D. Djajakusuma, anggota Akademi Jakarta, anggota Dewan
Kesenian, Jakarta yang juga seorang suutradara film, tiga
tahun terakhir merupakan anggota dewan juri FFI yang baru 4
kali diadakan itu. Beberapa saat setelah pengumuman hasil FFI
1976 di Bandung, reporter TEMPO, Zulkifli Lubis, menemuinya.
Berikut ini hasil wawancara itu:
T: Bagaimana pendapat bapak tenang penjurian yang berlangsung
dua tingkat pada FFI ke-IV di Bandung:
J: Cara tersebut menguntungkan para juri, karena tak perlu
menonton semua film. Namun dengan diciutkannya jumlah film yang
harus dinilai dewan juri tingkat akhir, bukan tak mungkin ada
juga film baik yang tak terikutkan dalam penilaian tersebut.
karena gagal pada penjurian awal yang dilakukan anggota PWI
seksi Film.
T: Apakah ada film yang cukup baik tapi tak termasuk dalam
penjurian akhir?
J: Kebetulan saya tak melihat film yang lain.
T: Apakah pembagian Citra, kini berdasarkan "rasa keadilan"?
J: Tidak. Ratno Timur misalnya, untuk tahun ini memang dia yang
pantas menang, karena ada semacam peningkatan dalam
permainannya dibanding dengan yang lain-lain. Begitu juga dengan
Rina Hasyim dan lain-lain.
T: Dengan film Cinta, bagaimana?
J: Film itu memenuhi syarat dan selesai, baik artistik maupun
penyutradaraan. Ini dapat dilihat dari cara peyutradaraan yang
baik, filmnya yang mudah diikuti, logis dan pemotretannya pun
bagus.
T: Mengenai hadiah khusus Untuk film komedi, mengapa Ateng
Mata Keranjang yang menang. Apa dasarnya?
J: Di samping film ini sebagai satu-satunya film komedi yang
diajukan ke penjurian akhir, film ini juga mampu menunjukkan
sesuatu, tapi dengan cara lain.
T: Bagaimana sebenarnya proses penjurian akhir berlangsung?
J: Setelah menonton film yang masih dalam penjurian akhir, kami
mulai menilai bintang-bintangnya lebih dahulu. Bukankah
masyarakat juga mengharapkan dari festival ini siapa bintang
terbaik dan baru kemudian film apa yang terbaik? Nah, setelah
bintang dan para karyawan yang mendukung film terpilih sebagai
pemenang baru kami menjuri film yang terbaik. Dan ini
berlangsung dengan adu argumentasi, bukan dengan pengumpulan
angka.
T: Apakah benar bahwa dewan juri juga memperhatikan cerita
Indonesia, bukan cerita Hongkong dalam penilaian ?
J: Benar, memang seharusnyalah film Indonesia berpijak atas
keadaan Indonesia. Soal shoot dan sudut pemotretan terpengaruh
Hongkong itu bukan soal.
T: Apakah pengaruh film Hongkong atau penjiplakan film
Hongkong banyak terjadi dalam film-film yang diajukan pada
penjurian akhir?
J: Dibanding dengan festival-festival yang lalu, keadaan itu
sekarang malah menipis. Tapi mungkin juga karena saya tak
pernah nonton fim Hongkong, sehingga kurang begitu-tahu.
T: Pada festival sebelumnya pemilihan aktris (wanita) cilik ada,
mengapa tahun ini tidak ada?
J: Tahun ini memang tak ada aktris cilik yang menonjol. Memang
Shanti Idris diajukan oleh juri awal, tapi menurut pertimbangan
dia tak menunjukkan permainan menonjol dan malah menurun
dibanding tahun lalu. Dia tak terpilih lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini