ENAM orang pemuka Kristen dan Katolik menemui Menteri Agama --
Sabtu pekan lalu. Mereka para pimpinan Dewan Gereja-Gereja di
Indonesia (DGI) dan Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI).
Ini memang bagian dari kontroversi sekitar Surat Edaran Menteri
--yang mengatur penyelenggaraan perayaan hari besar agama.
"Menteri Agama menerima usul, agar diadakan Sidang Musyawarah
Antar Umat Beragama untuk membicarakan SF. Menteri itu." Ini
keterangan Dr. S.A.E. Nababan, Sekjen DGI.
Kalangan Protestan dan Katoliklah terutama yang keberatan
terhadap buah kebijaksanaan Alamsyah tersebut. Alasan, pada
pokoknya: isi SE dalam garis besarnya tidak sama dengan hasil
Sidang Musyawarah Antar Umat Beragama -- yang diadakan empat
kali sejak 14 Mei, dan berakhir 25 Agustus.
Sabam Sirait, anggota DPR dari FPDI, seperti disiarkan pers ada
menunjukkan satu contoh. Dalam keputusan musyawarah, misalnya,
disebut agar para guru "dapat membina jiwa kerukunan anak
didiknya menjadi lebih mantap tanpa mengurangi keyakinan dan
keimanan agama yang dipeluknya masing-masing." Sedang dalam SE
para guru diharap mendidik anak asuhannya, dan seterusnya,
"sehingga penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan
diadakan sesuai dengan ketentuan surat edaran)." Sedang surat
edaran itu bisa dirasakan sebagai lebih mengkotak-kotakkan --
meski taruhlah bertujuan merukunkan.
Udara yang bangkit dari keputusan musyawarah memang bisa
dianggap lebih umum. Atau lebih samar pembeda-bedaan di situ
tenggelam dalam berbagai pengertian kebersamaan yang bertaburan.
Sehingga, seperti juga kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Walubi
(Perwalian Umat Budha Indonesia), Suparto Hardjo Sutrisno,
"Kalau dilihat secara keseluruhan SE itu, bukan lagi Menteri
agama meneruskan hasil perumusan itu, tapi sudah menjadi versi
Menteri" meski ia sendiri berpedapat: "Surat edaran itu wajar
bagi kami."
Memang bisa saja terdapat perbedaan penafsiran. Bagi Drg. Willy
P. Surya misalnya, Ketua 111 Parisadha Hindu Dharma, "jiwa SE
itu sesuai dengan yang telah dimufakati bersama. Menurut saya
hanya kulitnya saja yang diubah."
Betapapun, bila SE tersebut untuk mengikat semua lembaga negara,
maka di sinilah Ir. Sarwono Kusumaatmaja, Sekretaris F-KP di DPR
menyatakan reaksinya. Diketahui sebagai tokoh yang pertama
memberikan tanggapan, Sarwono menyatakan bahwa untuk maksud
seperti itu sebuah SE tidak cukup. "Harus berupa penetapan
Presiden atau undang-undang." Sarwono juga menuding SE
mencampuri masalah peribadatan-dan dengan demikian tidak sesuai
dengan penegasan Presiden di Depan Rapat Kerja Departemen Agama
25 Mei.
Tapi khusus untuk yang terakhir, pendapat yang sebaliknya juga
bisa didapat. Tak kurang dari Ketua DPR/MPR Daryatmo yang
menyatakan SE tersebut "bukan untuk mencampuri urusan intern
tiap agama" --sambil mengingatkan bahwa baik Menteri maupun para
anggota DPR berniat baik.
'Kebebasan'
Anggapan 'mencampuri' memang bisa timbul bila peribadatan
dipandang dari seginya yang "menyangkut hubungan pribadi dengan
Tuhan YME"--meminjam kalimat keputusan musyawarah. Atau sebagai
bagian dari kebebasan beragama, yang "merupakan salah satu hak
paling asasi". Jadinya: SE itu menentukan apa yang boleh dan tak
boleh diperbuat seseorang dalam hubungan peribadatan agama-agama
-- bukan mencampuri tata ibadat masing-masing agama itu
sendiri--dan itu, kira-kira, mengurangi hak kebebasan.
Malangnya, justru kebebasan itu yang tak diinginkan terutama
oleh kalangan Islam--bila itu berarti "kesimpangsiuran", seperti
yang sering mereka katakan. Dengan kata lain 'pengaburan'.
Bahkan Suparto Hardjo Sutrisno dari Walubi itu berpendapat,
"dalam acara ritual keagamaan memang sebaiknya wakil pemerintah
yang beragama lain tidak hadir--meskipun bukan tidak boleh
hadir."
Makin jelaslah perbedaan isu. Satu pihak menginginkan
pelonggaran dinding batas. Pihak lain justru mengkhawatirkan
pengaburan. Surat-surat dari orang Islam, yang masuk ke Majelis
Ulama Indonesia maupun Departemen Agama, yang dikatakan menjadi
pendorong dilahirkannya fatwa MUI tempo hari, jelas menunjuk
pada penolakan terhadap "pengaburan" itu -- khususnya dalam
penyelenggaraan perayaan agama di sekolah-sekolah, tempat yang
kebetulan juga jadi perhatian Sabam Sirait waktu memberikan
contoh tadi. Jelas pihak Islam merasa dirugikan. "Usaha
pemurtadan" adalah isu yang cukup besar.
Sedang kalangan Hindu maupun Budha, menyatakan bisa menerima SE
bukan hanya karena menilainya sebagai wajar, tapi juga karena
"tidak ada kasus-kasus yang menyangkut kami selama ini," seperti
kata Willy dan Suprapto senada.
Dukungan dari kalangan Islam kepada SE pun lantas mengalir.
Mula-mula PP Muhammadiyah. Kemudian PB-NU. Juga Dewan Masjid
Seluruh Indonesia. Bahkan musyawarah organisasi-organisasi Islam
Keluarga Besar Golkar, 23 September, di kantor DPP GUPPI. Mereka
semuanya menemui Menteri Agama.
Presiden, menurut Alamsyah, memesankan agar masalah ini tidak
dibikin panjang. Dalam pada itu Menteri sendiri sudah
mengeluarkan instruksi ke eselon bawahannya untuk pelaksanaan
SE. Musyawarah mungkin akan diadakan lagi. Tapi, rembukan apa
pun yang masih akan diambil, ada baiknya juga pesan Menteri
Agama seperti yang diberikannya kepada para pimpinan Perhimpunan
Pemuda Masjid Jakarta. Yakni agar SE tersebut tidak
dikomentari--dalam kesempatan apa pun di masjid-masjid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini