TANPA kehadiran Lim Swie King yang mendadak sakit di All England
tahun lalu, Icuk Sugiarto memang "terpaksa" jadi pemain yang
paling diharapkan menang. Karena itu ketika gagal -- kalah
ketika baru melawan musuhnya yang pertama banyak yang kecewa.
Bahkan ketika gagal lagi di Kejuaran Terbuka Hongkong, enam
bulan kemudian, anak karyawan RRI Solo itu hampir jadi simbol
merosotnya prestasi bulutangkis Indonesia.
Namun ketika Minggu lalu Icuk mengalahkan Lim Swie King di final
Kejuaraan Dunia di Kopenhagen, banyak juga orang kaget. Bahkan
Icuk sendiri tidak percaya. "Rasanya seperti mimpi. Dari segi
teknik saya sungguh belum tandingan King. Saya hanya beruntung
lebih muda. Seakan-akan bukan saya yang bertanding, tapi orang
lain," katanya terharu.
Icuk mungkin benar. Sebagai pemain tunggal, namanya ketika
muncul pertama kali di gelanggang bulutangkis, tidak segera
populer. Lim Swie King, misalnya, ketika berumur 18 telah
menjadi juara nasional. Lius Pongoh pada umur yang sama telah
menjadi juara nasional yunior, kejuaraan yang pialanya pernah
direbut Rudy Hartono pada umur 14.
Masuk ke sekolah Ragunan -- SMA tempat para atlet sekolah --
tahun 1978, Icuk lebih banyak bermain tidak sebagai pemain
tunggal. Debutnya yang pertama dalam umur 18, menjadi juara
ganda berpasangan dengan Sigit Pamungkas pada kejuaraan nasional
di Palembang tahun 1980. Kedudukan ini dipertahankannya setahun
kemudian pada PON X. Pada arena yang sama, Icuk kemudian juga
merebut juara III tunggal putra.
Karirnya sebagai pemain tunggal nampaknya kurang mendapat
dukungan PBSI. Ketika pertandingan Piala Thomas maupun kejuaraan
perseorangan Asian Games, keduanya di tahun 1982, Icuk tidak
diturunkan. Bahkan pada kejuaraan Piala Alba di Kualalumpur,
Agustus tahun lalu, Icuk ditolak untuk menggantikan Lius Pongoh,
yang mendadak sakit, oleh panitia setempat, dengan alasan belum
dianggap pemain setingkat dunia. Padahal tahun itu Icuk telah
meraih juara II, Kejuaran Terbuka India dan baru saja menggondol
Kejuaraan Terbukan Indonesia II.
Prestasi Icuk, sebagai pemain tunggal, sebenarnya tidak jelek.
Memang pernah kalah dari pemain yang kurang terkenal seperti
Claus Thompsen dari Denmark Kevin Joly dari Inggris dan terakhir
oleh Tian Biangyi dari RRC. Namun Misbun Sidek (Malaysia),
Prakash Padukone (India) dan bahkan juara All England tahun
lalu, Luan Jin pernah dikalahkan Icuk.
Dengan prestasinya yang angin-anginan itu, Icuk nampaknya belum
akan mampu menggantikan Lim Swie King atau apalagi Rudy Hartono
bila diukur dari prestasi All England, misalnya. King jadi juara
All England pertama kali pada umur 22 selama tiga kali.
Sedangkan Rudy, juara All England 8 kali, meraihnya pada umur 19
tahun. "Icuk seorang pemain yang komplit. Stroke, reaksi, dan
fisiknya bagus. Cuma hatinya kecil -- itu saja," kata Willy
Budiman dari Komisi Teknik PBSI beberapa waktu lalu.
Kini Icuk, pemain berumur 20 tahun itu telah membuktikan dirinya
punya nyali besar. Sekalipun gagal di dua kejuaraan sebelumnya,
Icuk mampu menjadi juara resmi dunia paling muda selama ini.
Dengan prestasi itu Icuk telah mengangkat dirinya sejajar dengan
pemain dunia lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini