SAMBUTAN massa sebagai tanda suka cita atas kemenangan regu Piala Thomas ada kalanya menuntut kesabaran yang tak kalah teguhnya dari para pemain. Ini terjadi ketika mereka sampai di pelabuhan udara A. Yani, Semarang, Sabtu pekan lalu, di tengah sambutan yang pengaturannya semrawut. Acara yang diisi dengan pawai keliling kota merupakan rangkalan pesta sebelumnya yang diadakan di Jakarta. Sejak arak-arakan di Jakarta, yang berlangsung pekan lalu, Hastomo Arbi rupanya tetap jadi bintang. Dan dialah yang paling banyak dapat ujian dalam pawai yang kemudian setelah Semarang berlangsung pula di Kudus, Tegal, dan Surabaya. Hastomo juga yang mencuri perhatian ketika Tim menerima cincin emas 24 karat dari Nyonya Ismail. Dia berkali-kali memindah-mindahkan cincin itu dari jari tengah ke jari manis. "Kok, lobok (longgar)," katanya, yang disambut tawa hadirin. Yang paling membahagiakan Hastomo barangkali adalah ketika Tim sampai di Kudus, kota kelahiran dan tempat dia dibesarkan sebagai pemain bulu tangkis. Di sini berlangsung syukuran yang dilaksanakan Persatuan Bulu Tangkis Djarum, klub Hastomo selama ini. Banyak orang yang secara berkelakar mengatakan bahwa bulu tangkis identik dengan rokok kretek Djarum. Sebab, tak tanggung-tanggung, delapan dari sepuluh anggota tim Piala Thomas berasal dari klub itu. Hanya Icuk Sugiarto (klub Pelita) dan pemain cadangan Eddy Kurniawan Jayakarta) yang bukan berasal dari klub bulu tangkis milik pabrik rokok itu. Klub ini didirikan secara resmi oleh direktur PT Djarum, Budi Hartono, tahun 1979. Waktu itu dia belum memiliki lapangan yang tetap. Mula-mula menyewa di Gedung Pemuda. Lalu dipindahkan dari gudang rokok milik Djarum yang satu ke gudang yang lain. Belakangan baru menetap di kompleks Gelanggang Olah Raga Djarum di Desa Bacin. Sebenarnya, Djarum sudah mulai dikenal orang sejak awal 1970-an. Cuma, ketika itu belum ditata sebaik sekarang. Nama klub ini muncul dengan bergabungnya Liem Swie King ke sana. King dibawa oleh orang yang kemudian menjadi kakak iparnya, Agus Susanto, pemain seangkatan Tan Yoe Hok. Agus lantas menjadi pelatih di situ. Mereka yang diterima dalam klub ini mencicipi kemudahan yang cukup menggoda anak-anak muda. Bebas iuran, dan malahan buat mereka yang berasal dari luar kota seperti Solo, Pekalongan, Purwokerto, dan Malang - disediakan asrama. Sekolah dicarikan, dan kebutuhan belajar dipenuhi. Itulah sebabnya Icuk Sugiarto dari Solo pernah melamar kemari. Tapi ditolak karena gagal melewati tes kesegaran jasmani. Di klub ini sekarang bernaung 37 pemain pilihan, di antaranya 10 pemain yang sudah mondar-mandir mengikuti pelatnas di Senayan. Selebihnya terdiri dari pemain yunior, remaja, dan pemula. Setiap tahunnya mendaftar paling sedikit 10 pemain baru. "Kami tidak pernah mengintip pemain ke sana ke sini. Mereka datang sendiri dan melamar," kata Agus Susanto mengenai sistem pencarian calon pemain di klub itu. Yang menarik, sebagian pemain - seperti Hastomo, Hadiyanto, dan Christian - serta pelatihnya diangkat sebagai karyawan pabrik rokok Djarum. Hanya King, Hadibowo, Kartono, Heryanto, Chafidz Yusuf, dan Edi Hartono yang tidak. Ikatan pemain dengan Bos Budi Hartono tampak erat sekali. Ini terlihat dari keterlibatan sang direktur untuk membujuk King mau turun di ganda, berpasangan dengan Kartono, waktu melawan Cina. Uang yang disisihkan Budi Hartono untuk hobinya dengan klub ini kelihatannya cukup besar. Sekitar Rp 500 juta setahun. Sekarang dia siap-siap untuk memikirkan penampungan kalau-kalau pemainnya sudah tak bisa diandalkan. Dia sedang merintis usaha patungan dengan Jepang untuk mendirikan pabrik alat olah raga merk Kennex. Pabrik ini akan menampung atlet-atlet yang mundur dari gelanggan itu nantinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini