Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Akhir Penelusur Jejak Sukarno

Peter Rohi adalah sosok jurnalis petarung yang menganut prinsip "boleh miskin asal sombong". Dikenal lewat ucapannya, "Wartawan itu ya harus di lapangan."

13 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Peter Rohi, tahun 2017./Facebook.com/Peter Apollonius Rohi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peter Rohi memilih beralih profesi dari anggota Korps Komando Angkatan Laut ke jurnalis.

  • Peter membidani lahirnya sejumlah media di beberapa daerah.

  • Peter Rohi masih menenggelamkan diri dalam kesibukan sebagai wartawan dan penulis hingga usia lanjut.

SIAPA pernah membayangkan seorang mantan anggota pasukan komando memilih beralih profesi menjadi jurnalis? Ia tidak hanya andal dalam membuat reportase, tapi juga dalam mencari, menggali, dan mengendus kasus-kasus penting yang tak banyak mendapat perhatian jurnalis lain. Ia piawai melakukan kerja-kerja investigasi. Ia juga hadir dalam beberapa momen penting perjalanan pemerintahan Orde Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ya, ia adalah Peter Apollonius Rohi, yang dikenal sebagai Peter Rohi, bekas anggota Korps Komando (KKO, kini Marinir). Pasukan elite di bawah Angkatan Laut pada zaman Presiden Sukarno ini sedianya dikembangkan menjadi sebuah divisi, tapi batal dengan jatuhnya pemerintahan Bung Karno. Selain itu, mantan Komandan KKO, Letnan Jenderal Hartono, meninggal misterius pada 6 Januari 1971 dan pemerintah mengumumkannya sebagai kasus bunuh diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada kepingan cerita tentang latar belakang dan penyebab Peter Rohi memilih beralih profesi menjadi jurnalis. Namun kita bisa menangkap jelas bahwa sosoknya adalah pengagum dan pencinta Bung Karno. Itu saja.

Begitu keluar dari batalion amfibi KKO, Peter memilih menjadi penyair sambil menuntut ilmu di Akademi Wartawan Surabaya. Bersama sejumlah seniman di Surabaya, Peter mendirikan majalah sastra Trem, yang tak bertahan lama. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sambil kuliah Peter bekerja di majalah Sketmasa di Surabaya.

Lantas Peter menjadi koresponden harian Sinar Harapan. Secara ikhlas, ia mendapat honor hanya berdasarkan tulisannya yang dimuat. Sungguh perjuangan hidup yang berat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Bagi banyak jurnalis pada masa itu, profesi kewartawanan adalah sebuah kebanggaan meski bergaji kecil. Banyak wartawan pada era itu menyatakan, “Biar miskin asal kita bisa sombong.”

Baru pada 1979 manajemen Sinar Harapan, atas persetujuan pemimpin umum H.G. Rorimpandey, memberikan gaji pokok kepada sejumlah korespondennya yang berada di daerah. Salah satunya Peter Rohi.

Di Sinar Harapan, Peter mungkin ada di lapisan kelompok kedua wartawan yang banyak membuat liputan investigasi. Lapisan pertama, yang langsung berada di bawah Aristides Katoppo, adalah kelompok yang antara lain beranggotakan Panda Nababan, Daud Sinjal, dan Jopie Lasut. Liputan kelompok ini yang banyak dituding kerap membuat penguasa Orde Baru marah dan beberapa kali memberedel Sinar Harapan, yang kemudian untuk terakhir kalinya terpaksa mengubah nama menjadi Suara Pembaruan.

Peter juga membidani lahirnya sejumlah media. Barangkali figurnya bisa disandingkan dengan wartawan Kompas, Valens Doi, yang sama-sama berasal dari Nusa Tenggara Timur, yang banyak merintis pendirian media baru di daerah di bawah payung Kompas Gramedia Group. Dari rekam jejak yang ada, Peter tercatat berkali-kali bekerja di media berbeda. Di antaranya Pikiran Rakyat (Bandung), Memorandum (Surabaya), Suara Indonesia (Malang), Jayakarta (Jakarta), Surya (Surabaya), dan Suara Pembaruan. Pada 1998, setelah Presiden Soeharto lengser, ia ikut merintis penerbitan kembali koran Sinar Harapan. Terakhir, ia mendirikan koran Indonesia di Jakarta, yang tidak berusia panjang.

Ketika Suara Pembaruan membuat koran Suara Indonesia di Kota Malang, Peter Rohi adalah salah seorang wartawan yang ditugasi membantu koran baru itu di bawah kepemimpinan Peck Dijono. Nama Suara Indonesia ditulis dengan font dan tipografi yang mirip dengan Suara Pembaruan. Dengan demikian, pembaca tahu dua koran ini satu grup. Alamat redaksi berada di Jalan Hasjim Asyari Nomor 7 (dulu bernama Jalan Talun). Peter adalah wartawan kawakan yang dalam rapat kerap membuat usul dan menemukan angle pemberitaan yang menarik.

 


 

Sebagai wartawan dan penulis. Ia berhasil melacak tempat kelahiran ­Sukarno di Surabaya, yang ternyata berbeda dengan yang ditulis dalam versi sejarah resmi.

 


 

Sepanjang 1982-1985, terjadi serangkaian penembakan misterius di berbagai tempat, di kota-kota besar di Jawa dan Sumatera. Korbannya sebagian besar residivis, preman, penjahat, atau anggota geng. Mereka umumnya ditemukan di dalam karung di pinggir jalan dengan kondisi tangan terikat dan terdapat luka tembak di bagian mulut atau dahi.

Presiden Soeharto saat itu mengungkapkan, penembakan misterius merupakan bagian dari tindakan shock therapy bagi para penjahat atau orang-orang yang dianggap sejenis. Secara resmi,  Soeharto mengaku berinisiatif mendorong penembakan terhadap para preman.

Sejumlah kalangan mendukung kebijakan penembakan terhadap penjahat yang dianggap mengganggu rasa aman masyarakat tersebut. Namun kebijakan ini juga mendapat perlawanan dari kelompok masyarakat sipil, aktivis hak asasi manusia, rohaniwan, serta kalangan media. Kalangan yang menentang umumnya menilainya sebagai tindakan ekstrayudisial yang kejam dan sewenang-wenang. Kebijakan penembakan misterius (petrus) juga menimbulkan ekses lain, yaitu banyaknya orang hilang misterius (hilarius) dan korban yang diidentifikasi sebagai mayat misterius (matius).

Saat marak Operasi Petrus pada 1983, Suara Indonesia adalah salah satu media yang secara kritis menurunkan serial liputan terkait dengan sejumlah kejadian di Kota Malang dan sekitarnya. Bukan hanya berita, tajuk rencananya juga menyampaikan kritik. Redaksi pun mengangkat suara kritis masyarakat yang mempertanyakan kebijakan pemerintah memberantas kejahatan melalui metode penembakan misterius. 

Rupanya, nada kritis tersebut berbuah pembalasan. Pada Rabu dinihari, sekitar pukul 03.00, 16 November 1984, kantor redaksi Suara Indonesia dikirimi paket berisi potongan kepala manusia. Potongan kepala yang ditengarai sebagai korban Petrus ini diletakkan persis di depan pintu masuk kantor redaksi.

Peter Rohi menjadi salah satu saksi mata teror akibat sejumlah berita dan tajuknya tersebut. Atas kejadian tersebut, Suara Indonesia memutuskan tidak terbit keesokan harinya. Itulah teror terdahsyat yang pernah dialami pers pada masa rezim Orde Baru. Namun tundukkah Suara Indonesia? Ternyata Peter dan kawan-kawan justru terus melawan dan memberitakan soal Petrus.

Lelaki kelahiran Nusa Tenggara Timur, 14 November 1942, tersebut pernah membuat liputan tentang sejumlah isu penting di negeri ini. Di antaranya mengenai Pulau Buru, jugun ianfu, dan kelaparan di Sumba. Peter Rohi juga salah seorang wartawan terakhir yang meninggalkan Timor Timur (sekarang Timor Leste) ketika Indonesia kalah dalam referendum dan menyisakan sejumlah kekacauan pada waktu itu.

Pada hari tuanya, Peter memilih indekos, berpindah tempat tinggal. Ia masih menenggelamkan diri dalam kesibukan sebagai wartawan dan penulis. Ia berhasil melacak tempat kelahiran Sukarno di Surabaya, yang ternyata berbeda dengan yang ditulis dalam versi sejarah resmi. Namun, sejak terkena stroke, Peter tak punya pilihan selain pulang ke rumah keluarganya di perkampungan kecil di Kampung Malang Gang VIII Nomor 6, Surabaya.

Di tengah pagebluk Covid-19, Peter Rohi meninggalkan dunia yang dicintainya. Ia menyusul istrinya, Welmintje Giri Rohi, yang meninggal pada akhir Januari lalu. Di media sosial, saya mengajak rekan-rekan jurnalis Indonesia menundukkan kepala dan mengheningkan cipta untuk Peter. Dari dia kita memperoleh keteladanan tentang figur jurnalis yang tekun, tak mudah menyerah, gigih menembus narasumber, serta tidak pernah takut menghadapi ancaman dan represi dari siapa pun. Ia sosok wartawan sejati yang hingga berusia lanjut masih mau turun ke lapangan mengabdikan diri sepenuhnya pada kepentingan publik.

YOSEP STANLEY ADI PRASETYO, KETUA DEWAN PERS 2016-2019
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus