Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Harapan Baru Dari Atletik

Mohammad Mochtar, 23, berhasil menumbangkan rekor lompat jangkit dalam PON X/1981, yang telah 20 tahun bertahan atas nama Awang Papilaya. Starlet memperbaiki rekornas dalam lari 3000 m.

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA juri mengangkat bendera hijau, tanda lompatan sah, Mohammad Mochtar langsyng mengacungkan kepalan tangan kanannya--mirip salam kemenangan atlee Negro Amerika. Tapi penonton tak peduli. Baru sewaktu di papan pengumuman tertera angka 1553, tanda jarak yang dicapai 15,53 m, tepuk tangan 5.000 pengunjung stadion utama Senayan bergemuruh. Rekor lompat jangkit Awang Papilaya (15,10) tumbang--setelah 20 tahun bertahan. Suatu prestasi terbaik dalam PON X pekan lalu. Penumbangan rekor itu, menurut Mochtar, berkat ketekunan pelatih Bram Soselisa. Baginya, Bram Soselisa tak kalah dibanding pelatih Wolfgang Delfs yang memoles teknik lompatannya selama tiga bulan (Juni-Agustus) di Kiel, Jerman Barat. Mohammad Moehtar, 23 tahun, datang dari Jawa Timur. Ia semula tak tertarik pada lompat jangkit. Nomor kesenangannya adalah lompat jauh dan loncat tinggi. Mochtar pernah menjadi juara junior untuk kedua mata lomba tersebut di tahun 1976. Tapi lantaran loncat tinggi Mochtar sulit menyaingi pemegang rekor nasional Suwignyo, maka Bram Soselisa menganjurkan atlet asuhannya itu untuk mengambil spesialisasi lain saja. "Saya melihat Mochtar punya bakat sebagai pelompat jangkit. Posturnya bagus," ujar Bram Soselisa. Awang Papilaya pernah melatih Mochtr dalam pelatnas untuk SEA Games 1979. Ia bahkan meramalkan Mochtar mampu menyaingi prestasi atlet Asia. "Tapi di SEA Games lalu saya gagal," kata Mochtar. Ketika itu baru saja terjun ke nomor lompat jangkit, ia menempati urutan keempat di belakang atlet Birma, Muangthai dan Malaysia. Lompatan terbaik Mochtar di tahun 1979 baru 14,34 m. Mochtar, tinggi 177 cm dan berat 63 kg, baru menonjol lagi sewaktu mengikuti Kejuaraan Atletik Jawa Timur di Surabaya, Januari. Kemampuannya bertambah 19 cm. Ketika berlomba dalam Kejuaraan Piala Widarsa di Jakarta, Mei, lompatannya lebih jauh lagi -- mencapai 14,81 m. Hingga Mochtar mendapat tiket untuk berlatih di Kiel bersama 20 atlet pilihan lainnya. Pimpinan PT Petro Kimia Gresik tempat ia bekerja, memberikan kesempatan di mana saja baginya berlatih. Bila tak ada pemusatan latihan di daerah atau di pusat, Mochtar berlatih ala kadarnya--satu sampai dua jam dan berselang hari. Selama di Kiel, katanya, "semua atlet disiplin sekali dalam latihan. Mau tak mau saya ikut disiplin." Selama tiga bulan itu Mochtar, juga atlet Indonesia lainnya, ikut kejuaraan antarklub maupun antara mahasiswa Jerman. Tiga kali Mochtar menjadi juara dari 12 pertandingan yang diikuti. Tapi prestasi terbaik yang dicatatnya di sana baru 15,09 m--satu sentimeter bawah rekor nasional Awang Papilaya dan 10 cm di atas rekor SEA Games yang dipegang Kamaruddin Mydin dari Malaysia. Sebagai pemecah rekor nasional ia mendapat hadiah uang sebesar Rp 150.000 dari pimpinan Kontingen PON X Jawa Timur. Sedang topi pet putih didapatnya dari Awang Papilaya, sebagai lambang penyerahan mahkota. "Harga topinya tak seberapa. Tapi artinya besar," kata Awang Papilaya. Dan Mochtar mengangguk. Mochtar, berijazah SMA, di PT Petro Kimia Gresik mendapat gaji yang lumayan, Rp 75.000 perbulan. "Sebagian besar uang itu habis untuk membeli vitamin," katanya. Rekor Asia (17,34 m) kini diincarnya. Atlet putri yang menonjol pekan lalu adalah Irianika van Houten--lebih dikenal dengan nama Starlet. Ketika berlomba di nomor 3.000 m, ia memperbaiki rekor nasional yang dibuat Lelyana Tjandrawidjaya dengan perpendekan waktu 16 detik. Starlet mencatat waktu 10 menit 11,3 detik, masih lebih tajam dari rekor SEA Games (10 menit 18,7 detik yang dibuat pelari Singapura Jayamani di Kualalumpur, 1977 "Berkat latihan di Malaysia," kata Starlet berseloroh, Starlet, 19 tahun, mahasiswi ASMI, menjelang PON X memang berlatih di Malaysia--satu pekan saja. Ia diboyong ke sana oleh pelatih Lelyana Tjandrawidjaya. Sebagai pembina fisik tim PSSI 'tama, Lelyana waktu itu mengikuti turnamen Merdeka Games. Lelyana tak sampai hati meninggalkan Starlet yang memang sudah dipersiapkannya untuk memecahkan rekor. "Cuma saya tak mengira waktunya akan begitu tajam," kata Lelyana. Dua pelari cilik, berkaki ayam lagi, dari Nusa Tenggara Timur -- Welmintje Sonbay dan Katherina Nasimnasim-sangat memburu Starlet. Sampai putaran terakhir Starlet selalu ditempel ketat oleh kedua lawannya. Bahkan ketika masuk garis finish, Welmintje cuma ketinggalan 25 m di belakang. Menghadapi PON X, Starlet berlatih keras tiap hari selama dua bulan--pagi dua jam dan sore 90 menit. Dan "gizi makanannya juga saya perhatikan," ujar Lelyana. Dalam SEA Games 1979 di Jakarta, kontingen Indonesia cuma kebagian dua medali emas dari nomor atletik. Ketua PASI Bob Hassan konon kini optimistis Indonesia bisa mengharapkan lebih dari itu di Manila (Desember).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus