Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LETUPAN konflik Maluku membuat Alex Manuputty terlempar ke Jakarta. Ditangkap di Ambon sebulan silam, Ketua Front Kedaulatan Maluku (FKM) ini akhirnya ditahan di Markas Besar Kepolisian RI pada pertengahan Mei lalu. Selain dituduh mendorong gerakan separatis, ia dituding terlibat dalam berbagai aksi kerusuhan.
Alex tidak sendirian. Lelaki 53 tahun ini menginap di gedung provos bersama Semi Wailerumi, yang juga aktivis FKM. Ruang tahanan yang mereka tempati cukup luas, sekitar 12 meter persegi, tapi pengap karena tiada jendela. Di pojok ruangan, ada kamar mandi berukuran kecil. Karena tidak tersedia gayung, dokter lulusan Universitas Hasanuddin ini menggunakan bekas kaleng biskuit buat mandi. Untuk mengusir kebosanan, Alex sering bermain catur berjam-jam melawan Semi.
Orang Serui, Papua, itu tengah bertelanjang dada ketika wartawan TEMPO Wenseslaus Manggut mewawancarainya, Rabu malam pekan lalu. Udara di situ memang terasa panas. Ia menjawab wawancara dengan tangkas, dan terkadang keras, sehingga penjaga sering melongoknya. Petikannya:
Untuk meredam konflik, pemerintah merombak penguasa darurat sipil di Maluku. Efektifkah upaya ini?
Saya kira tidak akan efektif. Tarik saja TNI dan orang luar dari Maluku. Lalu pemerintah berdialog dengan FKM kalau memang kami dilihat sebagai suatu masalah. Selama ini, pemerintah terus menginjak kami yang tidak bersenjata.
Seberapa besar sih kekuatan FKM?
Kami memiliki perwakilan di Amerika, Asia, Eropa, dan Afrika. Saat perayaan kemerdekaan 25 April lalu di Maluku, sekitar 2.000 bendera diterbangkan. Kami perkirakan pendukung FKM itu puluhan ribu orang. Target kami menegakkan hak asasi dan meluruskan sejarah Maluku. Kenyataannya, Republik Maluku Selatan (RMS) berdiri pada 25 April 1950, sedangkan kedaulatan Indonesia baru diakui pada Agustus 1950. Jadi, RMS lebih dulu berdiri, baru Negara Kesatuan RI.
Jadi, FKM memang sama dengan RMS?
Itu yang kerap salah diberitakan. FKM dituding sama dengan RMS. Kami sama sekali tidak punya hubungan struktural dengan RMS.
Bukankah keduanya sama-sama gerakan separatis?
Kalau gerakan moral seperti ini disebut separatis, lalu apa sebutan yang cocok untuk GAM yang memanggul senjata? Mengapa bendera GAM di Aceh dan bendera OPM di Papua boleh berkibar, tapi gerakan moral kami harus diobrak-abrik?
Masalahnya kan berbeda? FKM muncul di tengah konflik agama dan kelompok Anda ditengarai sebagai salah satu pemicunya.
Tidak benar itu. Konflik meletus akhir tahun 1999, sedangkan FKM itu baru muncul pada 2000. Jadi, FKM muncul belakangan setelah konflik itu sudah sangat parah. Kami tidak pernah terlibat perang.
Bukankah FKM mengakomodasi sejumlah kekuatan Kristen yang sebelumnya terlibat konflik?
Sejak awal berdirinya FKM, sudah ada penyesatan informasi. Sering disebut FKM sebagai sarang orang Kristen, padahal bukan. Banyak saudara kami yang Salami (Islam) yang bergabung ke dalam FKM. Contohnya Maur Karetesina dan Zacky Zakarias, yang menjadi pengurus FKM Cabang Jakarta. Demikian pula Hamim Sialana, yang menjabat Ketua FKM New York. Mereka itu Salami. Kami dipersatukan oleh keprihatinan yang sama atas pelanggaran hak asasi saudara-saudara kami, baik Salami maupun Nasrani.
Komandan Laskar Kristus, Agus Wattimena, telah bergabung dengan FKM. Bagaimana orang percaya bahwa FKM bukan bagian dari kelompok Kristen?
Lagi-lagi ini penyesatan informasi. Agus Wattimena sudah berperang sejak 1999. Kami baru muncul pada 2000. Sejak awal, Agus bersama Berti Loupatty (dari kelompok preman Coker alias Cowok Keren) dekat dengan kalangan militer. Kami menarik Agus ke FKM agar perang bisa diredam. Tapi justru karena ikut FKM dia dibunuh. Dia dituding berkhianat. Siapa yang membunuh, tolong tanya sama polisi. Saudara kami yang Salami mengaku tidak melakukannya.
Siapa sebetulnya yang memprovokasi agar perang terus terjadi?
Aparat harus melacaknya. Bentrokan antara anggota TNI dan polisi yang mau menangkap Berty Loupatty beberapa waktu lalu bisa menjelaskan peta konflik di Maluku. Masyarakat Ambon Salami ataupun Nasrani sudah tahu semua soal peran Berty. Ini adalah fakta. Mengapa media massa tidak melihat keganjilan dalam fakta ini, lalu menginvestigasi sendiri siapa sebenarnya penyulut perang di Ambon?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo