Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Segelintir aljabar kemiskinan

Bps, periode 1964-1967 menyelenggarakan susenas untuk mengetahui tingkat dan pola konsumsi rumah tangga di berbagai daerah. hasilnya mendukung studi prof sumitro dan studi pendapatan regional.

10 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENEGAKKAN keadilan sosial, sedang menjadi tema umum di seluruh dunia. Baik dalam hubunan ekonomi antara negara-negara maju dan negara-negara berkembag, maupun di dalam masing-masing negara itu sendiri. Juga di Indonesia. GBHN mecantumkannya sebagai salah satu tujuan pembangunan ekonomi negara kita. Makanya ada kampanye "pola hidup sederhana" bagi lapisan atas. Tapi sebelum langkah-langkah itu dapat mencapai sasarannya, terlebih dahulu kita harus tahan seberapa jauh "ketidak adilan" dalam pembagian hasil pembangunan dan partisipasi rakyat dalam pembangunan ekonomi itu sendi khusus untuk TEMPO, dosen FE-UI dan staf LPEM-UI Anwar Nasution, MPA menguraikan beberapa ketimpangan pembangunan ekonomi di Indonesia, yang perlu diperbaiki: MENURUT statistik BPS, pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita di Indonesia baru mencapai Rp 45 rihl (1973). Atau $ AS 108,57. Sedang produksi domesti bruto (PDB) per kapita mencapai Rp 53 ribu, alias $ AS 127,73. Apa yang dinyatakan oleh anka-angka itu? PDB, merupakan nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam batas wilayah kedaulatan satu negara dalam waktu satu tahun pada tingkat harga pasar yang berlaku. Sedang PNR. diperoleh dari PDB dikurangi nilai produksi yang dihasilkan dan merupakan hak warga negara asing yang berusaha di sini dan ditambah dengan nilai produksi yan merupJkan hak warga negara kita di luar negeri. Tapi angka-angka PDB dan PNB per kapita itu baru mencerminkan kedudukan ekonomi neara kita, di tengah-tengah ekonomi negara-negara lain di dunia. Khususnya di tengah-tnah ekonomi negara-negara Dunia Ketiga. Dan belum mencerminkan distribusi pendapatan di dalam negeri. Adapun ketimpangan pembagian pendapatan antara lapisan-lapisan sosial di dalam negeri itu, digambarkan dengan gamblang oleh Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo dalam bukunya, IIIosi Towars The Year 2000 (Jakarta, 26 Pebruari 1975, hal. 34). Memlrut Prof. Sumitro, 40% dari rumah tangga yang berpendapatan paling rendah hanya kebagian 15% dari PRB. 40% dari rumah tangga yang berpenghasilan menengah menerima 32% dari PDB, sedang 20 dari rumah tangga berpendapatan tinggi menikmati 53' dari PDB. "Moderat" Bahwa sebagian kecil penduduk menikmati lebih dari separo pendapatan nasional, terang tidak adil. Namun sekali lagi, ketidak-adilan itu relatif, dan perlu disediakan kriteria pembandingnya denan ekonomi neara-negara lain. Kriteria itu, telah dikembangkan oleh Development Research Center IBRD (Bank Dunia) bersama Development Studies University of Susse, Inggeris. Kriteria yang dipakai adalah sebagai berikut: distribusi pendapatan antar penduduk "sa ngat tidak adil" bilamana 40% dari golonan masyarakat yang berpendapatan paling rendah menerima kurang dari 12o dari seluruh pendapatan nasional ketidakadilan itu tergolong "moderat" bila golongan masyarakat tersebut menerima 12--17%. dan "lebih adil" jika golongan masyarakat di atas menerima lebih dari 17% dari pendapatan nasional. Nah, atas dasar patokan Bank Dunia & Universitas Sussex itu Prof Sumitro menarik kesimpulan, bahwa distribusi pendapatan di Indonesia temasuk golongan "moderat". Hal lain yang menarik dari studi Menteri Riset itu ialah bahwa beliau juga mengukur sampai berapa jauh tingkat kemiskinan di Indonesia. Dalam hal ini beliau menggunakan garis batas kemiskinan yang ditentukan secara tak memihak oleh Montek S. Ahluwalia, yakni tingkat pndapatan per kapita yang minimal $ AS 75 setahun. Dengan pola pembagian pendapatan seperti di atas, maka 40% penduduk Indonesia yang hanya berpenghasilan $ AS 48 per tahun (hampir Rp 20 ribu) pada tahun 1973 hidup jauh di bawah garis batas kemiskinan itu! Regional Sekarang tentang ketimpanan pembagian pendapatan secara regional. Perbandingan PDB/kapita secara regional itu dapat diketahui dari buku Pendapatan Regional (Jakarta: BPS, 1973). Sayangnya anka PDB yang agak lengkap -- artinya mencakup 18 propinsi yang sudah tersedia angka statistiknya - hanya ada pada tahun 1969. Pada tahun itu, hanya 2 propinsi mempunyai tingkat PDB/kapia di atas Rp 40 ribu, yakni propinsi Riau (Rp 114 ribu), dan DKI Jaya Rp 51 ribu). Ada 7 propinsi yang mempunyai PDB/kapita antala Rp 20 - 30 rihu, yakni Aceh, Sum-Bar Ja-Tim, Kal-Bar, Kal-Sel, Sul-Ut dan Maluku sedang propinsi lainnya mempunyai PDB/kapita antara Rp 10 19 ribu, yakni Ja-Bar, Ja-Teng, DIY, TB, NTT, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Propinsi yang paling miskin adalah Irian Jaya dengan PDB/kapita Rp 1.296,22. Semua angka di atas berdasarkan harga pasar yang berlaku pada tahun 1969 tersebut! Harap dicatat, bahwa angka PDB regional itu belum menunjukkan tingginya pendapatan per kapita tiap daerah. Angka PDB regional itu harus dikurangi nilai produksi barang & jasa yang merupakan bagian warga daerah/negara lain. Misalnya, hasil minyak bumi produksi Riau yang memprodusir 85% dari produksi nasional sebagian besar mengalir ke luar negeri dan ke luar daerah demikian juga hasil hutan Kalimantan. Walaupun demikian, sebagian dari PDB regional dinikmati oleh penduduk daerah di mana PDB regional tersebut dihasilkan. Gambaran di atas, tidak banyak berbeda dengan hasil survei sosial-ckonomi nasional (Susenas) yang diselenggarakan oleh BPS dalam periode 1964-1967 untuk mengetahui tingkat pola konsumsi rumah tangga di berbagai daerah. Dengan membandingkan hasil Susenas itu dengan surveisurvei sesudahnya, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan. Pertama: hampir 2/3 penduduk Indonesia hidup di bawah standar kalori dan protein minimal. Kedua: hampir 1/4 penduduk Indonesia tidak dapat mencapai kebutuhan hidup minin1al sebagaimana ditetapkan oleh FAO dan WHO untuk Asia Tenggara (yakni minimal 2500 kilo kalori dan 50 gram protein sehari/orang). Ketiga: kemiskinan terutama berpusat di daerah pedesaan di pulau Jawa. Keempat: walaupun keadaan di luar Jawa pada umumnya lebih baik, han1pir separo dari penduduknya tidak mempunyai pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan minimal di atas. Kelima: secara regional, penduduk Indonesia bagian Timur lebih miskin dari penduduk Indonesia bagian Barat. Kelima kesimpulan itu mendukung hasil studi Prof Sumitro dan studi Pendapatan Regional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus