih di markas pelatnas di Cipayung. "Itu kalau saya masih dipercaya PBSI," ujarnya.

Nah, ini repotnya. Ternyata tak semua pemain suka menggembara ke negeri orang, walau di sana mungkin hidupnya lebih enak.

Irfan Budiman, Hani Pudjiarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus