Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Harapan Dari Chequers Hotel

Tony Poganik, 65, ditunjuk sebagai pelatih PSSI pra piala dunia. Ia tunjuk asistennya Sinyo Aliandu. Teori jemput bola di populerkan. Di Singapura PSSI menempati chequers hotel. Tada alasan untuk kalah.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEHIDUPAN di pusat latihan nasional telah lama ditinggalkannya. Ini terjadi sejak kaki kirinya cedera ketika sedang melatih team PSSI di Sllanghai, tahun 1963. Ia jadi cacad. Tapi Tony Poganik tidak menjadi tumpul lantaran itu. Sekalipun perkembangan sepakbola mutakhir tidak lagi dijamahnya secara fisik, namun kemajuan tersebut tetap disimaknya secara teratur melalui buku dan brosur. Nopember 1976 lalu ia ditunjuk untuk menangani team Pra Piala Dunia 1977. Tapi penunjukan tersebut tak kurang mengundang sikap pro dan kontra dari masyarakat. Tony Poganik, 65 tahun, niscaya tahu bahwa ia memang bukan lagi pelatih yang mampu membangun mithos bagi kesebelasan Indonesia seperti di Olympiade Melbourne 1956: menahan calon juara Uni Soviet 0-0 dalam pertandingan pertama dan kalah terhormat 04 pada permainan ulangan. Tidak semua orang bisa mengulang prestasinya dulu. Tapi Tony juga tak merunduk atas penunjukan itu. Kelemahan dirinya diatasinya dengan mengangkat pelatih klab Jayakarta, Sinyo Aliandu, 7 tahun, sebagai asisten untuk memberi contoh di lapangan. "Jemput Bola" Ketika tak seorangpun berani meramalkan dengan pasti ujud team Pra Piala Dunia, Tony Poganik mulai mengawali kerjanya dengan menterapkan teknik latihan: jemput bola. Sistim ini bukan penemuan baru. Meski buat generasi pemain sekarang tampak agak sedikit inkonvensionil. Tahun 1954, pada permulaan kontraknya dengan PSSI, metode ini juga yang dibawanya dari Yugoslavia untuk generasi LH Tanoto (d/h Tan Liong Houw) dan kawan-kawan. "Teori jemput bola itu sebenarnya teori alamiah. Karena dasar permainan adalah menjemput bola. Tapi lantaran sistim itu diperkenalkan oleh Tony Poganik, jadi kelihatan seperti hal yang istimewa dan baru", cerita LH Tanoto. Tapi sifat alamiah itu ternyata tidak sepenuhnya dikuasai dengan baik oleh pemain angkatan sekarang. "Justru kelemahan team kita adalah dan teknik jemput bola", kata Sinyo Aliandu. Menggelinding dalam sistim jemput bola yang diintrodusir Tony Poganik, perubahan pola permainan dalam team Pra Piala Dunia ternyata tidak meluncur secepat tendangan Iswadi. Mengingat mereka selama ini sudah terbiasa dengan permainan perorangan, dan bergerak dalam lini yang telah ditentukan. Kebiasaan yang telah mendarah-daging di kalangan pemain itu, sekalipun mendapat suntikan baru dari Tony Poganik, memang tidak mengganggu keutuhan regu. Hanya saja gebrakan yang memukau dan menusuk tajam di daerah pertahanan lawan, seperti yang diperlihatkan PSSI selama ini, tampak sedikit melemah. Secara keseluruhan kesebelasan Pra Piala Dunia cenderung mengutamakan pengawalan daerah pertahanan. Disiplin ini tidak tercela. Tapi bagaimana mungkin mereka bisa memenangkan turnamen, jika gebrakan membikin gol menjadi tumpul? "Berilah kami kebebasan bermain yang lebih besar", ujar penyerang tengah team Pra Piala Dunia, Risdianto (TEMPO 5 Pebruari 1977). "Moving Football" Permintaan Risdianto cukup berdasar. Ia - juga pemain lainnya -- selama ini memperoleh kebebasan seluas-luasnya untuk berimprovisasi dengan bola dari pelatih team Pre olimpik 1976, Wiel Coerver. Dan Tony Poganik tampak ingin merubah semua kebiasaan itu. Ia punya mau semua pemain selalu dalam keadaan bergerak (movig fooball) dan berinisiatif untuk mengantar dan menjemput bola dari kawan. Di luar, kritik terhadap Tony Poganik pun tak kurang gencar. Hasil 6 kali menang 3 kali seri dan 4 kali kalah dari pertandingan percobaan itu tak kurang menjadi topik diskusi yang hangat. Perbincangan itu selain bertolak pada peruhahan pola permainan team Pra Piala Dunia, juga menyorot melunturnya 'kepribadian' pemain di lapangan. Dan orang pun mulai memperbandingkan Tony Poganik dan pendahulunya, Wiel Coerver. "Saya melihat Coerver jauh lebih baik dari Tony", kata bekas pelatih PSSI yang tak mau ditulis nama. "Ia bisa menumbuhkan 'kepribadian' pada pemain. Dan faktor ini tak kurang pentingnya dibandingkan kemampuan teknis". Pendapat lain pun tak kurang. Drg. Arif Kusnadi (d/h Kiat Sek), staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Trisakti, yang pernah diasuh oleh Tony Poganik melihat persoalan dari kacamata psikologis. Menurut dia Tony Poganik adalah orang yang cocok untuk melatih PSSI. Mengingat Tom Poganik sudah lama bermukim di sini dan lebih mengenal karakter pemain Indonesia. "Tony lebih menjiwai dibanding Coerver", ujar Arif Kusnadi. Tapi "bukan berarti Coerver lebih jelek. Kalau saja ia diberi waktu lama, saya kira ia pun bisa diharapkan". Mengurus Pesanggrahan Arif Kusnadi juga mengeritik 'kebebasan' yang diberikan Coerver pada pemain. "Itu baru cocok bila seluruh pemain sudah memahami jemput bola", lanjut Arif Kusnadi. Fikiran yang sama juga keluar dari LH Tanoto. "Sekalipun Tony sudab tidak bisa langsung turun ke lapangan, tapi kehadirannya kembali cukup menguntungkan PSSI", penilaian Tanoto. Sejak Tony Poganik menetap di Bali, tahun 1963, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan mengurus pesanggrahannya di pantai Kuta. "Orang memang bisa mengetahui perkembangan lewat buku dan brosur. Tapi turun ke lapangan juga tak kalah penting. Dan itulah kelemahan Tony", kata bekas pelatih PSSI tadi. Bagaimana komentar di kalangan pemain sendiri? Sekalipun rata-rata mereka menyatakan hormat terhadap Tony Poganik, namun mereka kelihatan lebih terkesan dengan bimbingan Coerver. Kebebasan bagi pemain di lapangan lebih terasa pada waktu Coerver dulu, komentar sepakat mereka. Dan, itu memberi mereka peluang untuk bermain sebaik mungkin. Sebab kalau saja mereka bermain jelek, bisa-bisa mereka tidak terpilih. "Coerver sama sekali tidak mengenal kompromi terhadap pemain jelek", kata salah seorang dari mereka. Indoktrinasi Coerver memang kelitan memberikan hasil nyata. Semua ini terlihat ketika team PSSI turun dalam turnamen Pre Olimpik, Pebruari 76 lalu. Tak seorang pun di antara mereka yang kelihatan kehilangan kepercayaan, sekalipun pada pertandingan pertama ditahan seri 0-0 oleh kesebelasan Singapura - yang notabene satu kelas di bawah mereka. "Team Pre Olimpik lalu adalah merupakan team terbaik dalam sqarah persepak-bolaan ndonesia", komentar drg. Endang Witarsa. "Jauh lebih baik dari team yang turun di Olympiade Melbourne". Dalam serangkaian pertandingan percobaan di stadion utama, Senayan lalu 'kepribadian' pemain itu kelihatan merosot. Suhatman yang dulu bermain gemilang, belakangan ini seperti kehilangan sentuhan. Ia tampak sering gugup dan tak jarang berlaku ceroboh menghadapi lawan. Juga Risdianto, dan lainlainnya. Total jenderal kadar permainan mereka sekarang belum sama dengan team Pre Olimpik dulu. Akan berlanjutkah keadaan ini nanti di Singapura? Pengurus PSSI kelihatan tidak mau ambil risiko. Faktor-faktor yang mungkin bakal menimbulkan demoralisasi di kalangan pemain - setelah 'kebebasan' diberikan - telah diusahakan untuk dihindarkan. Misalnya mengenai uang saku, pimpinan PSSI telah memberikan jumlah yang memadai. Selama di pelatnas, setiap pemain mendapat uang jajan Rp 4.000 per hari. Di samping itu ada pula bonus dari setiap pertandingan: Rp 60.000 kalau memenangkan pertandingan, Rp 40.000 untuk hasil seri, dan Rp 25.000 jika mereka dikalahkan lawan. Angka-angka tersebut dikabarkan akan melonjak lagi setelah sampai di Singapura. Faktor lain yang juga mereka perhatikan secara serius adalah soal penginapan selama turnamen dari tanggal 27 Pebruari sampai dengan 12 Maret depan. Pimpinan PSSI telah menolak hotel yang disediakan oleh panitia. PSSI memilih tempat tersendiri. Pilihan PSSI adalah Chequers Hotel yang terletak di Thompson Road 418, Singapura 11. Bukit Timah. Menurut asisten manager Chequers Hotel, Miss Teo, kepada pembantu TFMPO di Singapura, Khoe Hak Lip, PSSI memang telah memesan 10 kamar untuk 3 orang dengan sewa 10 dolar Singapura per-orang, serta 3 kamar dobel untuk 6 orang dengan sewa 25 dolar per-kamar (1 dolar Singapura nilai tukarnya sama dengan Rp 172,50). Semua angka-angka itu dihitung tanpa menghitung ongkos makan. Untuk makan pagi mereka bisa memesan sarapan a la Chequers atau Continental. Harganya masing-masing 3,50 dan 2,50 dolar. Makan siang 3,50 dolar pula. Yang mendorong pimpinan PSSI memilih Chequers Hotel yang memiliki 25 kamar itu bukan karena angka pembayaran. "Kami menginginkan tempat yang santai dan mempunyai fasilitas untuk latihan", kata Sekretaris Umum PSSI, Joemarsono. PSSI memang bisa mendapatkan semua itu. Sebab di seberang hotel tersebut terdapat lapangan olahraga milik Akademi Polisi Singapura. Bahkan mereka telan mendapat izin untuk latihan di sana. Tapi fihak penyelenggara sampai pekan lalu tampak belum memberikan persetujuan kepada PSSI. "Diam itu berarti setuju", ujar Joemarsono. Ia menambahkan jika tuan rumah sampai mau memaksakan kehendak mereka untuk tetap menempati tempat yang telah disediakan, kalau perlu PSSI akan mempergunakan pesawat pulang-pergi dari Jakarta untuk hari-hari pertandingan yang diikuti. Bardosono Melepaskan Niat Segala upaya untuk memenangkan turnamen Pra Piala Dunia tampak ditumbuhkan dengan bijak sekali oleh pimpinan PSSI. Bardosono yang dulu berniat akan turun langsung sebagai team manager, hari-hari terakhir menjelang pengumuman nama 20 pemain (Ronny Paslah, Sudarno, Oyong Liza, Lukman Santoso, Simson Rumah Pasal, Johannes Auri, Wahyu Hidayat, Suaeb Rizal, Suhatman, Nobon, Sofyan Hadi, Anjas Asmara, Iswadi, Risdianto, Waskito, Hartono, Hadi Ismanto, Ronny Pattinasarany, Junaedi Abdillah, dan Andi Lala) melepaskan niatnya. Ia menunjuk FH Hutasoit untuk memikul tanggungjawab tersebut, nama yang sulit dipisahkan dengan anak-anak PSSI sekarang - sebagian besar adalah pemain PSSI Harimau yang dulu dibawanya ke Eropa. "Suatu pilihan yang tepat", kata Iswadi. Tugas yang dipikul Hutasoit bersama Chef de Mission, TD Pardede, Deputi Team Manager, Benny Mulyono, Pelatih, Tony Poganik dan Sinyo Aliandu, tampak bukan tugas yang ringam Sekalipun untuk sampai ke turnamen Piala Dunia di Argentina, tahun depan kemungkinan itu tipis sekali - PSSI harus berkompetisi lagi dengan pemenang grup Asia-Oceania lainnya, di mana berkumpul kesebelasan kuat seperti Israel, Iran, Australia dan lain-lain. Tapi turnamen Singapura bukan kecil artinya. Masyarakat pecandu sepakbola sangat berharap kita akan menang di sini, setelah PSSI gagal secara dramatis dalam Pre Olimpik lalu. "Tak ada alasan bagi PSSI untuk kalah di Singapura", komentar bekas asisten pelatih team Pre Olimpik, Ilyas Haddade. "Bukankah lawan yang akan dihadapi itu-itu juga?".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus