Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Harapan Puncak Di Kuala Lumpur

Lelyana Tjandrawijaya menjuarai lari 3000 m dwilomba Indonesia-Taiwan. Dari 31 nomor pertandingan, 3 nomor dimenangkan Indonesia. Atlit kurang dedikasi, pelatnas terlalu lama, hasil kurang memadai.

2 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMEGANG rekor nasional nomor lari jarak menengah puteri, Lelyana Tjandrawidjaja sengaja tidak muncul di lintasan ketika mata acara dwi lomba Indonesia-Taiwan memasuki seri 800 m. "Ia melepaskan nomor tersebut karena ingin mengkonsentrasikan diri dalam lomba 3.000 meter", tutur Sekjen PASI, Soekojo Hardjoprawiro M.Sc. Pilihan Lelyana ternyata tidak sia-sia. Ia menguntit rapat pelari andalan Taiwan, Wu Jin Yu yang mencatat waktu tempuh di negerinya 10 menit 32,0 detik - rekor nasional Indonesia 10 menit 40,1 detik. Tapi taktik Lelyana dengan membiarkan lawan di depan selama 7 putaran lintasan stadion utama Senayan, Jakarta bukan tak mendebarkan pecandu atletik yang mulai menggelembung pada Jumat, 24 Juni sore lalu. Mereka bukan cemas pada kemampuan Lelyana untuk memperbaiki rekor nasional yang tengah dipegangnya, tapi kuatir tak mampu menundukkan Wu Jin Yu. Mengingat pada hari sebelumnya atlit-atlit tamu memperlihatkan dominasi dalam pengumpulan medali pada setiap cabang yang dipertandingkan. Dari 15 mata lomba hari pertama itu hanya 3 nomor yang lolos dari tangan mereka -- 1 lomba lari 400 m puteri yang diraih oleh Carolina Riewpassa. 2 lainnya adalah lompat tinggi putera dan lempar lembing puteri. Lepasnya 3 medali dwi lomba ini dari mereka, pada nomor yang disebut pertama memang lantaran Carolina lebih unggul dari mereka. Tapi pada 2 nomor terakhir karena mereka tidak ikut ambil bagian. Sensasi Baru Kecemasan terhadap ketrampilan Lelyana segera memudar ketika kedua pelari yang terpaut dalam jarak dekat itu memasuki garis 200 m menjelang finish. Lelyana segera menerjang ke muka memotong lawan. Jarak itu makin diperjauhnya begitu ia berhasil memegang kendali pertandingan. Ia tiba di garis akhir 10 m di muka lawan. Waktu tempuhnya terekam di stopwatch 10 menit 27,0 detik, sekaligus merupakan rekor nasional baru. Jika dibandingkan dengan rekor dunia yang dicatat oleh Grete Waitz dari Norwegia 8 menit 46,6 detik pada tahun 1975, kebolehan Lelyana memang belum seberapa. Tapi penajaman tempo 13,1 detik merupakan sensasi baru dalam lomba atletik puteri lndonesia. Karena selama ini perbaikan rekor untuk nomor 3.000 m ini terbatas pada detik-detik yang kecil. Persaingan dalam dwi lomba ini memang hanya terjadi di bagian puteri. Dari 31 nomor yang diikuti oleh atlit tamu (jumlah mata lomba 33 nomor) hanya 3 medali emas yang lepas dari tangan mereka. Masing-masing diraih oleh Carolina untuk lomba lari 200 m dan 400 m serta Lelyana pada nomor 3.000 m. Meski hanya 3 medali emas yang mereka raih tapi mereka mencatat 4 rekor nasionai baru. Prestasi baru itu tercatat pada nomor 400 m. 3.000 m, 4 x 400 m, dan 4 x 100 m. Waktu tempuhnya kini adalah 56,0 detik (lama 56,7 detik), 10 menit 27.0 detik (lama 10 menit 40,1 detik), 4 menit 00,5 detik (lama 4 menit 05,4 detik) dan 48,0 detik (lama 48, detik). Di bagian putera, harapan atlit Indonesia dipunahkan seluruhnya oleh jago Taiwan. Yang tersisa pada mereka cuma perbaikan rekor nasional. Masing-masing atas nama ir. Komot Heruwatno, dosen Unpad yang memperbaiki rekor lontar martil menjadi 41,38 m (rekor lama 40,30 m) dan Mujiono yang memperbarui prestasi lari 400 m yang diciptakan oleh Agus Sugiri di Canton, RRC tahun 1964. Waktu tempuh nasional kini menjadi 48,0 detik (rekor lama 48,5 detik). Melihat merajalelanya atlit-atlit Taiwan di lintasan lari, maupun di lapangan lain, bekas pelari nasional Jootje Gozal tak urung tertunduk sedih. "Di zaman kami dulu (maksudnya: di tahun 60-an) mereka tak ada artinya lawan kita" cerita Gozal. Tapi, "kini sebaliknya". Generasi Duit Mundurkah prestasi atlit kita? "Secara keseluruhan sekarang lebih maju", jawab Goal. Meski dalam kenyataan masih banyak rekor lama yang belum terpecahkan. Seperti, lari 100 m, 200 m, 400 m gawang, 4 x 100 m, 5.000 m, dan jumlah nomor lain. Tapi, mengapa rekor-rekor itu belum terpecahkan? "Atlit sekarang beda dengan atlit dulu", sela Mohamad Sarengat, juara Asian Games 1962. "Dulu generasi dedikasi. Sekarang generasi duit". Kekesalan Sarengat cukup beralasan, memang. Mengingat di zaman mereka dulu, fasilitas yang mereka peroleh tidak sebaik sekarang. Namun mereka toh mampu mencatat rekor yang tajam. Mengapa generasi pendahulu bisa terbuat banyak dengan fasilitas yang minim? "Di zaman itu kami punya kebanggaan menjadi atlit nasional", kata Fabanyo bekas atlit nasional yang kini menjadi Ketua PASI Irian Jaya. "Sekarang kebanggaan semacam itu tidak terlihat lagi". Penilaian itu mungkin tidak seluruhnya benar. Generasi sekarang juga punya kebanggaan tersendiri, barangkali hanya tidak sekendal dulu. Yang disentil Fabanyo bukan hanya soal kebanggaan. Ia juga mengecam sistim pelatnas yang panjang, pemilihan atlit yang berdasarkan rasa suka dan tidak senang, semrawutnya pemilihan bakat, dan sebagainya. Ia mengingatkan kembali pengamatan Bill Miller, bekas pelatih nasional Indonesia asal Amerika Serikat tentang bakat-bakat di daerah untuk nomor tertentu. Ia menyebut daerah Maluku yang punya potensi untuk pelari jarak menengah, Jawa Timur untuk pelari dekat maupun Irian Jaya untuk nomor lempar. "Jadi pengarahan atlit itu harus berdasarkan postur (bentuk tubuh), tambah Fabanyo. Pilih Kasih Ia mengambil contoh dengan pemindahan nomor dari pelari jarak menengah Melly Moffu. Atlit asal Irian Jaya ini, menurut Fabanyo, semula adalah pelompat tinggi. Karena ia melihat Moffu tak mungkin berbuat banyak di nomor tersebut maka ia dipindahkan ke nomor lali. "Lihat saja hasilnya, belum sampai setahun berlatih. ia sudah bisa menyamai rekor 400 m Agus Sugiri", kata Fahanyo. Dalam pertandingan dwi lomba kemarin, Moffu hanya menempati urutan ke lima di bawah 3 atlit Taiwan dan 1 atlit Jawa Timur. Tapi prestasi boleh dihargai. Karena ia berhasil menyamai rekor nasional lama. Tentang masalah pilih kasih dalam pemanggilan atlit, ia menyebut kasus pemanggilan Moffu dan Reyklivina. "Kenapa hanya 2 orang atlit Irian Jaya yang dipanggil?", tanya Fabanyo. Ia mengatakan bahwa di sana masih banyak bakat yang bisa diandalkan, antara lain pelari 400 m, Mathias dan atlit lainnya. "Kalau memang panitia atau PASI tak punya uang untuk menyertakan mereka, kenapa tidak dibebankan saja pada kami untuk membiayai atlit tambahan tersebut?". Akan organisasi pelatnas, kecaman dialamatkan Fabanyo pada jangka waktunya yang panjang. "Pelatnas memang dibutuhkan, tapi waktunya tak usah selama itu", lanjutnya. Pelatnas untuk SEA Games sudah berjalan hampir 2 tahun. "Lihat saja, mana prestasi mereka?". Sentilan itu dibantah keras oleh Soekojo. Sekjen PASI ini mengatakan, hasil pelatnas baru akan kelihatan dalam SEA Games nanti. Prestasi puncak memang diharapkan di Kuala Lumpur. Tapi, masak selama 2 tahun arah menuju puncak itu tak kelihatan? Bukankah dalam pertandingan atletik belakangan ini yang memecahkan rekor adalah atlit-atlit daerah? "Itu artinya ada yang tidak beres, hukan?", tanya Fabanyo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus