Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Asrul sani seminar, benyamin dongkol

Ffi 1976 di bandung menyelenggarakan seminar. empat pembicara, asrul sani, mochtar apin, saini km & wahyu sihombing menyebut mutu film indonesia masih rendah. (dh)

10 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FESTIVAL Film, tapi pakai Seminar. Itulah yang baru di Bandung. Adapun seminar itu diharapkan jadi tradisi festival film Indonesia. Kali ini sekaligus dibicarakan soal "kreativitas" dan "apresiasi". Empat pembicara tampil -- Asrul Sani, Mochtar Apin, Saini KM dan Wahyu Sihombing -- tapi kertas kerja mereka ternyata mirip belaka. Dengan ilustrasi dan gaya yang lain-lain, keempat pembicara rata-rata mengakui bahwa film kita masih rendah mutunya lantaran terjebak dalam arus komersialisme, dan hanya pemerintah yang bisa berbuat untlk membebaskannya dari kecenderungan yang tidak sehat itu. Dan bahwa apresiasi masyarakat kita memang juga masih perlu ditingkatkan. Tentu saja timbul debat berkepanjangan. Tapi sebelum memasuki soal yang dikemukakan pemerasaran. Sejumlah pembicara terlebih dahulu ribut, dengan soal yang dianggapnya antara penting di daerah maupun kampung halamannya. Seorang wakil daerah misalnya dengan berapi-api mendesak agar dengan uang sedikit rakyat banyak bisa nonton. Nah, tentu saja soal ini disambut oleh pihak yang menjual film, dan soal pajak pun jadi bahan debat. Jangankan wakil-wakil daerah -- orang yang belum tentu pernah terlibat dalam proses perfilman, kecuali barangkali sebagai pengunjung bioskop yang rajin. -- bahkan sejumlah pembanding utama yang dipilih oleh panitia ternyata turut pula memainkan peranan dalam membikin semrawut kegiatan yang diharapkan bermutu itu. Orang-orang ini tadinya diminta membantu prasaran utama, tapi ternyata diantara mereka malah asyik sendiri dengan prasaran yang mereka buat. Kalau pendek saja tidak apa. Untung para hadirin cukuppunya keberanian untuk protes. Meskipun ini mengakibatkan sidang jadi bagaikan tempat lelang ikan. " Ini sih bukan seminar, omong besar saja", kata Ny. Han Shiang. Pemilik Interstudio ini menilai seminar kacau karena terlalu banyak "yang diikut-sertakan". Renungan Seminar yang dibuka dengan pidato Menteri Penerangan Mashuri lewat Menteri Penerangan Mashuri lewat Dirjen RTF Sumadi tanggal 28 Maret di aula Universitas Padjajaran itu, memang suatu peristiwa menarik untuk diperhatikan. Ia berlangsung di tengah kesibukan para artis dengan segala anjangsana dan show gemerlapan. Tapi kecuali delegasi Jakarta Raya, peserta adalah orang-orang yang secara minim berhubungn dengan dunia film. Bahkan dua dari pemerasaran -- pelukis Mochtar Apin dan penyair Saini KM -- adalah orang Bandung -- tapi bukan "orang film". Wahyu Sihombing dan Asrul Sani memang Sutradara -- tapi oleh kalangan Industri Film Indonesia tidak terlalu dianggap "orang dalam". Kedua tokoh ini dianggap sebagai "orang seni". Tentu saja anggapan ini tidak semuanya salah, terutama kalau diketahui bahwa Asrul dan Sihombing adalah orang-orang yang punya banyak gagasan daripada sibuk bikin film. Ini terang kurang berkenan dihati orang-orang film, yang memang tidak punya kesenangan berurusan dengan soal yang berbau renung-renungan. Walhasil, maka di samping jadi gelanggang tarik suara dari sejumlah orang yang kelihatannya jarang terdengar suaranya lewat pengeras suara, seminar ini juga merupakan ajang pertemuan dua kebudayaan". "Kebudayaan" orang-orang film -- dalam seminar hanya diwakili oleh beberapa orang -- yang suka hal-hal praktis dan jauh dari perkara "ide", dan di lain pihak adalah "kebudayaan" orang-orang macam Asrul, Sihombing, Mochtar Apin dan Saini yang selalu sibuk dengan ide-ide serta soal-soal yang jelas rumit bagi kepala kebanyakan orang film. Dan pertemuan 2 jenis kebudayaan ini memang belum sebuah pertemuan yang akrab. Menteri Idealnya seminar film ini memang harus menampilkan pembicara dan pembanding dari kalangan orang film itu sendiri. Tapi orang beken macam Nawi Ismail ataupun Turino Junaidi ternyata lebih suka berharap dari jauh, daripada terjun mensukseskan seminar. Bahkan sutradara macam Hasmanan sekalipun, sejak lama menghindari pertemuan yang bersifat melibatkan fikiran untuk merembukan berragam gagasan. "Pada hal dia bakas wartawan", kata Wahab Abdi, sekjen Festival. Benyamin yang bintang laris dan Produser malah terang-terangan menyatakan kedongkolan pada seminar. Katanya: "Biarlah orang iru makan idealisme, saya bikin film konyol dulu agar kocek ssaya penuh". Tapi akhirnya toh seminar itu berakhir dengan sukses. Paling tidak hasilnya, kalau bukan jalan persidangan. Pada kesimpulan seminar yang dirumuskan oleh macam-macam orang, gagasan Asrul dan Sihombing juga yang muncul. "Perlu penataan kembali Perfilman Indonesia", kata Sihombing. Semua setuju. Untuk itu seminar mendesak pemerintah bersama masyarakat film agar segera menyusun pola induk perfilman nasional yang mantap. Serangan Asrul kepada tendensi komersialisme para produser juga menjadi kesimpulan seminar. Untuk itulah maka pemerintah "perlu mengambil tindakan berupa perlindungan dan subsidi kepada pengusaha yang telah memperlihatkan iktikad baiknya dalam meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia". Kesimpulan ini terang boleh dipuji. Terutama kalau dalam waktu dekat bisa dipraktekkan bersamaan dengan putusan Menteri untuk mengurangi film import -- dari 400 menjadi 300 judul pertahun -- sembari mewajibkan para importir guna nantinya juga ikut berpruduksi. "Untuk mencapai target 500 judul pertahun pada akhir Pelita ke II kata Menteri Mashuri pekan silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus