ANAK Ambon itu telah mengenakan sarung tinju sejak berusia 13
tahun. Gara-ara sarung tinju itu pula ia terpaksa meninggalkan
bangku kelas dua SMP. Itulah Ellias Pikal, 21 tahun,
satu-satunya atlet Indonesia yang meraih medali emas dan
sekaligus menjadi Petinju Terbaik dari turnamen Piala Presiden
IV di Istora Senayan, Jakarta, minggu lampau.
Sehari-hari dipanggil Elli, ia dalam final menundukkan petinju
Korea Selatan, Hong Dong Sik dengan angka. Ini merupakan partai
terbagus yang pernah dimainkannya. "Padahal persiapannya lebih
pendek dibandingkan kejuaraan tahun lalu," katanya. Tahun 1979,
ia pun meraih medali emas.
Di dalam negeri, Pikal selama dua tahun terakhir merupakan
petinju tak terkalahkan. Ia memegang gelar kampiun nasional di
kelas terbang. Teddy van Room -- pelatih nasional yang meninggal
tahun lalu -- pernah membinanya di Ambon. Pelatihnya sekarang
ialah Josef Tahupiary.
Dilahirkan di Saparua, Pikal dikenal rajin latihan, di luar
maupun dalam pelatnas. Bahkan tidak jarang di bawah panas terik.
Tidak heran bila berat badannya (51 kg) stabil dan kondisinya
terjaga baik. "Cita-cita saya menjadi juara Asia," kata petinju
ini yang tingginya cuma 162 cm.
Syamsul Anwar, kampiun nasional yang sekarang menjadi pelatih,
menilai bahwa Pikal bisa meraih keinginannya itu. "Pukulannya
komplit," katanya.
Di luar ring, kehidupan Pikal tak begitu menonjol. Ia masih
menganggur. Dengan 35 petinjunya yang terbagi dalam lima tim,
Indonesia bisa menempatkan empat finalis saja. Tahun lalu, juga
lima regu, tujuh finalisnya. "Saya kira tim Indonesia mundur
sekali," kata Tahupiary. Ia mempersoalkan pemusatan latihan yang
pendek.
Tapi Tranggono, Sekjen Pertina, menyebut tim Indonesia justru
berhasil. "Banyak petinju baru yang berkesempatan mengikuti
turnamen internasional ini," katanya.
Tim Uni Soviet yang menjadi juara umum, menurut pelatih Nagim
Khususnutdinov, cuma memasuki pemusatan latihan selama dua
pekan. "Sebelumnya kami latihan di kota masing-masing," kata
petinju Samson Hacatryan. Regu Soviet memboyong lima medali emas
dan Piala (bergilir) Presiden.
Khusnutdinov mengatakan tim Indonesia tampak seperti kurang
persiapan untuk terjun dalam suatu turnamen besar. "Teknik
bertanding mereka masih buruk, dan tak punya pukulan mematikan."
Tapi petinju Indonesia umumnya punya semangat menggebu-gebu.
"Semangat saja tidak mendukung untuk menang," kata Khusnutdinov.
Mutu turnamen Piala Presiden IV juga menurun. Hampir semua tim
yang diundang mengirimkan atlet "kelas dua" mereka. Sedikit saja
yang menonjol. Salah satu di antaranya adalah Ruben Mares dari
Filipina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini