Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Mencium Kubur Nabi

2 orang Syi'ah Iran ditangkap ketika mencium makam nabi Muhammad di Masjid Madinah. Buntutnya, kawanan mereka yang membuat onar ditanggapi. Tradisi Syi'ah dikenal ekstrim, bertentangan dengan kaum Wahabi.

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG yang mencium makam Nabi Muhammad ditangkap polisi Arab. Itu terjadi pertengahan September lalu. Mereka dua orang Syi'ah Iran. Dan sebagai buntut peristiwa, kawankawan mereka pada berkumpul. "Allahu Akbar! Allahu Akbar!" -- berteriak-teriak di Masjid Nabi, persis malam Jum'at pukul setengah satu dinihari. Polisi Arab, dengan setelan hijau busuk plus selempang dan kerudung itu, pada gusar. Mereka menyerbu dengan pentungan. 20 orang dikabarkan luka--12 orang di antaranya diangkut ke rumah sakit. Lantas, 80 orang lain juga diuber. Para calon haji itu, yang sedang menunggu masa ibadah dengan beriarah di Madinah, dipulangkan kembali ke negaranya. Mereka dituduh menyebarkan berbagai brosur dan suka mengacung-acungkan gambar Khomeini, dan tentunya dianggap menghasut buat revolusi. Entah benar mereka menghasut, entah cuma ingin suasana meriah. Sebab hidup keagamaan model Syi'ah memang ramai dan seru penuh teriakan, penuh mikrofon, penuh gambar (yang di dunia Islam lain tidak dikenal) dan penuh tangis di kubur-kubur "keramat". Lihatlah di Nejef, di Karbala, kedua-dunya di Irak, selain di Masyhad, Qum dan kota-kota yang dianggap suci di Iran sendiri. Masjid-masjid megah, yang menaranya berselaput emas, dan dibawahnya umat yang miskin--yang bagaikan orang-orang sengsara berteriak-teriak dan mencium-cium kubur dan meminta sedekah dan melempar-lemparkan uang ke makam orang suci, memukul-mukul dada, memukul kepala atau melukai diri sendiri. Arab Saudi jauh dari pekerti itu. Islam adalah agama yang sepi--kecuali suara azan, Qur'an, talbiah di waktu haji dan sejumlah doa yang diajarkan Nabi. Bahkan kaok-kaok mikrofon seperti di sini tidak terdengar di negeri itu. Dalam sejarah pergerakan Wahabi, gerakan pemurnian Islam yang keras yang menjadi anutan Dinasti Saud, pernah mereka dahulu menyerbu Irak untuk meruntuhkan "bangunan-bangunan suci". Di Mekah sendiri mereka membabat kubah-kubah mentereng di pekuburan Ma'la. Acara pemakaman Raja Faisal sendiri--beberapa tahun lalu--boleh menjadi contoh. Kuburnya hanya segunduk tanah, nisannya hanya sebongkah batu. Upacara yang dihadiri berbagai kepala negara itu pun cukup mencengangkan: hanya berlangsung beberapa menit. Upacara bikin-bikinan bertele-tele, di samping segala bentuk "keberhalaan", memang merupakan hal pertama yang bikin orang Wahabi jijik. Tapi sikap seperti itu pula yang membuat dunia Islam dahulu tersentak waktu kaum Wahabi mencapai kemenangan. Bukan hanya yang Syi'ah. Sebab kaum muslimin Sunni sendiri, mayoritas Islam di dunia, baru di masamasa terakhir saja boleh dikatakan bebas dari "penyembahan kuburan". Meski tradisi ziarah ke makam-makam "keramat" di kalangan kita dan di banyak negeri muslim lain tetap populer, setidaknya itu bukan sikap resmi dan tidak pula seekstrim tradisi Syi'ah. Wahabi yang padang pasir itu bukan main ekstrim--dan justru itu yang menimbulkan kekhawatiran muslimin berbagai negeri. Begitu mereka berhasil merebut kekuasaan di seluruh jazirah Arab di awal abad ini, termasuk kota-kota suci Mekah dan Madinah, dari Indonesia misalnya satu perutusan berangkat ke sana--di tahun 1920-an. Mereka, yang terdiri antara lain dari para pemuka agama yang belakangan mendirikan Nahdlatul Ulama, ingin minta ketegasan kepada Raja --bahwa Masjidil Haram di Mekah, Masjib Nabi di Madinah serta makam Nabi dan para Sahabat, yang sudah "telanjur dalam bentuk seperti sekarang ini", tidak dirusak oleh konsep keagamaan Wahabi yang serba sangat sederhana itu. Sekarang masjid-masjid itu masih tetap megah. Kubur Nabi, dalam Masjid Madinah, persis di bawah kubah hijau di atap di luar sana, didampingi kubur sahabat-sahabat Abubakar dan Umar, dikelilingi tembok berlubang-lubang, hanya sayup-sayup kelihatan dalam gelap. Tak mungkin orang masuk. Beberapa hansip atau polisi berjaga di sini. Tak usah mendekat untuk memegang-megan tembok, betapa pun inginnya atau rindunya -- apalagi mencium-cium seperti dua orang Iran itu, atau menangis meraung-raung minta ini dan itu. Anda tidak akan ditangkap, memang--hanya kepala boleh kena pentungan karet. Adapun si dua orang Iran sampai ditangkap, itu sih bisa jadi bukan semata-mata soal agama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus