SEPULUH tahun lalu Bank Pembangunan Daerah Jaya masih terhutang
Rp 3 juta. Sekarang kekayaannya (asset) mencapai Rp 259 milyar.
Hebat dan luar biasa menanjaknya walaupun ia berstatus
non-pemerintah tapi juga bukan swasta. Semua itu berkat
kecipratan sukses dari Gubernur Ali Sadikin yang minggu lalu
bangga sekali meresmikan gedung baru bank daerahnya ini.
Terletak di Jl. Ir. H. Juanda III/9, BPD Jaya kini bergedung
megah dengan 3 lantai. Ketika dimulai 16 tahun lalu, ia cuma
berkantor di bekas pabrik roti. Cuma 7 karyawannya termasuk
pelayan dan supir, ketika itu. Kini karyawannya mencapai 20,
tersebar dalam 11 cabang pembantunya di lima wilayah DKI. "Semua
gedung BPD Jaya sudah milik sendiri", dirut Abdulkahar, 63
tahun, menjawab wartawan TEMPO Yunus Kasim.
Pak Kahar, begitu panggilannya sehari-hari, masuk ke BPD Jaya
awal 1969 langsung sebagai dirut. Karir perbankannya dimulai
sebagai pegawai menengah BNI-1946 di Malang yang diakhirinya
sebagai direktur muda kantor pusat bank negara itu sebelum
pindah ke BPD Jaya. Orang kedua. BPD Jaya, H. Mas Ismail, 58
tahun, adalah juga bekas direktur muda BNI-1946.
Tak ragu lagi. BPD Jaya adalah terbesar dibanding bank sejenis
di semua propinsi. Omzetnya rata-rata per bulan pada tahun 1976
Rp 190 milyar, dibanding hanya Rp 3,3 milyar tahun 1969, ketika
Repelita dimulai. Jelas pertumbuhannya mengikuti eskalasi
pembangunan di DKI. Bayangkan, semua kontraktor yang mengerjakan
proyek DKI merasa wajib menjadi nasabahnya, apalagi segala
perusahaan yang berbisnis dengan pemerintah DKI. Gubernur Ali
Sadikin memang membuat lingkungannya supaya memberi prioritas
pada BPD Jaya.
Meskipun begitu, BPD Jaya bukanlah dianggap bank pemerintah oleh
BI. Sebaliknya, ia bukan pula bank swasta dalam artian
sebenarnya, karena ia milik pemerintah daerah dan melekat
padanya "bau resmi", tentu saja. Tapi, walaupun dengan segala
sukses yang melangit, Bl masih belum mau menaikkan kelas BPD
Jaya sebagai bank devisa. Maka dalarn melayani jasa impor, ia
masih perlu bekerjasarna dengan BNI- 1946. Jumlah pembukaan L/C
yang dilayaninya meningkat dari Rp 243,5 juta dalam 197C ke Rp
1,8 milyar tahun lalu.
"Kami harus bersaing dengan sedikitnya 135 kantor bank di
Jakarta", kata Ismail.
Hal yang agaknya paling menyedihkan bagi manajemen BPD Jaya
ialah: BI tak memberi subsidi padanya atas deposito berjangka,
sedang pada bank pemerintah lainnya itu diberikan. Sesudah itu,
departemen-departemen tidak mengakui bank garansi yang
dikeluarkan BPD Jaya untuk nasabahnya.
Sekitar 600 perusahaan menjadi debitur BPD Jaya. Tahun lalu
kredit sejumlah Rp 7 milyar diberikannya. "Kredit tidak lancar'.
kata Kahar bangga, "ha nya 1,75%". Dibanding betapa tingginya
persentase kredit macet (masih rahasia) di Bank Bumi Daya,
menurut satu nasabah, dirut Kahar pantas juga menepuk dada.
Kreditnya sampai pada usaha kecil seperti pabrik tahu.
Bagi karyawannya, BPD Jaya seringkali dicap sebagai Bank Coin.
Maklum deh, banyak setoran uang receh dari pasar, bis dan tempat
parkir.
Agaknya, ini merupakan alasan penting bagi BI untuk tak memberi
subsidi. Selain yang berkelas 'recehan' itu, BBD juga mempunyai
nasabah tetap pada berapa perusahaan besar, seperti PT yang
ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini