KEHIDUPAN di pusat latihan nasional telah lama ditinggalkannya.
Ini terjadi sejak kaki kirinya cedera ketika sedang melatih team
PSSI di Sllanghai, tahun 1963. Ia jadi cacad. Tapi Tony Poganik
tidak menjadi tumpul lantaran itu. Sekalipun perkembangan
sepakbola mutakhir tidak lagi dijamahnya secara fisik, namun
kemajuan tersebut tetap disimaknya secara teratur melalui buku
dan brosur.
Nopember 1976 lalu ia ditunjuk untuk menangani team Pra Piala
Dunia 1977. Tapi penunjukan tersebut tak kurang mengundang sikap
pro dan kontra dari masyarakat. Tony Poganik, 65 tahun, niscaya
tahu bahwa ia memang bukan lagi pelatih yang mampu membangun
mithos bagi kesebelasan Indonesia seperti di Olympiade
Melbourne 1956: menahan calon juara Uni Soviet 0-0 dalam
pertandingan pertama dan kalah terhormat 04 pada permainan
ulangan. Tidak semua orang bisa mengulang prestasinya dulu. Tapi
Tony juga tak merunduk atas penunjukan itu. Kelemahan dirinya
diatasinya dengan mengangkat pelatih klab Jayakarta, Sinyo
Aliandu, 7 tahun, sebagai asisten untuk memberi contoh di
lapangan.
"Jemput Bola"
Ketika tak seorangpun berani meramalkan dengan pasti ujud team
Pra Piala Dunia, Tony Poganik mulai mengawali kerjanya dengan
menterapkan teknik latihan: jemput bola. Sistim ini bukan
penemuan baru. Meski buat generasi pemain sekarang tampak agak
sedikit inkonvensionil. Tahun 1954, pada permulaan kontraknya
dengan PSSI, metode ini juga yang dibawanya dari Yugoslavia
untuk generasi LH Tanoto (d/h Tan Liong Houw) dan kawan-kawan.
"Teori jemput bola itu sebenarnya teori alamiah. Karena dasar
permainan adalah menjemput bola. Tapi lantaran sistim itu
diperkenalkan oleh Tony Poganik, jadi kelihatan seperti hal yang
istimewa dan baru", cerita LH Tanoto.
Tapi sifat alamiah itu ternyata tidak sepenuhnya dikuasai dengan
baik oleh pemain angkatan sekarang. "Justru kelemahan team kita
adalah dan teknik jemput bola", kata Sinyo Aliandu.
Menggelinding dalam sistim jemput bola yang diintrodusir Tony
Poganik, perubahan pola permainan dalam team Pra Piala Dunia
ternyata tidak meluncur secepat tendangan Iswadi. Mengingat
mereka selama ini sudah terbiasa dengan permainan perorangan,
dan bergerak dalam lini yang telah ditentukan.
Kebiasaan yang telah mendarah-daging di kalangan pemain itu,
sekalipun mendapat suntikan baru dari Tony Poganik, memang tidak
mengganggu keutuhan regu. Hanya saja gebrakan yang memukau dan
menusuk tajam di daerah pertahanan lawan, seperti yang
diperlihatkan PSSI selama ini, tampak sedikit melemah. Secara
keseluruhan kesebelasan Pra Piala Dunia cenderung mengutamakan
pengawalan daerah pertahanan. Disiplin ini tidak tercela. Tapi
bagaimana mungkin mereka bisa memenangkan turnamen, jika
gebrakan membikin gol menjadi tumpul? "Berilah kami kebebasan
bermain yang lebih besar", ujar penyerang tengah team Pra Piala
Dunia, Risdianto (TEMPO 5 Pebruari 1977).
"Moving Football"
Permintaan Risdianto cukup berdasar. Ia - juga pemain lainnya --
selama ini memperoleh kebebasan seluas-luasnya untuk
berimprovisasi dengan bola dari pelatih team Pre olimpik 1976,
Wiel Coerver. Dan Tony Poganik tampak ingin merubah semua
kebiasaan itu. Ia punya mau semua pemain selalu dalam keadaan
bergerak (movig fooball) dan berinisiatif untuk mengantar
dan menjemput bola dari kawan.
Di luar, kritik terhadap Tony Poganik pun tak kurang gencar.
Hasil 6 kali menang 3 kali seri dan 4 kali kalah dari
pertandingan percobaan itu tak kurang menjadi topik diskusi yang
hangat. Perbincangan itu selain bertolak pada peruhahan pola
permainan team Pra Piala Dunia, juga menyorot melunturnya
'kepribadian' pemain di lapangan. Dan orang pun mulai
memperbandingkan Tony Poganik dan pendahulunya, Wiel Coerver.
"Saya melihat Coerver jauh lebih baik dari Tony", kata bekas
pelatih PSSI yang tak mau ditulis nama.
"Ia bisa menumbuhkan 'kepribadian' pada pemain. Dan faktor ini
tak kurang pentingnya dibandingkan kemampuan teknis".
Pendapat lain pun tak kurang. Drg. Arif Kusnadi (d/h Kiat Sek),
staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Trisakti,
yang pernah diasuh oleh Tony Poganik melihat persoalan dari
kacamata psikologis. Menurut dia Tony Poganik adalah orang yang
cocok untuk melatih PSSI. Mengingat Tom Poganik sudah lama
bermukim di sini dan lebih mengenal karakter pemain Indonesia.
"Tony lebih menjiwai dibanding Coerver", ujar Arif Kusnadi. Tapi
"bukan berarti Coerver lebih jelek. Kalau saja ia diberi waktu
lama, saya kira ia pun bisa diharapkan".
Mengurus Pesanggrahan
Arif Kusnadi juga mengeritik 'kebebasan' yang diberikan Coerver
pada pemain. "Itu baru cocok bila seluruh pemain sudah memahami
jemput bola", lanjut Arif Kusnadi. Fikiran yang sama juga keluar
dari LH Tanoto. "Sekalipun Tony sudab tidak bisa langsung turun
ke lapangan, tapi kehadirannya kembali cukup menguntungkan
PSSI", penilaian Tanoto.
Sejak Tony Poganik menetap di Bali, tahun 1963, ia lebih banyak
menghabiskan waktu untuk membaca dan mengurus pesanggrahannya di
pantai Kuta. "Orang memang bisa mengetahui perkembangan lewat
buku dan brosur. Tapi turun ke lapangan juga tak kalah penting.
Dan itulah kelemahan Tony", kata bekas pelatih PSSI tadi.
Bagaimana komentar di kalangan pemain sendiri? Sekalipun
rata-rata mereka menyatakan hormat terhadap Tony Poganik, namun
mereka kelihatan lebih terkesan dengan bimbingan Coerver.
Kebebasan bagi pemain di lapangan lebih terasa pada waktu
Coerver dulu, komentar sepakat mereka. Dan, itu memberi mereka
peluang untuk bermain sebaik mungkin. Sebab kalau saja mereka
bermain jelek, bisa-bisa mereka tidak terpilih. "Coerver sama
sekali tidak mengenal kompromi terhadap pemain jelek", kata
salah seorang dari mereka.
Indoktrinasi Coerver memang kelitan memberikan hasil nyata.
Semua ini terlihat ketika team PSSI turun dalam turnamen Pre
Olimpik, Pebruari 76 lalu. Tak seorang pun di antara mereka
yang kelihatan kehilangan kepercayaan, sekalipun pada
pertandingan pertama ditahan seri 0-0 oleh kesebelasan
Singapura - yang notabene satu kelas di bawah mereka. "Team Pre
Olimpik lalu adalah merupakan team terbaik dalam sqarah
persepak-bolaan ndonesia", komentar drg. Endang Witarsa. "Jauh
lebih baik dari team yang turun di Olympiade Melbourne".
Dalam serangkaian pertandingan percobaan di stadion utama,
Senayan lalu 'kepribadian' pemain itu kelihatan merosot.
Suhatman yang dulu bermain gemilang, belakangan ini seperti
kehilangan sentuhan. Ia tampak sering gugup dan tak jarang
berlaku ceroboh menghadapi lawan. Juga Risdianto, dan
lainlainnya. Total jenderal kadar permainan mereka sekarang
belum sama dengan team Pre Olimpik dulu.
Akan berlanjutkah keadaan ini nanti di Singapura? Pengurus PSSI
kelihatan tidak mau ambil risiko. Faktor-faktor yang mungkin
bakal menimbulkan demoralisasi di kalangan pemain - setelah
'kebebasan' diberikan - telah diusahakan untuk dihindarkan.
Misalnya mengenai uang saku, pimpinan PSSI telah memberikan
jumlah yang memadai. Selama di pelatnas, setiap pemain mendapat
uang jajan Rp 4.000 per hari. Di samping itu ada pula bonus dari
setiap pertandingan: Rp 60.000 kalau memenangkan pertandingan,
Rp 40.000 untuk hasil seri, dan Rp 25.000 jika mereka dikalahkan
lawan. Angka-angka tersebut dikabarkan akan melonjak lagi
setelah sampai di Singapura.
Faktor lain yang juga mereka perhatikan secara serius adalah
soal penginapan selama turnamen dari tanggal 27 Pebruari sampai
dengan 12 Maret depan. Pimpinan PSSI telah menolak hotel yang
disediakan oleh panitia. PSSI memilih tempat tersendiri. Pilihan
PSSI adalah Chequers Hotel yang terletak di Thompson Road 418,
Singapura 11. Bukit Timah. Menurut asisten manager Chequers
Hotel, Miss Teo, kepada pembantu TFMPO di Singapura, Khoe Hak
Lip, PSSI memang telah memesan 10 kamar untuk 3 orang dengan
sewa 10 dolar Singapura per-orang, serta 3 kamar dobel untuk 6
orang dengan sewa 25 dolar per-kamar (1 dolar Singapura nilai
tukarnya sama dengan Rp 172,50).
Semua angka-angka itu dihitung tanpa menghitung ongkos makan.
Untuk makan pagi mereka bisa memesan sarapan a la Chequers atau
Continental. Harganya masing-masing 3,50 dan 2,50 dolar. Makan
siang 3,50 dolar pula. Yang mendorong pimpinan PSSI memilih
Chequers Hotel yang memiliki 25 kamar itu bukan karena angka
pembayaran. "Kami menginginkan tempat yang santai dan mempunyai
fasilitas untuk latihan", kata Sekretaris Umum PSSI, Joemarsono.
PSSI memang bisa mendapatkan semua itu. Sebab di seberang hotel
tersebut terdapat lapangan olahraga milik Akademi Polisi
Singapura. Bahkan mereka telan mendapat izin untuk latihan di
sana. Tapi fihak penyelenggara sampai pekan lalu tampak belum
memberikan persetujuan kepada PSSI. "Diam itu berarti setuju",
ujar Joemarsono. Ia menambahkan jika tuan rumah sampai mau
memaksakan kehendak mereka untuk tetap menempati tempat yang
telah disediakan, kalau perlu PSSI akan mempergunakan pesawat
pulang-pergi dari Jakarta untuk hari-hari pertandingan yang
diikuti.
Bardosono Melepaskan Niat
Segala upaya untuk memenangkan turnamen Pra Piala Dunia tampak
ditumbuhkan dengan bijak sekali oleh pimpinan PSSI. Bardosono
yang dulu berniat akan turun langsung sebagai team manager,
hari-hari terakhir menjelang pengumuman nama 20 pemain (Ronny
Paslah, Sudarno, Oyong Liza, Lukman Santoso, Simson Rumah Pasal,
Johannes Auri, Wahyu Hidayat, Suaeb Rizal, Suhatman, Nobon,
Sofyan Hadi, Anjas Asmara, Iswadi, Risdianto, Waskito, Hartono,
Hadi Ismanto, Ronny Pattinasarany, Junaedi Abdillah, dan Andi
Lala) melepaskan niatnya. Ia menunjuk FH Hutasoit untuk memikul
tanggungjawab tersebut, nama yang sulit dipisahkan dengan
anak-anak PSSI sekarang - sebagian besar adalah pemain PSSI
Harimau yang dulu dibawanya ke Eropa. "Suatu pilihan yang
tepat", kata Iswadi.
Tugas yang dipikul Hutasoit bersama Chef de Mission, TD Pardede,
Deputi Team Manager, Benny Mulyono, Pelatih, Tony Poganik dan
Sinyo Aliandu, tampak bukan tugas yang ringam Sekalipun untuk
sampai ke turnamen Piala Dunia di Argentina, tahun depan
kemungkinan itu tipis sekali - PSSI harus berkompetisi lagi
dengan pemenang grup Asia-Oceania lainnya, di mana berkumpul
kesebelasan kuat seperti Israel, Iran, Australia dan lain-lain.
Tapi turnamen Singapura bukan kecil artinya. Masyarakat pecandu
sepakbola sangat berharap kita akan menang di sini, setelah PSSI
gagal secara dramatis dalam Pre Olimpik lalu. "Tak ada alasan
bagi PSSI untuk kalah di Singapura", komentar bekas asisten
pelatih team Pre Olimpik, Ilyas Haddade. "Bukankah lawan yang
akan dihadapi itu-itu juga?".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini