SUTRADARA Kris Pattikawa melompat dari kursinya sembari
berteriak. Saat itu R.M. Sutarto, ketua dewan juri FFI 1976 di
Bandung, menyebut nama Rina Hasyim -- isteri Kris -- sebagai
aktris terbaik lewat permainannya dalam fihn Semalam Di
Malaysia. Rina sendiri jadi bingung. Yang pertama terjadi pada
dirinya ada1ah air mata mengalir, kemudian perlahan-lahan
bergerak ke pentas Gedung Merdeka Bandung Rabu malam pekan
silam. Keterkejutan yang melanda Rina ini ternyata juga dialami
sejumlah pemenang dalam festival tersebut. "Dua jam sebelumnya
masih beredar spekulasi bahwa hasmanan yang akan menang, tapi
kemudian ternyata Niko Pelamonia yang berhasil", kata seorang
artis.
Ketegangan memang menggerayangi acara-acara festival di Bandung
itu. Macam-macamlah tingkah laku para artis dan sutradara yang
merasa punya harapan meraih Citra. Teguh Karya yang selama dua
tahun berturut-turut jadi sutradara terbaik dan filmnya
menghasilkan bintang terbaik, nampak sekali kegugupannya.
Simpang siur spekulasi menyebabkan Teguh gelisah, sehingga
pernah terbetik berita ia berniat kembali ke Jakarta sebelum
festival usai.
Wim Umboh yang kemudian menghasilkan film terbaik, Cinta, dalam
festival ini juga menjabat ketua panitia. Kemana-mana ia pakai
jas, senyum kiri-kanan la mencoba menutupi kegelisahannya dengan
mencoba berbaik-baik sembari melucu pada teman-temannya. Tidak
jarang ulah kegugupan itu menimbulkan kedongkolan, seperti yang
dialami sejumlah wartawan ibu kota. Wim suatu ketika mengundang
mereka hanya untuk memberitahu bahwa lantaran keuangan panitia
terbatas, tidak semua ongkos wartawan ditanggung. Tapi
kegusaran itu nampaknya tidak mengurangi konsentrasi Wim
terhadap malam terakhir festival. Menjelang saat yang menentukan
itu, hampir semua hotel yang menampung peserta terus menerus
memutar lagu-lagu tema dari film Cinta. Poster-poster film
Citra juga bisa ditemukan di mana-mana. "Kalau kali ini Wim
Umboh tidak menang, saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada
dirinya", komentar seorang sutradara dari Jakarta.
Metraktir
Dan Wim ternyata sehat-sehat saja. Tentu saja karena filmnya
menjadi film terbaik lantaran memborong piala terbanyak: aktor
terbaik (Ratno Timur), fotografi terbaik (Lukman Hakim Nain),
editing terbaik (Wim Umboh) pendatang baru wanita terbaik
(Marini). Seperti biasanya, setelah menang, Wim mentraktir siapa
saja teman yang ditemuinya di Hotel Panghegar, tempat ia dan
sejumlah artis menginap selama festival.
Sementara Teguh Karya dan temancman sekerjanya duduk tenang di
pojok. Syuman Djaja malam itu tampil ke pentas sebagai penulis
skenario terbaik lewat filmnya Laila Majnun. Tapi ia tidak puas.
"Mestinya film saya ini bukan cuma menang skenarionya, tapi
secara keseluruhan" katanya. Lewat film itu Farouk Afero juga
menang sebagai pemain pembantu lelaki terbaik. Juga Farouk amat
terkejut sembari tidak puas. "Dalam film ini saya merasa tidak
bermain bagus. Saya lebih senang kala saya menang dalam film
Atheis tahun silam", begitu ia menjelaskan.
Bukan cuma Syuman dan Farouk yang tidak puas. Sejumlah orang
menggerutu terhadap kemenangan Ratno Timur sebagai pemain lelaki
terbaik. "Saya kira peranan Hendra Cipta dalam Selalu Di Hatiku
ata Slamet Rahardjo dalam Kawiin Lari jauh lebih baik dari
permainan Ratno dalam Cinta" kata salh seorang produser. Dan
lebih luas lagi adalah pengalaman Hendrik Gozali, produser film
Rahasia Perawanan disutradarai oleh Ali Syahab. Meskipun
sutradaranya selalu sesumbar tidak akan bikin film untuk
festival. Tapi toh lewat film ini Ruth Pelupessy menang sebagai
pemain pembantu wanita lerbaik. "Ha masa iya, menang", tanggap
Hendra dengan bingung, ketika nama Ruth disebut oleh RM
Sutarto. "Saya sama sekali tidak menduga ia akan menang.
Sehingga untuk ke Bandung ini i tidak saya ajak. Ia datang
dengan produser lain", kata produser PT Sugar Film itu.
Tapi yang nampaknya memancing banyak kritik adalah kemenangan
film Ateng Mata Keranjang sebagai film komedi terbaik. Tapi
juri rupanya memilih film itu karena ceritanya tidak konyol,
sementera sejumlaj komedi tidak sanggup menghindarkan dirinya
darm kekonyolan. Sejalan dengan cara berfikir inilah juga
rupanya maka dewan juri juga memilih Tuty Indera Malaon
sebagai pemain komedi yang terbaik. Meskipun tentang itu masih
ada rasa kaget.
Nico
Soal kaget akibat putusan juri ini nampaknya merupakan hal yang
disepakati oleh semua peserta maupun wartawan yang berkumpul
di Bandung pekan silam. Kemenangan Niko Pelamonia sebagai
sutradara terbaik lewat film Semalam Di Malaysia itu,
sungguh hal yang bahkan Niko sendiri tidak berharap sedikit
pun. "Film-filmnya yang terdahulu jauh lebih baik, kok baru yang
macam film Malaya ini yang menang", kata seorang peserta
seminar dari Jakarta. Bersama Niko muncul pula seorang putera
Maluku lainnya: Enteng Tanamal. Pemain gitar dan suami Tanty
Yosepha ini menang sebagai pendatang haru lelaki terbaik lewat
film Jangan Biarkan Mereka Lapar. "Bukan isteri saya saja yang
harus menang toh, saya juga bisa dapat piala", begitu ia
berkomentar selepas mendapat ciuman hangat dari Tanty. Sinyo
Hilaul -- seorang putera cilik Maluku juga menang pula sebagai
pemain cilik lelaki terbaik. Maka berteriaklah lagi Kris
Pattikawa: "Ini betul-betul malam Ambon". Disambut oleh Enteng:
"Ini musti pesta sagu, Nyong".
Belum kedengaran kapan akan ada pesta sagu, tapi pesta besar di
Bandung itu telah berakhir dengan sejumlah hutang. Dari biaya
sebesar sekitar 75 juta rupiah, nanti bulan Juli mendatang
diharapkan semuanya bisa beres. "Lewat pungutan dari bioskop.
bukan menagihkan harga harcis", kata seorang panitia. Dan
panitia Bandung merasa bangga dengan cara kerja mereka, apa
lagi -- menurut beberapa wartawan -- pesta filam di Bandung ini
jauh lebih meriah (meskipun kurang rapi) dari pesta yang sama di
Medan tahun silam. "Tahun depan FFI di Jakarta, kata Turino
Juneidi yang menjabat ketua Yayasan Festival Film. Kabarnya
orang-orang Ujung Pandang amat berhasrat, tapi Gubernur Lamo
tidak setuju. Sebabnya: "Sibuk menghadapi pemilu".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini