KETIKA juri mengangkat bendera hijau, tanda lompatan sah,
Mohammad Mochtar langsyng mengacungkan kepalan tangan
kanannya--mirip salam kemenangan atlee Negro Amerika. Tapi
penonton tak peduli. Baru sewaktu di papan pengumuman tertera
angka 1553, tanda jarak yang dicapai 15,53 m, tepuk tangan 5.000
pengunjung stadion utama Senayan bergemuruh. Rekor lompat
jangkit Awang Papilaya (15,10) tumbang--setelah 20 tahun
bertahan. Suatu prestasi terbaik dalam PON X pekan lalu.
Penumbangan rekor itu, menurut Mochtar, berkat ketekunan pelatih
Bram Soselisa. Baginya, Bram Soselisa tak kalah dibanding
pelatih Wolfgang Delfs yang memoles teknik lompatannya selama
tiga bulan (Juni-Agustus) di Kiel, Jerman Barat.
Mohammad Moehtar, 23 tahun, datang dari Jawa Timur. Ia semula
tak tertarik pada lompat jangkit. Nomor kesenangannya adalah
lompat jauh dan loncat tinggi. Mochtar pernah menjadi juara
junior untuk kedua mata lomba tersebut di tahun 1976. Tapi
lantaran loncat tinggi Mochtar sulit menyaingi pemegang rekor
nasional Suwignyo, maka Bram Soselisa menganjurkan atlet
asuhannya itu untuk mengambil spesialisasi lain saja. "Saya
melihat Mochtar punya bakat sebagai pelompat jangkit. Posturnya
bagus," ujar Bram Soselisa.
Awang Papilaya pernah melatih Mochtr dalam pelatnas untuk SEA
Games 1979. Ia bahkan meramalkan Mochtar mampu menyaingi
prestasi atlet Asia. "Tapi di SEA Games lalu saya gagal," kata
Mochtar. Ketika itu baru saja terjun ke nomor lompat jangkit, ia
menempati urutan keempat di belakang atlet Birma, Muangthai dan
Malaysia. Lompatan terbaik Mochtar di tahun 1979 baru 14,34 m.
Mochtar, tinggi 177 cm dan berat 63 kg, baru menonjol lagi
sewaktu mengikuti Kejuaraan Atletik Jawa Timur di Surabaya,
Januari. Kemampuannya bertambah 19 cm. Ketika berlomba dalam
Kejuaraan Piala Widarsa di Jakarta, Mei, lompatannya lebih jauh
lagi -- mencapai 14,81 m. Hingga Mochtar mendapat tiket untuk
berlatih di Kiel bersama 20 atlet pilihan lainnya.
Pimpinan PT Petro Kimia Gresik tempat ia bekerja, memberikan
kesempatan di mana saja baginya berlatih. Bila tak ada pemusatan
latihan di daerah atau di pusat, Mochtar berlatih ala
kadarnya--satu sampai dua jam dan berselang hari. Selama di
Kiel, katanya, "semua atlet disiplin sekali dalam latihan. Mau
tak mau saya ikut disiplin."
Selama tiga bulan itu Mochtar, juga atlet Indonesia lainnya,
ikut kejuaraan antarklub maupun antara mahasiswa Jerman. Tiga
kali Mochtar menjadi juara dari 12 pertandingan yang diikuti.
Tapi prestasi terbaik yang dicatatnya di sana baru 15,09 m--satu
sentimeter bawah rekor nasional Awang Papilaya dan 10 cm di atas
rekor SEA Games yang dipegang Kamaruddin Mydin dari Malaysia.
Sebagai pemecah rekor nasional ia mendapat hadiah uang sebesar
Rp 150.000 dari pimpinan Kontingen PON X Jawa Timur. Sedang topi
pet putih didapatnya dari Awang Papilaya, sebagai lambang
penyerahan mahkota. "Harga topinya tak seberapa. Tapi artinya
besar," kata Awang Papilaya. Dan Mochtar mengangguk.
Mochtar, berijazah SMA, di PT Petro Kimia Gresik mendapat gaji
yang lumayan, Rp 75.000 perbulan. "Sebagian besar uang itu habis
untuk membeli vitamin," katanya. Rekor Asia (17,34 m) kini
diincarnya.
Atlet putri yang menonjol pekan lalu adalah Irianika van
Houten--lebih dikenal dengan nama Starlet. Ketika berlomba di
nomor 3.000 m, ia memperbaiki rekor nasional yang dibuat Lelyana
Tjandrawidjaya dengan perpendekan waktu 16 detik. Starlet
mencatat waktu 10 menit 11,3 detik, masih lebih tajam dari rekor
SEA Games (10 menit 18,7 detik yang dibuat pelari Singapura
Jayamani di Kualalumpur, 1977 "Berkat latihan di Malaysia,"
kata Starlet berseloroh, Starlet, 19 tahun, mahasiswi ASMI,
menjelang PON X memang berlatih di Malaysia--satu pekan saja. Ia
diboyong ke sana oleh pelatih Lelyana Tjandrawidjaya. Sebagai
pembina fisik tim PSSI 'tama, Lelyana waktu itu mengikuti
turnamen Merdeka Games. Lelyana tak sampai hati meninggalkan
Starlet yang memang sudah dipersiapkannya untuk memecahkan
rekor. "Cuma saya tak mengira waktunya akan begitu tajam," kata
Lelyana.
Dua pelari cilik, berkaki ayam lagi, dari Nusa Tenggara Timur --
Welmintje Sonbay dan Katherina Nasimnasim-sangat memburu
Starlet. Sampai putaran terakhir Starlet selalu ditempel ketat
oleh kedua lawannya. Bahkan ketika masuk garis finish, Welmintje
cuma ketinggalan 25 m di belakang.
Menghadapi PON X, Starlet berlatih keras tiap hari selama dua
bulan--pagi dua jam dan sore 90 menit. Dan "gizi makanannya juga
saya perhatikan," ujar Lelyana.
Dalam SEA Games 1979 di Jakarta, kontingen Indonesia cuma
kebagian dua medali emas dari nomor atletik. Ketua PASI Bob
Hassan konon kini optimistis Indonesia bisa mengharapkan lebih
dari itu di Manila (Desember).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini