MESKI nasib Asian Games VIII masih tak menentu -- entah jadi
dilaksanakan menurut jadwalnya (1978) atau tidak -- bagi induk
organisasi olahraga di Indonesia hal itu tidak terlalu menjadi
persoalan. Program yang telah digariskan KONI dalam menuju
sasaran utama tersebut tetap dijalankan dalam bentuk pengadaan
Kejuaraan Nasional guna memilih atlit pembawa panji. Akhir
Desember silam, Persatuan Gulat Seluruh Indonesia--salah satu di
antara 16 top organisasi terpilih untuk Asian Games --
merealisir usaha yaulg dibebankan itu dengan menyelenggarakan
Kejuaraan Nasional Gulat Junior 11 di Bandung. Setelah 6 bulan
sebelumnya turnamen serupa diadakan di Jakarta. Berlangsungnya 2
kali turnamen nasional dalam tempo yang pendek suatu hal yang
menarik, memang. Mengingat induk organisasi olahraga lain untuk
menyelenggarakan acara 1 kali setahun saja pun sudah repot.
Apalagi hal itu diperuntukkan bagi atlit muda usia. "Program
kita memang agak berbeda dengan yang lain. Kita menitik-beratkan
pembinaan pada atlit junior", ujar Ketua Umum PGSI, Mayjen
(Purwirawan) Rushan Rusli. Alasannya: paling tidak pegulat
junior akan dapat mendampingi kakak-kakaknya dalam Asian Games
nanti. Kalau tidak akaul menggantikan kedudukan mereka."Lantaran
itu untuk junior kita adakan 2 kali kejuaraan nasional. Sedang
buat senior hanya 1 kali".
Diikuti regu gulat junior Sumatera Utara, Jawa Bara, Jakarta,
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan -- 10 daerah
PGSI lainnya belum sempat ambil bagian dalarn turnamen ini.
Bahkan daerah Riau yang memiliki beberapa pegulat junior yang
baik dan ikut serta dalam kejuaraan nasional I di Jakarta, juga
tak muncul. Kabarnya ketiadaan biaya. Sebab jarak 2 kejuaraan
nasional terlalu pendek sekali. Adakah sistim ini merupakan
pencerminan dari suatu sistim pembinaan yang baik? Sukar untuk
dikategorikan demikian. Tidak ikutnya Riau--di mana beberapa
pegulatnya telah kelihatan bakatnya-sulit untuk menempatkan
pemenang sekarang pada posisi terbaiknya.
Mengingat kelompok junior ini merupakan hal yang baru dalam
dunia pergulatan di Indonesia, pembagian kategorinya pun masih
percobaan. Di bagi dalam kelas Taruna untuk mereka yang berusia
sampai lG tahun kelas lain adalah buat golongan Remaja bagi
mereka yang berumur 17--20 tahun. Dengan kelas berat badan yang
sama dengan golongan senior. Di sinilah letak kelainan versi
junior Indonesia dan Asia. Sebab dalam Kejuaraan Gulat Junior
Asia di Manila, Nopember lalu ketentuan junior diambil dari
timbangan badan pegulat. Dimulai dengan timbangan 23 kg, 26 kg,
29 kg, 32 kg, dan seterusnya beda 3 kg untuk tiap kelas tanpa
memandang umur seorang pegulat. Melihat adanya kelainan
prinsipil dalam pembatasan jun ior antara versi Indonesia dan
Asia ini, perbedaan itu dengan cepat mengundang tanda-tanya:
pengkategorian manakah yang memenuhi syarat? Rachman Firdaus SH,
Ketua Komisi Teknik PGSI dengan tangkas menjawab: "Tentang
batasan junior itu berbeda-beda di setiap negara, sesuai dengan
kondisi dan situasi perkembangan olahraga gulat di masing-masing
negara. Dan menurut kita, yang cocok adalah versi junior yang
kita laksanakan sekarang".
Dalih Rachman Firdaus - tentu saja menurut kacamata PGSI -
memang terasa lebih sesuai untuk ukuran Indonenesia. Repotnya
nanti kalau Indonesia ambil bagian lain dalam Kejuaraan Asia.
Kiranya akan lebih tepat bila dalam penentuan golongan junior
itu, Indonesia mengikuti ketentuan yang telah disepakati di
Asia. Lain halnya, kalau targetnya memang lain: untuk Asian
Games 1978. Tapi, pembagian ini tentu tidak selamanya hisa
dipertahanklan. Jika kita memang ingin berbicara di Kejuaraan
Junior Asia. Tidak dalam Asian Games semata. Sebab umur tidak
selalu menemukan timbangan badan seorang pegulat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini