PEMEGANG rekor nasional nomor lari jarak menengah puteri,
Lelyana Tjandrawidjaja sengaja tidak muncul di lintasan ketika
mata acara dwi lomba Indonesia-Taiwan memasuki seri 800 m. "Ia
melepaskan nomor tersebut karena ingin mengkonsentrasikan diri
dalam lomba 3.000 meter", tutur Sekjen PASI, Soekojo
Hardjoprawiro M.Sc.
Pilihan Lelyana ternyata tidak sia-sia. Ia menguntit rapat
pelari andalan Taiwan, Wu Jin Yu yang mencatat waktu tempuh di
negerinya 10 menit 32,0 detik - rekor nasional Indonesia 10
menit 40,1 detik. Tapi taktik Lelyana dengan membiarkan lawan di
depan selama 7 putaran lintasan stadion utama Senayan, Jakarta
bukan tak mendebarkan pecandu atletik yang mulai menggelembung
pada Jumat, 24 Juni sore lalu.
Mereka bukan cemas pada kemampuan Lelyana untuk memperbaiki
rekor nasional yang tengah dipegangnya, tapi kuatir tak mampu
menundukkan Wu Jin Yu. Mengingat pada hari sebelumnya
atlit-atlit tamu memperlihatkan dominasi dalam pengumpulan
medali pada setiap cabang yang dipertandingkan. Dari 15 mata
lomba hari pertama itu hanya 3 nomor yang lolos dari tangan
mereka -- 1 lomba lari 400 m puteri yang diraih oleh Carolina
Riewpassa. 2 lainnya adalah lompat tinggi putera dan lempar
lembing puteri. Lepasnya 3 medali dwi lomba ini dari mereka,
pada nomor yang disebut pertama memang lantaran Carolina lebih
unggul dari mereka. Tapi pada 2 nomor terakhir karena mereka
tidak ikut ambil bagian.
Sensasi Baru
Kecemasan terhadap ketrampilan Lelyana segera memudar ketika
kedua pelari yang terpaut dalam jarak dekat itu memasuki garis
200 m menjelang finish. Lelyana segera menerjang ke muka
memotong lawan. Jarak itu makin diperjauhnya begitu ia berhasil
memegang kendali pertandingan. Ia tiba di garis akhir 10 m di
muka lawan. Waktu tempuhnya terekam di stopwatch 10 menit 27,0
detik, sekaligus merupakan rekor nasional baru.
Jika dibandingkan dengan rekor dunia yang dicatat oleh Grete
Waitz dari Norwegia 8 menit 46,6 detik pada tahun 1975,
kebolehan Lelyana memang belum seberapa. Tapi penajaman tempo
13,1 detik merupakan sensasi baru dalam lomba atletik puteri
lndonesia. Karena selama ini perbaikan rekor untuk nomor 3.000 m
ini terbatas pada detik-detik yang kecil.
Persaingan dalam dwi lomba ini memang hanya terjadi di bagian
puteri. Dari 31 nomor yang diikuti oleh atlit tamu (jumlah mata
lomba 33 nomor) hanya 3 medali emas yang lepas dari tangan
mereka. Masing-masing diraih oleh Carolina untuk lomba lari 200
m dan 400 m serta Lelyana pada nomor 3.000 m.
Meski hanya 3 medali emas yang mereka raih tapi mereka mencatat
4 rekor nasionai baru. Prestasi baru itu tercatat pada nomor 400
m. 3.000 m, 4 x 400 m, dan 4 x 100 m. Waktu tempuhnya kini
adalah 56,0 detik (lama 56,7 detik), 10 menit 27.0 detik (lama
10 menit 40,1 detik), 4 menit 00,5 detik (lama 4 menit 05,4
detik) dan 48,0 detik (lama 48, detik).
Di bagian putera, harapan atlit Indonesia dipunahkan seluruhnya
oleh jago Taiwan. Yang tersisa pada mereka cuma perbaikan rekor
nasional. Masing-masing atas nama ir. Komot Heruwatno, dosen
Unpad yang memperbaiki rekor lontar martil menjadi 41,38 m
(rekor lama 40,30 m) dan Mujiono yang memperbarui prestasi lari
400 m yang diciptakan oleh Agus Sugiri di Canton, RRC tahun
1964. Waktu tempuh nasional kini menjadi 48,0 detik (rekor lama
48,5 detik).
Melihat merajalelanya atlit-atlit Taiwan di lintasan lari,
maupun di lapangan lain, bekas pelari nasional Jootje Gozal tak
urung tertunduk sedih. "Di zaman kami dulu (maksudnya: di tahun
60-an) mereka tak ada artinya lawan kita" cerita Gozal. Tapi,
"kini sebaliknya".
Generasi Duit
Mundurkah prestasi atlit kita? "Secara keseluruhan sekarang
lebih maju", jawab Goal. Meski dalam kenyataan masih banyak
rekor lama yang belum terpecahkan. Seperti, lari 100 m, 200 m,
400 m gawang, 4 x 100 m, 5.000 m, dan jumlah nomor lain. Tapi,
mengapa rekor-rekor itu belum terpecahkan? "Atlit sekarang beda
dengan atlit dulu", sela Mohamad Sarengat, juara Asian Games
1962. "Dulu generasi dedikasi. Sekarang generasi duit".
Kekesalan Sarengat cukup beralasan, memang. Mengingat di zaman
mereka dulu, fasilitas yang mereka peroleh tidak sebaik
sekarang. Namun mereka toh mampu mencatat rekor yang tajam.
Mengapa generasi pendahulu bisa terbuat banyak dengan fasilitas
yang minim? "Di zaman itu kami punya kebanggaan menjadi atlit
nasional", kata Fabanyo bekas atlit nasional yang kini menjadi
Ketua PASI Irian Jaya. "Sekarang kebanggaan semacam itu tidak
terlihat lagi".
Penilaian itu mungkin tidak seluruhnya benar. Generasi sekarang
juga punya kebanggaan tersendiri, barangkali hanya tidak
sekendal dulu.
Yang disentil Fabanyo bukan hanya soal kebanggaan. Ia juga
mengecam sistim pelatnas yang panjang, pemilihan atlit yang
berdasarkan rasa suka dan tidak senang, semrawutnya pemilihan
bakat, dan sebagainya. Ia mengingatkan kembali pengamatan Bill
Miller, bekas pelatih nasional Indonesia asal Amerika Serikat
tentang bakat-bakat di daerah untuk nomor tertentu. Ia menyebut
daerah Maluku yang punya potensi untuk pelari jarak menengah,
Jawa Timur untuk pelari dekat maupun Irian Jaya untuk nomor
lempar. "Jadi pengarahan atlit itu harus berdasarkan postur
(bentuk tubuh), tambah Fabanyo.
Pilih Kasih
Ia mengambil contoh dengan pemindahan nomor dari pelari jarak
menengah Melly Moffu. Atlit asal Irian Jaya ini, menurut
Fabanyo, semula adalah pelompat tinggi. Karena ia melihat Moffu
tak mungkin berbuat banyak di nomor tersebut maka ia dipindahkan
ke nomor lali. "Lihat saja hasilnya, belum sampai setahun
berlatih. ia sudah bisa menyamai rekor 400 m Agus Sugiri", kata
Fahanyo. Dalam pertandingan dwi lomba kemarin, Moffu hanya
menempati urutan ke lima di bawah 3 atlit Taiwan dan 1 atlit
Jawa Timur. Tapi prestasi boleh dihargai. Karena ia berhasil
menyamai rekor nasional lama.
Tentang masalah pilih kasih dalam pemanggilan atlit, ia menyebut
kasus pemanggilan Moffu dan Reyklivina. "Kenapa hanya 2 orang
atlit Irian Jaya yang dipanggil?", tanya Fabanyo. Ia mengatakan
bahwa di sana masih banyak bakat yang bisa diandalkan, antara
lain pelari 400 m, Mathias dan atlit lainnya. "Kalau memang
panitia atau PASI tak punya uang untuk menyertakan mereka,
kenapa tidak dibebankan saja pada kami untuk membiayai atlit
tambahan tersebut?".
Akan organisasi pelatnas, kecaman dialamatkan Fabanyo pada
jangka waktunya yang panjang. "Pelatnas memang dibutuhkan, tapi
waktunya tak usah selama itu", lanjutnya. Pelatnas untuk SEA
Games sudah berjalan hampir 2 tahun. "Lihat saja, mana prestasi
mereka?". Sentilan itu dibantah keras oleh Soekojo. Sekjen PASI
ini mengatakan, hasil pelatnas baru akan kelihatan dalam SEA
Games nanti.
Prestasi puncak memang diharapkan di Kuala Lumpur. Tapi, masak
selama 2 tahun arah menuju puncak itu tak kelihatan? Bukankah
dalam pertandingan atletik belakangan ini yang memecahkan rekor
adalah atlit-atlit daerah? "Itu artinya ada yang tidak beres,
hukan?", tanya Fabanyo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini