Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANDAIKAN saja orang tuanya telah tiada, Hendrawan mungkin bukan siapa-siapa. Ia tidak menjadi pahlawan Piala Thomas yang direbut Indonesia Ahad pekan silam. Boleh jadi, pebulu tangkis andal ini masih berkutat di Malang, Jawa Timur, meneruskan usaha orang tuanya berjualan barang kelontong. Sebabnya, sejak lahir hingga tiga pekan lalu, ia tidak memiliki surat bukti kewarganegaraan sebagai modal buat melanglang buana.
Untunglah, orang tuanya—yang punya bukti kewarganegaraan—masih hidup. Dengan secarik surat bukti ini, Hendrawan bisa membuat paspor, lalu leluasa mengembara memetik gelar dan, jangan lupa, mengharumkan nama bangsa dan negaranya. "Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika orang tua saya sudah meninggal," ujarnya dengan tatapan mata menerawang.
Kisah itu membuat tercengang pemain bulu tangkis negeri lain. Atlet dari Malaysia dan Singapura sampai-sampai melongo mendengarnya. Di negara mereka, hal sekonyol ini mustahil terjadi. Di sana, pemerintah justru yang menghampiri dan menguruskannya. "Kayaknya penghargaan terhadap pemain di luar negeri lebih tinggi," kata Hendra.
Tahun lalu, pemain bulu tangkis berusia 31 tahun ini masih mengelus dada. Gara-gara tidak punya kewarganegaraan, ia sulit mengurus akta kelahiran anaknya. Akhirnya, akta anaknya diikutkan kakeknya.
Sejatinya apa yang dialami Hendrawan bukanlah yang pertama. Beberapa tahun silam, pebulu tangkis putri Ivana Lie juga mengalami hal serupa. Setelah Presiden Soeharto cawe-cawe, barulah Ivana mendapat surat kewarganegaraan.
Hendrawan pun demikian. Ia baru mendapat kewarganegaraan Indonesia setelah Presiden Megawati turun tangan beberapa pekan lalu. Bagai sulap, urusannya yang bertahun-tahun macet tiba-tiba menjadi lancar. Tapi sebenarnya apa arti sehelai kertas itu bagi ayah beranak satu ini? Diwawancarai oleh Budi Riza dari Tempo News Room, ia memaparkan pendapatnya. Petikannya:
Mengapa selama ini Anda mengalami kesulitan mengurus kewarganegaraan?
Saya nggak tahu. Masak, orang tua saya yang sudah WNI dan tinggal di Indonesia, lalu saya juga lahir di Indonesia dan diberi nama orang Indonesia, kok masih harus mempunyai surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Mestinya kan nggak perlu, wong saya lahir di sini. Orang tua saya juga lahir di sini. Dan saya bukanlah yang pertama. Teman-teman saya yang keturunan Tionghoa juga mengalami hal yang sama.
Sebagai orang Tionghoa, apakah Anda merasa ada diskriminasi?
Iyalah. Saya merasakan hal itu, dan memang sudah terbukti. Kalau saya keturunan India atau Arab, saya rasa nggak perlu mengurus hal ini. Mungkin penyebabnya masalah PKI dulu.
Tidak adil?
Seharusnya jangan dilihat dari etnisnya. Pokoknya, berikan SBKRI pada orang yang telah melakukan yang terbaik buat bangsa dan negara.
Apa saja kesulitan yang Anda alami saat mencoba mengurus kewarganegaraan?
Tidak ada kepastian keluarnya kapan. Waktu saya tanya keluarnya kapan, si petugas bilang prosesnya bisa memakan waktu sebulan, dua bulan, enam bulan, setahun, bahkan hingga lima tahun. Dia bilang, tunggu sampai saya dikabari lagi.
Kabarnya, Anda sampai mengeluarkan uang pelicin biar cepat selesai?
Ya. Saya memberikan uang. Resminya memang ada uangnya juga.
Apakah selama ini PBSI tak pernah membantu?
Apa, ya? Mereka nggak pernah… (terdiam sejak). Tapi memang saya berniat mengurusnya sendiri. Saya meminta surat pengantar dari PBSI dan KONI hanya untuk menguatkan.
Bagi Anda sendiri, apa sebenarnya arti surat bukti kewarganegaraan ini?
Penting buat mengurus dokumen saja. Kalau untuk status kewarganegaraan, semua orang sudah tahu. Ini penting untuk formalitas.
Setelah memiliki SBKRI, apa Anda merasa ada perbedaan secara psikologis saat bertanding?
Tidak ada. Itu kan hanya sebuah bukti, sebuah surat saja. Selama ini saya sudah menunjukkan perjuangan buat bangsa, kok. Pokoknya saya tetap orang Indonesia, begitu pula dengan anak-anak saya kelak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo