Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menarik Laskar dari Kolam

Laskar Jihad akan diusir dari Maluku. Tapi benarkah mereka sumber masalah?

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Brigjen TNI Mustopo, Panglima Kodam Pattimura, hanya bisa tersenyum kecut, sementara hadirin lain berguncang dalam gelak tawa. Di Kebon Cengkeh, Ambon, pekan silam, Ketua Satuan Tugas Forum Amar Makruf Nahi Mungkar, Ustad Mohammad Attamimi, menusukkan sindiran tajam ke alamat petinggi militer dan kepolisian. "Karena sudah ada sedikit tindakan dari pemerintah, yakni menangkap tokoh Kristen," kata Attamimi, "baru sedikit juga senjata yang kami serahkan."

Bergurau atau tidak, di halaman Masjid Amal Sholeh, siang itu berlangsung upacara pelucutan senjata, yang diharapkan akan bisa meredakan konflik berdarah di Maluku. Penangkapan atas tokoh Kristen Alex Manuputty, Ketua Front Kedaulatan Maluku, memungkinkan aparat menekan warga muslim agar memberi konsesi.

Warga muslim dan anggota Laskar Jihad yang bermukim di sekitar Kebon Cengkeh menyerahkan senjata mereka, antara lain satu unit meriam, 350 bom, empat pucuk senjata organik, 447 butir amunisi dari berbagai jenis, 15 pucuk senjata rakitan, empat magazin, dan 52 senjata tajam. Attamimi sendiri secara simbolis menyerahkan senapan miliknya kepada Mustopo. Tapi tak lupa dia berbisik, "Kami baru akan menyerahkan seluruh senjata kami bila TNI/Polri serius menjaga keamanan umat muslim."

Attamimi tidak sendirian menyimpan keraguan bahwa upacara itu akan segera menerbitkan perdamaian di Maluku. Tiga tahun lebih, persisnya sejak 19 Januari 1999, aparat keamanan tak kuasa menyudahi konflik agama di situ. Selama itu pula, lima panglima kodam dan tujuh kapolda telah bergiliran tugas, tanpa bisa menghentikan banjir darah.

Pada Juni 2000 silam, ketika status darurat sipil diresmikan, warga muslim spontan menyerahkan ribuan senjata mereka. Tapi tak sampai sebulan, menurut Attamimi, kampung-kampung muslim di Poka dan Rumah Tiga di Ambon digebah oleh kelompok Kristen tanpa aparat bisa bertindak. Kini Attamimi sedang menguji lagi sikap pemerintah.

Belakangan, situasi bahkan lebih runyam. Aparat pemerintah justru baku tembak sendiri. Itulah yang terjadi dua pekan silam, ketika pasukan tempur elite Kopassus bentrok dengan pasukan Brigade Mobil.

Pekan lalu, Presiden Megawati Sukarnoputri memerintahkan pembentukan Komando Maluku—yang akan dipimpin seorang mayor jenderal tentara—untuk menyatukan komando operasi lapangan. Tapi hasilnya masih harus ditunggu. Bentrok dua pekan lalu tidaklah disebabkan oleh perbedaan komando belaka. Kedua pihak sudah lama ikut terlibat dalam memasok senjata dan ikut memperumit proses perdamaian.

Di tengah situasi kacau tanpa kewibawaan aparat, menurut Attamimi, Laskar Jihad telah berjasa sebagai penjamin keamanan bagi muslim Maluku. Laskar Jihad adalah sukarelawan aktif dari Forum Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebuah gerakan salafiah yang bermarkas di Yogyakarta. Organisasi kecil ini belakangan menyeruak ke pentas nasional sebagai satu-satunya yang secara terbuka dan vokal membela kelompok muslim di Maluku.

Tapi kini, bersama pelucutan senjata itu, Laskar Jihad juga akan segera diusir dari Maluku, menyusul penangkapan sang pemimpin, Ja'far Umar Thalib. Konsep yang disodorkan pemerintah cukup jelas: pemimpin Kristen ditangkap dan simbol-simbol Republik Maluku Selatan dinyatakan terlarang, sementara pemimpin Islam juga ditangkap dan milisinya diusir dari Maluku.

Akankah Maluku damai setelah itu? Tunggu dulu.

Bahkan mengusir Laskar Jihad juga bukan perkara mudah. Pada Juli dua tahun lalu, Laskar Jihad juga diancam agar keluar dari Maluku. Pengusaha Darurat Sipil Maluku Saleh Latuconsina mengeluarkan instruksi memulangkan Laskar Jihad ke markas mereka di Yogya. "Pemulangan Laskar Jihad akan membantu warga muslim dan Kristen di Maluku melakukan rekonsiliasi," kata Latuconsina kala itu.

Tapi sejarah mencatat lain. Rekonsiliasi yang sedianya diwujudkan dalam Kongres Rakyat Maluku tidak berbuah. Adapun jumlah anggota Laskar Jihad justru bertambah, yang dalam dua tahun kemudian mencapai 3.000 orang.

Dan itu baru satu soal. Menurut Rustam Kastor, tokoh muslim Ambon yang bekas petinggi militer, Laskar Jihad hanya satu milisi yang membela kaum muslim di sana. Selain mereka ada Laskar Mujahidin dari Komite Penanggulangan Krisis Kemanusiaan (Kompak), yang berada di bawah payung Dewan Dakwah Islamiyah, dan laskar dengan nama sama tapi di bawah payung Majelis Mujahidin Indonesia. Dua organisasi itu bermarkas di Jawa.

Namun, menurut Kastor, jumlah ter-banyak tetap laskar lokal yang tak bernama—hanya menyebut diri mujahidin. Ada juga beberapa sukarelawan dari Timur Tengah. "Tetapi mereka bersikap seperti turis. Tinggal di hotel dan baru keluar bila ada konflik. Jadi sulit di-deteksi," ujar Kastor.

Irfan S. Awwas, seorang pengurus teras di Majelis Mujahidin Indonesia, mengatakan pihaknya telah menarik semua sukarelawannya ke Jawa. "Suasana sekarang tak lagi mengenakkan karena kami justru harus berhadapan dengan aparat," katanya. Ketika konflik memuncak, menurut Irfan, pihaknya rutin mengirim 50_100 anggotanya setiap tiga bulan sekali. Organisasi ini adalah organisasi pendatang kedua setelah Kompak yang bergerak di bidang sosial dan kesehatan. Sukarelawan dari Majelis Mujahidin Indonesia lebih aktif bertempur.

Betapa heroiknya Laskar Mujahidin bertempur bisa dilihat dari video cakram padat (VCD) kasus Ambon, Poso, dan Halmahera yang tersimpan di markas mereka di Yogya. "Ini dokumentasi. Tapi sempat juga kami perbanyak. Tidak masalah karena semua adalah fakta," kata Irfan.

VCD berdurasi 30 menit itu berisi suasana perang antara umat Kristen dan Islam di Halmahera dan Ambon. Terekam bunyi tembakan dan ledakan bom molotov yang dilempar dari atas bangunan. Juga adegan tembak-menembak di garis paling depan. Ada juga gambar ibu-ibu dan kaum perempuan sibuk membuat bom molotov dari botol bekas di depan sebuah masjid. Juga senjata rakitan yang digunakan Mujahidin berjejer di atas sebuah meja.

Laskar Jihad sebenarnya pendatang terakhir. Ketika mereka tiba, dua laskar yang semula ada lalu menghilang. Mereka dirotasi setiap enam bulan dalam jumlah sekitar 500 orang. Anggota Laskar Jihad kemudian menyebar ke berbagai wilayah konflik dan mengurus banyak hal, mulai dari soal keamanan, pendidikan, sampai kesehatan. Pos-pos kesehatan mereka bahkan sampai di pelosok terpencil yang tak dijangkau pemerintah.

Laskar Jihad hampir sudah menyatu dengan warga muslim Maluku. Para pengurus Forum Ahlus Sunnah wal Jamaah sendiri menolak pergi dari Maluku selama jaminan keamanan warga muslim belum ada. "Prinsipnya kami mau saja keluar," kata Ayip Syafrudin, Ketua Forum, "asal pemerintah bisa memberikan jaminan keamanan."

Alex Manuputty, tokoh Kristen dan Ketua Forum Kedaulatan Maluku yang kini ditahan di Mabes Polri, mengatakan organisasinya sebagai gerakan damai. Dia mengatakan, pihaknya tak pernah memulai perang. Sejak konflik meletus pada 1999, menurut Alex, pihak Kristen yang berperang dikomando oleh dua tokoh preman lokal: Agus Wattimena dan Berti Loupatty. "Mereka berdua sangat dekat dengan kalangan militer," katanya.

Alex memang belakangan menarik Agus untuk masuk jadi pengurus Forum Kedaulatan Maluku dengan dalih "justru untuk meredam konflik". Tapi Agus tewas tak lama setelah itu, menjadikan Berti satu-satunya panglima Kristen. "Agus dibunuh karena dituding berkhianat dengan masuk ke FKM," kata Alex.

Berti mengelak tudingan membunuh Agus maupun mendalangi kerusuhan. Setelah dibebaskan dari tahanan Polda Maluku pekan lalu, Berti menuding nama Femy Souisa—preman pendukung FKM—sebagai provokator kerusuhan Maluku. Tuduhan itulah yang kemudian membuat kelompok Femy menyerang markas Berti pertengahan Mei silam, tapi digagalkan satuan Kopassus.

Baik sukarelawan mujahidin maupun milisi Kristen, menurut Rustam Kastor, sebenarnya hanya bersifat pasif. Yang berbahaya dan sering memicu pertempuran, menurut Kastor, justru siluman-siluman—yang ada di kedua belah pihak—yakni polisi atau aparat keamanan yang berganti baju tiap kali ada baku tembak. "Senjatanya punya dia, tapi pelurunya dari masyarakat yang berkonflik," kata Kastor. Siluman ini jumlahnya sangat banyak dan tak terkontrol. Bisa saja tiba-tiba menyerang.

Ustad Mohammad Attamimi memang layak untuk ragu. Konflik Maluku tak kan bisa dipecahkan secara parsial. Cara penanganannya harus komprehensif, termasuk yang terpenting: memelihara kewibawaan serta netralitas aparat keamanan sendiri.

Arif A. Kuswardono, L.N. Idayanie (Yogyakarta), Yusnita Tiakoly (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus