MENEGAKKAN keadilan sosial, sedang menjadi tema umum di
seluruh dunia. Baik dalam hubunan ekonomi antara negara-negara
maju dan negara-negara berkembag, maupun di dalam
masing-masing negara itu sendiri. Juga di Indonesia. GBHN
mecantumkannya sebagai salah satu tujuan pembangunan ekonomi
negara kita. Makanya ada kampanye "pola hidup sederhana" bagi
lapisan atas. Tapi sebelum langkah-langkah itu dapat mencapai
sasarannya, terlebih dahulu kita harus tahan seberapa jauh
"ketidak adilan" dalam pembagian hasil pembangunan dan
partisipasi rakyat dalam pembangunan ekonomi itu sendi khusus
untuk TEMPO, dosen FE-UI dan staf LPEM-UI Anwar Nasution, MPA
menguraikan beberapa ketimpangan pembangunan ekonomi di
Indonesia, yang perlu diperbaiki:
MENURUT statistik BPS, pendapatan nasional bruto (PNB) per
kapita di Indonesia baru mencapai Rp 45 rihl (1973). Atau $ AS
108,57. Sedang produksi domesti bruto (PDB) per kapita mencapai
Rp 53 ribu, alias $ AS 127,73. Apa yang dinyatakan oleh
anka-angka itu? PDB, merupakan nilai barang dan jasa yang
dihasilkan dalam batas wilayah kedaulatan satu negara dalam
waktu satu tahun pada tingkat harga pasar yang berlaku. Sedang
PNR. diperoleh dari PDB dikurangi nilai produksi yang dihasilkan
dan merupakan hak warga negara asing yang berusaha di sini dan
ditambah dengan nilai produksi yan merupJkan hak warga negara
kita di luar negeri.
Tapi angka-angka PDB dan PNB per kapita itu baru mencerminkan
kedudukan ekonomi neara kita, di tengah-tengah ekonomi
negara-negara lain di dunia. Khususnya di tengah-tnah ekonomi
negara-negara Dunia Ketiga. Dan belum mencerminkan distribusi
pendapatan di dalam negeri. Adapun ketimpangan pembagian
pendapatan antara lapisan-lapisan sosial di dalam negeri itu,
digambarkan dengan gamblang oleh Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo
dalam bukunya, IIIosi Towars The Year 2000 (Jakarta, 26
Pebruari 1975, hal. 34). Memlrut Prof. Sumitro, 40% dari rumah
tangga yang berpendapatan paling rendah hanya kebagian 15% dari
PRB. 40% dari rumah tangga yang berpenghasilan menengah menerima
32% dari PDB, sedang 20 dari rumah tangga berpendapatan tinggi
menikmati 53' dari PDB.
"Moderat"
Bahwa sebagian kecil penduduk menikmati lebih dari separo
pendapatan nasional, terang tidak adil. Namun sekali lagi,
ketidak-adilan itu relatif, dan perlu disediakan kriteria
pembandingnya denan ekonomi neara-negara lain. Kriteria itu,
telah dikembangkan oleh Development Research Center IBRD (Bank
Dunia) bersama Development Studies University of Susse,
Inggeris. Kriteria yang dipakai adalah sebagai berikut:
distribusi pendapatan antar penduduk "sa ngat tidak adil"
bilamana 40% dari golonan masyarakat yang berpendapatan paling
rendah menerima kurang dari 12o dari seluruh pendapatan
nasional ketidakadilan itu tergolong "moderat" bila golongan
masyarakat tersebut menerima 12--17%. dan "lebih adil" jika
golongan masyarakat di atas menerima lebih dari 17% dari
pendapatan nasional. Nah, atas dasar patokan Bank Dunia &
Universitas Sussex itu Prof Sumitro menarik kesimpulan, bahwa
distribusi pendapatan di Indonesia temasuk golongan
"moderat".
Hal lain yang menarik dari studi Menteri Riset itu ialah bahwa
beliau juga mengukur sampai berapa jauh tingkat kemiskinan di
Indonesia. Dalam hal ini beliau menggunakan garis batas
kemiskinan yang ditentukan secara tak memihak oleh Montek S.
Ahluwalia, yakni tingkat pndapatan per kapita yang minimal $ AS
75 setahun. Dengan pola pembagian pendapatan seperti di atas,
maka 40% penduduk Indonesia yang hanya berpenghasilan $ AS 48
per tahun (hampir Rp 20 ribu) pada tahun 1973 hidup jauh di
bawah garis batas kemiskinan itu!
Regional
Sekarang tentang ketimpanan pembagian pendapatan secara
regional. Perbandingan PDB/kapita secara regional itu dapat
diketahui dari buku Pendapatan Regional (Jakarta: BPS, 1973).
Sayangnya anka PDB yang agak lengkap -- artinya mencakup 18
propinsi yang sudah tersedia angka statistiknya - hanya ada pada
tahun 1969. Pada tahun itu, hanya 2 propinsi mempunyai tingkat
PDB/kapia di atas Rp 40 ribu, yakni propinsi Riau (Rp 114
ribu), dan DKI Jaya Rp 51 ribu). Ada 7 propinsi yang mempunyai
PDB/kapita antala Rp 20 - 30 rihu, yakni Aceh, Sum-Bar Ja-Tim,
Kal-Bar, Kal-Sel, Sul-Ut dan Maluku sedang propinsi lainnya
mempunyai PDB/kapita antara Rp 10 19 ribu, yakni Ja-Bar,
Ja-Teng, DIY, TB, NTT, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Propinsi yang paling miskin adalah Irian Jaya dengan PDB/kapita
Rp 1.296,22. Semua angka di atas berdasarkan harga pasar yang
berlaku pada tahun 1969 tersebut!
Harap dicatat, bahwa angka PDB regional itu belum menunjukkan
tingginya pendapatan per kapita tiap daerah. Angka PDB regional
itu harus dikurangi nilai produksi barang & jasa yang
merupakan bagian warga daerah/negara lain. Misalnya, hasil
minyak bumi produksi Riau yang memprodusir 85% dari produksi
nasional sebagian besar mengalir ke luar negeri dan ke luar
daerah demikian juga hasil hutan Kalimantan. Walaupun demikian,
sebagian dari PDB regional dinikmati oleh penduduk daerah di
mana PDB regional tersebut dihasilkan.
Gambaran di atas, tidak banyak berbeda dengan hasil survei
sosial-ckonomi nasional (Susenas) yang diselenggarakan oleh BPS
dalam periode 1964-1967 untuk mengetahui tingkat pola konsumsi
rumah tangga di berbagai daerah. Dengan membandingkan hasil
Susenas itu dengan surveisurvei sesudahnya, dapatlah ditarik
beberapa kesimpulan. Pertama: hampir 2/3 penduduk Indonesia
hidup di bawah standar kalori dan protein minimal. Kedua: hampir
1/4 penduduk Indonesia tidak dapat mencapai kebutuhan hidup
minin1al sebagaimana ditetapkan oleh FAO dan WHO untuk Asia
Tenggara (yakni minimal 2500 kilo kalori dan 50 gram protein
sehari/orang). Ketiga: kemiskinan terutama berpusat di daerah
pedesaan di pulau Jawa. Keempat: walaupun keadaan di luar Jawa
pada umumnya lebih baik, han1pir separo dari penduduknya tidak
mempunyai pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan minimal
di atas. Kelima: secara regional, penduduk Indonesia bagian
Timur lebih miskin dari penduduk Indonesia bagian Barat. Kelima
kesimpulan itu mendukung hasil studi Prof Sumitro dan studi
Pendapatan Regional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini