IA masih gondrong. Tapi tidak lagi mencat kukunya dengan
warna-warni cutex. Dialah, Iie Sumirat, 26 tahun pemain
bulutangkis nasional yang oleh sebuah poster di Jalan Pramuka
dijuluki: Iie, The Giant Killer. Melangkah turun di tangga
pesawat Singapore Airlines sambil mengacungkan piala kemenangan.
Lagak lagunya tetap seperti dulu. Selesai Ketua KONI Bidang Luar
Negeri, Soeprajogi, mengalungkan bunga di lehernya, ia
menyelinap dari suasana protokoler yang belum usai. Ia menemui
kedua orang tuanya serta isterinya Tientje Rosalinda Nur, 18
tahun. Sambil mengecup pipi sang isteri, Iie langsung menanyakan
keadaan kedua puterinya -- Melly, 1 1/2 tahun dan Mella, 3
bulan "Bagaimana keadaan anak-anak di rumah?".
Belum sempat isterinya bercerita kecuali mengatakan bahwa kedua
anaknya sehat-sehat -- Iie telah digiring petugas protokol ke
mobil terbuka untuk melakukan pawai kemenangan "Tien, tunggu di
Senayan, ya", lanjut Iie yang masih digeluti rasa kangen. Lalu
ia menyelinap di tengah silang tangan pemujanya yang ingin
berjabatan salam dengan dirinya.
Ia tak sendiri. "Super star" lain, yang lebih senior dan lebih
kalem. Rudy Hartono, juga terpaksa pula membagi kekangenan
dengan tunangannya Jane, adiknya yang juga pemain bulutangkis,
Utami, dan publik. Yang agak lega, barangkali cuma Christian. Ia
masih sempat mengobrol beberapa menit dengan pacarnya di luar
ruang VIP. Melihat sambutan massa yang begitu antusias, pelatih
Tahir Jide tak sanggup menahan isak -- tanda kegembiraan --
ketika ia juga dikalungi bunga.
Membakar
Suasana pengelu-eluan pada Kamis, 1 April sore itu bukan hanya
terjadi di lapangan terbang Halim Perdanakusuma. Juga di
sepanjang jalan yang dilewati rombongan. Di jalan Pramuka dan
Matraman, massa telah memenuhi pinggir jalan dan jalur hijau
sejak siang, dengan pakaian aneka warna dan bendera- bendera
merah putih kecil di tangan di antaranya malah ada yang
memasangkannya di tangkai raket. Dan mereka seolah tak
memperdulikan terik matahari yang membakar untuk dapat melihat
wajah-wajah sang juara.
Tiba di Balaikota DKI Jakarta, massa penanti kian tak
terkendalikan. Mereka tidak lagi menghiraukan petugas keamanan.
Langsung menyerbu Rudy dan Iie. Bahkan Wakil Gubernur, Urip
Wilodo yang mewakili Ali Sadikin pun tak kuasa menghindari
kepungan publik yang mengerumuni kedua jago itu. "Kalau sudah
begini, orang tidak lagi menghiraukan siapa itu Wakil Gubernur.
Pokoknya bisa salaman dengan Rudy dan Iie", komentar seorang
pengagum juara.
Di Senayan, ceritanya lain lagi. Meski publik jumlahnya tak
sebesar di Balaikola, tapi nekadnya nauzubillah. Begitu Rudy dan
Iie turun dari kendaraan, seorang gadis bernama Uli langsung
mendaratkan cium di pipi Rudy selepas mereka berjabat tangan.
Dan ciuman itu diulanginya lagi ketika Rudy keluar dari
ruangan. "Inilah, Uli", ujar si gadis dengan bangga. Sementara
Rudy yang terpeleset di tangga akibat serbuan gadis-gadis itu
hanya mengomentari: "Wah, payah deh, nih.".
Tapi kisah serbuan massa itu masih kalah menarik dibanding
dengan liku-liku prestasi mereka. Sejak dikalahkan oleh Svend
Pri dalam final All England tahun lalu jalan yang ditempuh Rudy
bukannya enteng. Tak kurang pelatih atletik Jerman Barat, Bert
Sumser, ikut mengamati latihan pemulihan kondisinya. Dan
usahanya ternyata tidak sia-sia. Ia membabat habis semua
musuhnya. Tak terkecuali finalis senegaranya, Liem Swie King.
Meski terselip sedikit kekecewaan atas gagalnya ia mengambil
revans terhadap Svend Pri, tapi "itu tidak menjadi soal", ucap
Rudy. "All Indonesian Final juga merupakan salah satu target
kita".
Menikah?
Tersiarnya kabar bahwa Rudy Hartono, 26 tahun akan menikahi
pacarnya seusai turnamen All England 1976 bukannya tak menggoda
wartawan untuk menanyai kehidupan pribadinya. "Soal menikah?",
Rudy balik bertanya dan tersenyum, "tunggu saja habis perebutan
Piala Thomas nanti. Sekarang ini konsentrasi saya masih
ditujukan pada persiapan turnamen Piala Thomas, Mei depan".
Akan halnya Iie Sumirat kisah perjalanan karirnya pun tak kurang
asyik. Menjelang seleksi untuk masuk pelatnas, Desember lalu ia
masih membuat surat pernyataan bahwa ia akan mengikuti latihan
dan bimbingan yang diberikan pembina dengan sungguh-sungguh.
"Surat pernyataan itu saya suruh buat -- isinya tidak didiktekan
-- bukan lantaran saya masih meragukan mental Iie. Melainkan
untuk menguatkan dirinya dalam mencapai prestasi", kata Ketua
Pengurus Daerah PBSI Jawa Barat, Emon Suparman kepada TEMPO.
Apa yang dilakukan Emon Suparman itu tidak terlalu ganjil,
memang. Mengingat surat serupa sudah beberapa kali ditulis Iie.
Dan toh masih tidak memberi jaminan perubahan terhadap
tingkahnya yang sukar dipegang. "Itu kan du]u. Belakangan ini
tidak lagi", bela isterinya.
Dipertemukan oleh nasib di akhir 1973, Iie langsung kesengsem
pada Tientje anak gadis tetangganya yang harus indah kontrakan
di belakang rumahnya. Semula saya tak tertarik padanya. Juga
saya tidak tahu bahwa ia seorang pemain nasional", cerita
Tientje. "Apa yang mendekatkan saya pada Iie kemudian adalah
nasehatnya. Iie mengatakan pada saya: Tien sebagai anak gadis,
kau tidak usah sering ke pesta. Tidak baik dilihat orang.
Nasehat itulah yang menyebabkan saya melihat Iie sebagai suatu
pribadi yang lain". Berpacaran selama 3 bulan, Iie langsung
mengajukan pinangan pada orangtua Tientje. "Semula saya mengira
Iie itu orang Tionghoa", tutur nyonya Sofiah, ibu Tientje, yang
rupa masih mempersoalkan masalah itu. Tapi, "bukan itu
keberatan kami kena menerima lamaran Iie. Kami menginginkan
agar Tientje -- ketika dilamar Iie baru tamat SMIP -- lebih
dulu melanjutkan sekolah. Dan lagi pula ia sudah dipertunangkan
dengan seorang insinyur pertanian, orang Palembang juga".
Keberatan itu ternyata tldak membuat Iie mundur. Kepada Tientje,
ia mengatakan: "Kalau saya tak jadi kawin sama kanu, saya akan
berhenti main untuk selamanya", ancam Iie seperti yang
dituturkan kembali oleh Tientje kepada TEMPO. Dan Tientje tak
dapat berbuat lain kecuali pasrah di samping juga mendesak
orangtuanya agar lamaran diterima. Iie memang terus bermain
bulutangkis setelah mereka menikah di bulan Januari 1974. Juga
sering minggat dari pelatnas. "Waktu saya mengandung Melly --
puteri pertama mereka -- bukan main tingkah Iie. Saya seolah
tak sanggup lagi untuk menyadarkannya agar tidak kabur dari
training centre", tambah Tientje. Dan, "baru setelah kami
nasehati terus, ia mulai mengerti", sela nyonya Sofiah.
Dilahirkan sebagai anak kelima dari sepuluh bersaudara, sejak
kecil Iie memang terkenal sebagai anak yang bandel. "Ia
berlainan sekali dengan kakaknya Nara (bekas pemain ganda Piala
Thomas 1970). Sering melawan pada orangtua", ujar ayahnya, Atik
Suyana menceritakan masa lamlpau Iie. Tapi. "belakangan ini, ia
sudah berubah seratus delapan puluh derajat". Meminta restu
menjelang ke Bangkok -- suatu yang jarang dilakukan Iie di masa
sebelumnya -- sukses memang diraih Iie di sana. Namun kesuksesan
itu bukan tak ditebus keluarganya dengan pengorbanan. Keponakan
Iie, Gumilang, hanya sempat melihat dunia selama 7 jam pada
Sabtu, 7 Maret yang bertepatan dengan hari pertandingan
finalnya dengan Hou Chia Chang. Anehnya, itu justru dianggap
pertanda baik. "Setelah musibah itu, saya merasa yakin bahwa Iie
akan keluar sebagai pemenang", kata Tara Sujana. "Ketika Iie
menang di Singapura (1972) dulu juga begitu. Waktu itu yang
meninggal adalah kakak ibu, Nedi Wirya".
Melihat prestasi yang diperlihatkan Iie di Bangkok, adakah itu
bisa dijadikan jaminan bahwa temperamennya yang "aneh" telah
pupus? Melihat pengakuan isterinya, agaknya memang begitu. Tapi
ini tentu harus dibuktikannya dalam turnamen-turnamen
mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini