FESTIVAL Film, tapi pakai Seminar. Itulah yang baru di
Bandung.
Adapun seminar itu diharapkan jadi tradisi festival film
Indonesia. Kali ini sekaligus dibicarakan soal "kreativitas"
dan "apresiasi". Empat pembicara tampil -- Asrul Sani, Mochtar
Apin, Saini KM dan Wahyu Sihombing -- tapi kertas kerja mereka
ternyata mirip belaka. Dengan ilustrasi dan gaya yang lain-lain,
keempat pembicara rata-rata mengakui bahwa film kita masih
rendah mutunya lantaran terjebak dalam arus komersialisme, dan
hanya pemerintah yang bisa berbuat untlk membebaskannya dari
kecenderungan yang tidak sehat itu. Dan bahwa apresiasi
masyarakat kita memang juga masih perlu ditingkatkan.
Tentu saja timbul debat berkepanjangan. Tapi sebelum memasuki
soal yang dikemukakan pemerasaran. Sejumlah pembicara terlebih
dahulu ribut, dengan soal yang dianggapnya antara penting di
daerah maupun kampung halamannya. Seorang wakil daerah
misalnya dengan berapi-api mendesak agar dengan uang sedikit
rakyat banyak bisa nonton. Nah, tentu saja soal ini disambut
oleh pihak yang menjual film, dan soal pajak pun jadi bahan
debat. Jangankan wakil-wakil daerah -- orang yang belum tentu
pernah terlibat dalam proses perfilman, kecuali barangkali
sebagai pengunjung bioskop yang rajin. -- bahkan sejumlah
pembanding utama yang dipilih oleh panitia ternyata turut pula
memainkan peranan dalam membikin semrawut kegiatan yang
diharapkan bermutu itu. Orang-orang ini tadinya diminta membantu
prasaran utama, tapi ternyata diantara mereka malah asyik
sendiri dengan prasaran yang mereka buat. Kalau pendek saja
tidak apa. Untung para hadirin cukuppunya keberanian untuk
protes. Meskipun ini mengakibatkan sidang jadi bagaikan tempat
lelang ikan. " Ini sih bukan seminar, omong besar saja", kata
Ny. Han Shiang. Pemilik Interstudio ini menilai seminar kacau
karena terlalu banyak "yang diikut-sertakan".
Renungan
Seminar yang dibuka dengan pidato Menteri Penerangan Mashuri
lewat Menteri Penerangan Mashuri lewat Dirjen RTF Sumadi
tanggal 28 Maret di aula Universitas Padjajaran itu, memang
suatu peristiwa menarik untuk diperhatikan. Ia berlangsung di
tengah kesibukan para artis dengan segala anjangsana dan show
gemerlapan. Tapi kecuali delegasi Jakarta Raya, peserta adalah
orang-orang yang secara minim berhubungn dengan dunia film.
Bahkan dua dari pemerasaran -- pelukis Mochtar Apin dan penyair
Saini KM -- adalah orang Bandung -- tapi bukan "orang film".
Wahyu Sihombing dan Asrul Sani memang Sutradara -- tapi oleh
kalangan Industri Film Indonesia tidak terlalu dianggap "orang
dalam". Kedua tokoh ini dianggap sebagai "orang seni". Tentu
saja anggapan ini tidak semuanya salah, terutama kalau diketahui
bahwa Asrul dan Sihombing adalah orang-orang yang punya banyak
gagasan daripada sibuk bikin film. Ini terang kurang berkenan
dihati orang-orang film, yang memang tidak punya kesenangan
berurusan dengan soal yang berbau renung-renungan.
Walhasil, maka di samping jadi gelanggang
tarik suara dari sejumlah orang yang kelihatannya jarang
terdengar suaranya lewat pengeras suara, seminar ini juga
merupakan ajang pertemuan dua kebudayaan". "Kebudayaan"
orang-orang film -- dalam seminar hanya diwakili oleh beberapa
orang -- yang suka hal-hal praktis dan jauh dari perkara "ide",
dan di lain pihak adalah "kebudayaan" orang-orang macam Asrul,
Sihombing, Mochtar Apin dan Saini yang selalu sibuk dengan
ide-ide serta soal-soal yang jelas rumit bagi kepala kebanyakan
orang film. Dan pertemuan 2 jenis kebudayaan ini memang belum
sebuah pertemuan yang akrab.
Menteri
Idealnya seminar film ini memang harus menampilkan pembicara
dan pembanding dari kalangan orang film itu sendiri. Tapi orang
beken macam Nawi Ismail ataupun Turino Junaidi ternyata lebih
suka berharap dari jauh, daripada terjun mensukseskan seminar.
Bahkan sutradara macam Hasmanan sekalipun, sejak lama
menghindari pertemuan yang bersifat melibatkan fikiran untuk
merembukan berragam gagasan. "Pada hal dia bakas wartawan",
kata Wahab Abdi, sekjen Festival. Benyamin yang bintang laris
dan Produser malah terang-terangan menyatakan kedongkolan pada
seminar. Katanya: "Biarlah orang iru makan idealisme, saya bikin
film konyol dulu agar kocek ssaya penuh".
Tapi akhirnya toh seminar itu berakhir dengan sukses. Paling
tidak hasilnya, kalau bukan jalan persidangan. Pada kesimpulan
seminar yang dirumuskan oleh macam-macam orang, gagasan Asrul
dan Sihombing juga yang muncul. "Perlu penataan kembali
Perfilman Indonesia", kata Sihombing. Semua setuju. Untuk itu
seminar mendesak pemerintah bersama masyarakat film agar segera
menyusun pola induk perfilman nasional yang mantap. Serangan
Asrul kepada tendensi komersialisme para produser juga menjadi
kesimpulan seminar. Untuk itulah maka pemerintah "perlu
mengambil tindakan berupa perlindungan dan subsidi kepada
pengusaha yang telah memperlihatkan iktikad baiknya dalam
meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia".
Kesimpulan ini terang boleh dipuji. Terutama kalau dalam
waktu dekat bisa dipraktekkan bersamaan dengan putusan
Menteri untuk mengurangi film import -- dari 400 menjadi 300
judul pertahun -- sembari mewajibkan para importir guna
nantinya juga ikut berpruduksi. "Untuk mencapai target 500
judul pertahun pada akhir Pelita ke II kata Menteri Mashuri
pekan silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini