Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Empat spesies primata endemis Kepulauan Mentawai terancam punah karena habitatnya berada di hutan produksi.
Populasi terbanyak bokoi, joja, bilou, dan simakobu itu berada di luar Taman Nasional Siberut.
Survei populasi secara terbatas baru dilakukan pada satu spesies saja, yakni bilou atau siamang kerdil. Adapun habitat simakobu di hutan primer dan mereka sudah jarang menampakkan diri.
POHON rambutan hutan yang tumbuh di tepi Sungai Bojakan itu tengah berbuah lebat. Buah merahnya yang hampir lebih banyak daripada dedaunan mengundang sekawanan kecil bokoi atau beruk Mentawai menyantapnya di sore yang cerah sehabis hujan pada akhir Maret lalu. Suara lima ekor bokoi dewasa itu riuh, terkadang terdengar pekikan yang unik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bokoi atau Macaca siberu yang bulu tubuhnya berwarna cokelat gelap dengan bulu bagian pipi berwarna putih itu tidak hanya memakan rambutan, tapi juga menangkap udang kecil yang muncul ke permukaan Sungai Bojakan sebagai kudapan selingan. Hutan Bekemen di dekat Desa Bojakan, Kecamatan Siberut Utara, Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, yang merupakan bagian tepi dari Taman Nasional Siberut, memang habitat bagi primata endemis Mentawai itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain bokoi, ada tiga spesies primata endemia Mentawai lain yang mendiami kawasan Taman Nasional Siberut, yakni bilou, simakobu, dan joja. Joja atau lutung Mentawai juga kerap terlihat bergelantungan di pohon-pohon di pinggir Sungai Bojakan. Joja (Presbytis potenziani) adalah primata yang bentuknya paling indah. Bagian muka dan lehernya berbulu putih, punggungnya hitam berkilat, serta ekornya hitam dan panjang.
Simakobu (Simias concolar) primata endemik Mentawai./Dok Taman Nasional Siberut
Adapun bilou (Hylobates klossii) dan simakobu alias monyet ekor babi (Simias concolor) lebih banyak tinggal di dalam hutan yang berpohon tinggi. Keduanya jarang sekali terlihat. Pada pagi hari, akan terdengar pekikan bilou yang bernada tinggi dan merdu. Pekik bilou betina diklaim peneliti primata sebagai yang terindah yang dikeluarkan oleh mamalia. Durasi pekiknya bisa 10-20 menit dengan pengulangan belasan kali.
Bilou atau siamang kerdil biasanya tidur di puncak atau kanopi pohon besar, seperti meranti dan kruing, yang menjulang dan bebas dari tanaman menjalar. Mereka mampu berjalan dari kanopi satu pohon ke pohon lain sehingga tidak pernah turun dari pohon dan menjejakkan kaki di tanah, lantai hutan.
Bokoi dan joja kini kerap mengganggu ladang warga Bojakan yang tinggal di perbatasan taman nasional. Kawanan bokoi dan joja datang padai sore hari ketika pemilik ladang pulang ke rumah. Mereka mengambil pisang dan jagung, juga buah-buahan di tepi hutan. “Masyarakat tak pernah kebagian rambutan hutan karena selalu dimakan bokoi. Putik buah pun ludes karena mereka juga suka yang pahit, ” kata Sudirman, Kepala Desa Bojakan.
Gerombolan joja juga kerap menghabiskan buah jagung dan pisang muda. “Sekali datang bisa puluhan ekor, menghabiskan semua buah pisang di pohonnya dan hanya meninggalkan tangkai tandan. Mereka santai saja makan ketika kita lewat,” ujar Sudirman. “Bokoi itu nakal, suka menghancurkan buah durian. Dijatuhkan dengan kakinya. Tidak dimakan, hanya untuk kesenangan,” katanya.
Taman Nasional Siberut seluas 190 ribu hektare atau hampir separuh Pulau Siberut menjadi satu-satunya “rumah aman” bagi empat primata endemis Mentawai yang tersisa. Pasalnya, di luar kawasan Taman Nasional Siberut, seperti sebagian besar hutan di Siberut serta hutan di tiga pulau lain, yakni Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan, kini telah menjadi kawasan hutan produksi.
Menurut Kepala Seksi Wilayah II Taman Nasional Siberut Nadzrun Jamil, populasi primata meningkat. Ia merujuk pada survei populasi bilou tahun 2017 di enam titik kawasan taman nasional. Di Bekemen ada 25 individu, Cimpungan 3 ekor, Teitei Grisit 10 ekor, Kaleak 10 ekor, dan Mongan Tepu 12 ekor. Sedangkan di Matotonan kosong. “Jumlah bilou meningkat 150 persen dari tahun sebelumnya,” tutur Nadzrun.
Populasi tiga primata lain, kata Nadzrun, belum dihitung. Bilou dipilih sebagai indikator karena termasuk spesies terancam punah prioritas nasional. “Bilou itu hidupnya di pohon yang paling tinggi di hutan primer. Kami anggap kalau bilou aman, berarti yang lain aman,” ucap Nadzrun. Populasi simakobu belum diketahui karena habitatnya di hutan primer dan mereka jarang menampakkan diri.
Untuk dua primata lain, bokoi dan joja, menurut Nadzrun, populasinya melimpah. Bahkan kini mereka menjadi hama bagi ladang masyarakat di sekitar taman nasional, seperti di Bojakan, Malancan, dan Sigapokna. “Di Siberut, satwa terbesar adalah primata, jadi tidak ada pemangsanya. Selama ini predatornya adalah manusia, tapi sekarang tidak banyak lagi masyarakat yang berburu monyet,” kata Nadzrun.
Di luar kawasan Taman Nasional Siberut, hidup keempat primata ini terancam. “Dulu, saat saya kecil, empat jenis monyet itu banyak sekali. Tapi sekarang baru bisa melihat bokoi dan joja jika sudah masuk jauh ke dalam hutan,” ucap Fredianes, warga Saibi, Siberut Tengah. “Bilou dan simakobu sudah lama tidak terlihat,” ujar Fredianes, yang tinggal di dekat area hak penguasaan hutan (HPH) milik Koperasi Andalas Madani, Universitas Andalas, yang berhenti beroperasi pada 2007.
Di Siberut kini beroperasi satu perusahaan HPH, PT Salaki Summa Sejahtera di Siberut Utara, yang luasnya 49.440 hektare dan melakukan penebangan sejak 2007. Pada akhir 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mengeluarkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) untuk PT Biomass Andalan Energi seluas 19.877 hektare di bekas konsesi Koperasi Andalas Madani. Saat ini kegiatan HTI belum dimulai.
Rizaldi, ahli primata Mentawai dari Jurusan Biologi Universitas Andalas, Padang, mengatakan pembukaan HTI di Siberut akan memunahkan keempat spesies primata itu karena semua vegetasinya hilang dan tidak ada harapan untuk hidup. “Saat perusahaan mulai menebangi pohon yang besar dan kecil, primata ini akan kehilangan potensi makan, tempat tidur, tempat berjalan, tempat berayun, dan makanan. Tidak satu pun primata yang bisa hidup di situ lagi,” kata Rizaldi.
HPH yang ada di Siberut saat ini, menurut Rizaldi, juga berdampak buruk pada primata. Dua spesies utama yang paling terkena dampak adalah bilou dan simakobu karena sangat tergantung pada tegakan pohon yang paling tinggi. Bilou tidak pernah turun ke lantai hutan seperti tiga primata lain. Kalau tegakan hutan dibuka, akan menghambatnya untuk berpindah ke pohon lain. Sementara itu, simakobu juga tinggal di pohon yang tinggi, memakan buah dan daun.
Bilou (hylobotis klosii) di Taman Nasional Siberut./Tempo/Febriyanti
Tidak seperti joja dan bokoi yang pilihan makanannya lebih banyak, bilou hanya memakan buah, terutama buah ara. “Jika hutan lebat, dikasih ke HPH, mereka kan jelas mengambil semua kayu yang besar-besar itu,” tutur Rizaldi. “Kalau ada seribu pohon yang tumbang, primata herbivora tentu menghindar, mereka harus eksodus. Mereka menjadi terfragmentasi, itu berbahaya untuk populasi primata,” kata Rizaldi.
Rizaldi khawatir empat primata endemis di Mentawai itu kian terancam. Di tiga pulau lain, yaitu Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan, populasi keempat primata itu juga sudah berkurang akibat eksploitasi hutan skala besar untuk HPH. Rizaldi mengalami sendiri ketika menjadi peneliti di stasiun penelitian primata di Betumonga, Pulau Pagai Utara.
Stasiun riset di hutan seluas 623 hektare itu diberikan pengelolaannya oleh pemerintah kepada peneliti primata Amerika Serikat, Lisa Paciulli, pada akhir 1990-an. Setelah kepulangan Paciulli ke Amerika Serikat pada 2002, masyarakat setempat menjual hutan itu kepada perusahaan yang mendapatkan izin pemanfaatan kayu dari Bupati Mentawai. Habitat penting primata Mentawai tersebut dalam sekejap hancur.
“Stasiun itu dikelilingi pohon-pohon yang tinggi. Ada meranti dan katuka, yang berdiameter hingga 1 meter dan tinggi 40 meter. Begitu para peneliti kembali seusai liburan, pohon-pohon itu sudah ditebang habis. Stasiun terlihat tegak sendiri di tengah lapangan,” ujar Rizaldi. Ia mengingatkan, Kepulauan Mentawai adalah daerah terkecil yang memiliki flora dan fauna endemis dengan tingkat tertinggi di dunia. “Kalau primata itu habis, ya, punah. Tidak bisa kita temukan lagi di belahan dunia lain,” katanya.
Berburu Banyak Pantangan
Tengkoralk monyet yang digantung dalam sebuah uma di Madobag Siberut Selatan./Tempo/Febriyanti
TRADISI berburu sudah ada sejak zaman dulu di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Itu sebabnya, di depan uma atau rumah tradisional orang Mentawai biasa dijumpai tengkorak binatang buruan sebagai hiasan kenangan dari perburuan. Ada tengkorak babi, monyet, dan burung rangkong serta beberapa tengkorak rusa yang bertanduk besar.
Orang Mentawai berburu dengan panah. Busur terbuat dari kayu enau dan anak panah dari nibung yang diolesi racun untuk melumpuhkan buruan. Selama pembuatan racun dan masa berburu, pemburu harus menjalani berbagai pantangan. Di antaranya tidak berhubungan seks dengan istri, tidak menggunakan minyak rambut, dan tidak memakan sesuatu yang asam. Jika pantangan dilanggar, bisa terjadi kecelakaan, misalnya mata panah yang beracun dan mematikan bisa mengenai si pemburu.
Jenis monyet yang diburu pun terbatas pada bokoi, joja, dan simakobu. Sedangkan bilou sama sekali terlarang untuk diburu. Karena harus menjalani banyak pantangan itulah kini makin sedikit penduduk di Pulau Siberut yang berburu primata di hutan. Salah satu desa yang masih melakukan perburuan primata adalah Desa Simatalu, Siberut Barat, dalam kawasan Taman Nasional Siberut.
Menurut warga Simatalu, Aris Sailo, 29 tahun, banyak ritual adat yang diakhiri dengan berburu primata. Misalnya, ketika salah satu anggota keluarga mengalami kecelakaan di hutan saat mencari manau, maka wajib dilakukan ritual pengekelan atau pengusiran roh jahat agar tidak menghantui anggota suku. Setelah ritual, diakhiri dengan berburu monyet sebagai tanda punen sudah usai.
Kepala Seksi Wilayah II Taman Nasional Siberut Nadzrun Jamil mengatakan pihak taman nasional belum pernah memproses hukum masyarakat yang berburu primata. “Mereka berburu hanya untuk keperluan tradisi dan untuk makan sekadarnya,” kata Nadzrun. “Perburuan primata saat ini jauh berkurang karena sudah tak banyak lagi yang bisa memanah,” ujarnya. “Kalau ada yang menangkap untuk dipelihara, langsung kami ambil untuk dipulihkan dan dilepasliarkan lagi.”
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Mentawai Rapot Pardomuan mengatakan perburuan di Siberut lebih banyak dilakukan secara tradisional dan memenuhi syarat ritual. Tahapan berburu juga harus diikuti dengan sejumlah pantangan. “Sebelum berburu ada ritualnya dulu oleh sikebukan uma (pemimpin suku) untuk meminta izin kepada roh-roh. Ritual ini juga membatasi perburuan, jadi tidak berburu setiap hari secara besar-besaran,” ujar Rapot.
Tidak cuma berburu primata yang didahului ritual dan memiliki pantangan. Pemburu penyu, seperti yang dilakukan masyarakat di pantai timur Pulau Siberut, juga diharuskan menjalani banyak pantangan yang ketat. Gerson Merari Saleleubaja, warga Mailepet, Siberut Selatan, mengatakan perburuan penyu dilakukan saat mengakhiri pesta besar di uma, seperti peresmian uma baru, pembukaan ladang baru, atau pembuatan sampan baru telah selesai.
Pantangan sebelum dan selama berburu penyu di antaranya tak boleh berhubungan badan suami-istri, tidak boleh mandi, dan tidak boleh menyebut nama barang secara langsung, melainkan memakai nama pengganti. “Ada kepercayaan, pelanggaran terhadap pantangan itu akan mendatangkan penyakit yang mengakibatkan kematian,” kata Gerson, yang juga redaktur Mentawaikita.com, media lokal di Kepulauan Mentawai.
Selain di Mentawai, perburuan tradisional terhadap satwa yang dilindungi dilakukan di tempat lain di Indonesia. Misalnya perburuan paus sperma (Physeter microcephalus) oleh masyarakat Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Satu ekor paus sperma yang oleh masyarakat Lamalera disebut koteklema itu dapat menjamin sumber pakan bagi seluruh desa selama satu bulan.
Ahli konservasi pesisir dan kelautan dari Universitas Bung Hatta, Padang, Harfiandri Damanhuri, mengatakan butuh proses dan waktu yang panjang untuk mengubah budaya berburu dalam masyarakat tradisional. “Orang Mentawai berburu penyu karena banyak di sana. Di Lamalera, orang berburu paus karena itu makanan besar. Mereka punya tradisi masa berburu, ada tradisi berbagi hasil buruan, ada pesta adatnya, itu bagian siklus dari budaya mereka,” ujarnya.
Menurut Harfiandri, yang juga peneliti penyu, kalau ingin mengubah budaya berburu, harus menyediakan buruan alternatif yang tidak dilindungi. Kalau tidak, “Jalan keluarnya bisa dengan memperenggang masa berburu, misalnya jadi sekali dalam empat tahun untuk membantu menyelamatkan populasi. Juga sosialisasi yang terus dilakukan tentang larangan perburuan untuk satwa yang dilindungi itu,” katanya.
FEBRIANTI (SIBERUT)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo