Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Atlet triatlon Inge Prasetyo tetap berlatih di tengah pembatasan wilayah akibat pandemi Covid-19 di Phuket, Thailand.
Menekuni triatlon sebagai kegiatan sampingan karena jenuh bekerja.
Berhasil menggaet sponsor peralatan olahraga yang membantunya mengikuti lomba triatlon tingkat internasional.
INGE Prasetyo tak menyangka bakal tinggal lama di Phuket. Dia datang ke pulau di sisi selatan daratan utama Thailand itu pada awal Maret lalu dengan rencana menjalani latihan triatlon selama tiga pekan saja. Namun pandemi akibat virus SARS-CoV-2 (Covid-19) membuat jadwal yang disusun atlet 39 tahun itu molor. Sudah lebih dari tiga bulan dia tinggal di Phuket setelah pemerintah Thailand terpaksa menutup negara itu akibat wabah yang melanda dunia tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Inge, pemerintah Thailand membatasi akses masuk-keluar negaranya sejak akhir Maret lalu untuk meminimalkan penyebaran penyakit. Penerbangan internasional dibatalkan. Jalur darat dan laut juga ditutup, yang membuatnya terisolasi di Phuket. Tiga kali dia berusaha mendapatkan penerbangan ke Indonesia, tapi selalu gagal. Akhirnya, dia hanya mengabari keluarga serta Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bangkok. “Untungnya sudah bisa latihan lari dan bersepeda, meski masih terbatas,” kata Inge lewat sambungan telepon pada Kamis, 11 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Otoritas Phuket menjalankan protokol kesehatan ketat, termasuk menutup pantai-pantai yang biasanya menjadi tempat wisata dan olahraga renang. Meski pergerakan di Phuket terbatas, Inge tak kesulitan mendapatkan kebutuhan pangan sehari-hari. Saat ini pembatasan kegiatan mulai diperlonggar. Taman dan tempat olahraga pun dibuka lebih dulu. Olahraga individu seperti lari dan bersepeda kembali marak. “Warga didorong berolahraga untuk menjaga kebugaran tubuh selama pandemi ini,” ucap Inge.
Inge datang ke Phuket untuk berlatih sebagai persiapan mengikuti sejumlah lomba, antara lain Ironman 70.3 Lombok dan balap sepeda L’etape Lombok, Nusa Tenggara Barat. Inge, yang pernah menjuarai lomba Ironman di Taiwan pada 2016, pun berencana mengikuti Ironman di Kazakstan serta maraton di Yogyakarta dan Bali. Rencananya kandas setelah sejumlah lomba, seperti L’etape Lombok dan Ironman Lombok, ditunda akibat pandemi.
Lomba Ironman 70.3 Lombok yang sedianya digelar pada 4 Juli mendatang akhirnya ditangguhkan dan bakal kembali digelar pada 3 Juli tahun depan. Adapun balap sepeda jalan raya L’etape Lombok sejauh 200 kilometer yang merupakan bagian dari Tour de France tadinya dijadwalkan berlangsung pada April. Pandemi Covid-19 memaksa penyelenggara memundurkan jadwal lomba yang diperkirakan diikuti sekitar 1.300 peserta itu hingga awal Agustus mendatang.
Inge Prasetyo saat berada di Phuket, Thailand, 10 Mei 2020./Instagram/Inge Prasetyo
Meski agenda lomba berubah total, semangat latihan Inge tak mengendur. Apalagi dia sudah kadung membawa perlengkapan latihan, seperti peralatan renang dan sepeda. Dia juga bisa bertemu dengan teman setimnya di bawah pengawasan pelatih triatlon Jürgen Zäck. Jadilah dia mengisi hari-harinya di pulau itu dengan latihan lari dan bersepeda. “Sekarang yang penting jaga kesehatan, lomba-lomba bakal ada lagi kalau situasi membaik,” tutur wiraswasta di bidang olahraga itu.
Inge menekuni dunia olahraga sejak berusia empat tahun, diawali dengan renang. Keluarga Inge memperkenalkan olahraga itu sebagai bagian dari terapi asma yang dideritanya. Ketika Inge berumur 11 tahun, orang tuanya mengajak dia mengikuti latihan atletik di Senayan, Jakarta Pusat. Dia mempelajari dasar-dasar atletik yang membantunya mengembangkan kemampuan sebagai sprinter dan atlet lompat tinggi. “Awalnya cuma buat melatih fisik biar enggak mudah sakit, lama-lama malah ikut kompetisi,” ujar Inge.
Inge pertama kali mengikuti triatlon di Batam pada 1996. Usianya baru 16 tahun kala itu. Inge mengaku tak melakukan persiapan dan memiliki pengetahuan tentang triatlon karena dia merasa sudah bisa berlari, berenang, dan bersepeda. Hasilnya, dia keteteran dan gagal menyelesaikan tiga lomba dengan rute sejauh 72 kilometer yang digelar di tengah cuaca panas. Seusai lomba, dia sempat sakit beberapa hari, yang membuatnya kapok dan menyatakan tak akan mengikuti triatlon lagi.
Meski demikian, Inge tetap menekuni atletik, termasuk ketika kuliah di University of California, Berkeley, Amerika Serikat. Dia masuk tim atletik kampus dengan spesialisasi lompat jauh. Kesibukan kuliah di jurusan teknik kimia membuat Inge memutuskan keluar dari tim atletik untuk Divisi I Asosiasi Atletik Universitas Amerika (NCAA). “Banyak kuliah praktik yang menyita waktu,” kata Inge, yang meninggalkan dunia olahraga setelah lulus kuliah pada 2004.
Triatlon baru menjadi hobi dan tujuan hidup Inge sekitar satu dekade lalu. Kala itu, dia sudah menetap dan bekerja di Shanghai, Cina. Rasa jenuh bekerja yang membuat Inge kembali berolahraga. Dimulai dari lari di sekitar apartemennya, Inge makin serius mempelajari triatlon setelah berkenalan dengan sejumlah pekerja asing di klub lari lokal. Dia pun mulai berani terjun di lomba-lomba triatlon lokal. “Ikut triatlon jadi seperti melunasi rasa penasaran setelah dulu gagal,” ujarnya.
Latihan serius di sela-sela kesibukannya sebagai pekerja kantoran berbuah manis. Meski bukan atlet profesional, Inge menjadi perempuan Indonesia pertama yang lolos kualifikasi Kejuaraan Dunia Ironman pada 2017. Dalam kejuaraan tahunan yang digelar di Kailua-Kona, Hawaii, Amerika Serikat, itu, para peserta bertanding dalam lomba renang sejauh 3,8 kilometer, balap sepeda 180 kilometer, dan maraton 42,2 kilometer.
Ironman adalah lomba triatlon paling prestisius di dunia. Untuk masuk ke Kejuaraan Dunia Ironman, para kontestan memperebutkan slot terbatas dari lomba-lomba Ironman regional. Inge mendapatkan tiketnya ke Kona setelah menjuarai Ironman pertamanya di Taiwan pada 2016 di kategori putri usia 35-39 tahun. Inge berhasil menyelesaikan Ironman di Kona dengan catatan waktu 13 jam 18 menit 17 detik.
Triatlon merupakan olahraga yang membutuhkan persiapan dan dana besar. Makin jauh jarak rute lomba, biaya yang harus dikeluarkan peserta kian tinggi. Biaya untuk pendaftaran lomba, latihan, dan peralatan bisa lebih dari US$ 15 ribu atau sekitar Rp 212 juta. Berkat prestasinya, Inge berhasil menggaet berbagai sponsor yang memasok perlengkapan lomba, dari sepatu, kostum, nutrisi, hingga sepeda. Namun, Inge mengungkapkan, dia bukan atlet profesional. “Saya masih menanggung sendiri biaya lomba dan transportasinya,” ucapnya.
Inge Prasetyo
• Tempat dan tanggal lahir: Yogyakarta, 6 Juni 1980
• Juara Pariaman Triathlon 2016
• Juara Salahatu Adventure Aquathlon 2016
• Juara Ironman Taiwan 2016
• Lolos kualifikasi Kejuaraan Dunia Ironman 2017
• Peringkat ke-3 Ironman 70.3 Liuzhou, Cina 2017
• Peringkat ke-2 Bintan Triathlon, 2018
• Juara Bali International Triathlon 2019
Atlet triatlon Jauhari Johan menyebut Inge sebagai salah satu atlet paling berprestasi di dunia triatlon. Jauhari pertama kali mengenal Inge ketika mengikuti lomba triatlon di Batam pada 1996. Mereka sempat berlatih bersama dan mengikuti banyak lomba. Menurut peraih medali emas SEA Games 2019 itu, Inge juga banyak membantu perkembangan triatlon di Tanah Air. “Setiap ada lomba triatlon di Indonesia, biasanya ada Mbak Inge,” tutur juara Palembang Triathlon yang digelar Februari lalu tersebut.
Jauhari mengatakan Inge menjadi inspirasi bagi banyak atlet triatlon, terutama atlet perempuan, di Indonesia untuk serius melakoni olahraga tersebut. Prestasi Inge dan atlet triatlon Indonesia lain di lomba internasional juga berdampak besar pada perkembangan olahraga itu. “Makin banyak atlet dan teman-teman komunitas olahraga yang berkenalan dengan triatlon,” kata Jauhari, yang pernah menjadi jawara Kejuaraan Triatlon Junior Asia pada 2002.
Inge mengatakan saat ini kian banyak orang yang menekuni triatlon. Menurut dia, faktor usia dan kesibukan bekerja bukan alasan untuk tidak berlatih dan berkompetisi. Pasalnya, kompetisi triatlon sudah diatur dan dibagi dalam beberapa kelompok usia sehingga persaingan bisa lebih adil. Inge menunjukkan keberhasilannya di Ironman sebagai bukti perempuan pekerja juga bisa meraih prestasi di olahraga berat seperti triatlon. “Banyak orang dengan kesibukan kerja lebih besar justru masih semangat berlatih dan berkompetisi di tingkat dunia,” ujarnya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo