PUTARAN ke-3 kompetisi Liga Utama sudah berakhir pekan kemarin.
Dan untuk kesekian kalinya pula orang bertanya-tanya apakah
bisnis sepak bola ini memang benar-benar bisa diharapkan
mengkatrol mutu persepakbolaan Indonesia.
"Liga adalah konsep jalan pintas untuk mencapai kemajuan lebih
cepat. Orang-orang berduit dilibatkan. Tetapi apa yang dicapai
sampai sekarang belum memuaskan," ucap Ketua Komisariat Daerah
PSSI Sumatera Utara, Wahab Abdy Simatupang.
Jalan pintas meningkatkan mutu itu ternyata dibayar cukup mahal.
Untuk gaji saja bagi sekitar 30 pemain yang bergabung dalam 15
klub Divisi Utama diperkirakan mencapai Rp 1 milyar per tahun.
Perusahaan-perusahaan besar yang menjadi pendukung klub-klub itu
belum bisa mengeduk untung. Yang mujur dari bisnis ini hanya
pemain, pelatih, dan segolongan masyarakat yang terlibat
langsung dalam pertandingan.
Ketua Harian PSSI, Soeparjo Pontjowinoto kelihatannya memang tak
terlalu berharap banyak dari kompetisi Liga ini. Karena
kompetisi yang sudah sampai pada putaran ke 3 itu masih
disebutkannya sebagai periode pengembangan. "Jadi semuanya belum
mantap," katanya.
Tetapi lain halnya denan Acub Zainal. Dia yakin dibandingkan
dengan dua tahun yang lalu mutu persepakbolaan meningkat. Ini
terutama dia lihat dari putaran kompetisi. "Tetapi kita belum
bisa mengambil manfaatnya. Sekarang soalnya tinggal kejelian
pengurus PSSI untuk melihatnya," kata salah seorang pemimpin
Niac Mitra itu. "Seandainya pengurus PSSI 2 atau 3 tahun yang
lalu sungguh-sungguh mengamati pemain Liga, saya kira kita bisa
membentuk tim nasional yang tangguh," sambunnya pula.
Beberapa pengamat bola beranggapan bukan materi pemain yang
kurang. Tetapi organisasi yang belum beres. Basri, pelatih dari
Niac Mitra mempertegas masalah ini ketika dia berbicara tentang
pembentukan tim nasional. "Yang sekarang terjadi, pemain PSSI
diambil dari klub. Tapi pelatih klub yang sudah tahu seluk-beluk
pemain yang bersangkutan tidak dilibatkan," katanya.
Tanpa organisasi yang rapi, demikian sebuah sumber, akan sulit
bagi PSSI untuk mengatasi begitu banyak masalah yang
dihadapinya. Yang terakhir adalah masalah pemain impor. Ketika
berbicara dalam resepsi ulang tahun PSSI belum lama ini, Ketua
Umum PSSI, Syarnubi Said melontarkan gagasan untuk melarang
pemain asing dalam klub Liga. Gagasan ini kontan mendapat
tanggapan kiri-kanan. Padahal masalah pemain asing itu dengan
jelas dibenarkan oleh anggaran dasar Liga Utama. "Kalau memang
tidak setuju kan bisa didiskusikan kembali," sambut Acub Zainal.
Buat enam pemain asing yang main di klub Liga gagasan Syarnubi
itu merupakan pukulan yang pahit. "Ya, apa nanti katanya bos
sajalah," jawab salah seorang pemain impor dari Singapura, David
Lee, yang bermain sebagai penjaga gawang Niac. David mengaku
telah menerima kontrak S$ 60.000 (sekitar 30 juta) untuk musim
kompetisi 1982/1983.
Jika gagasan Syarnubi itu menjadi kenyataan, kelihatannya Niac
merasa ikut terpukul. Karena sebagaimana dikatakan pelatih
terkemuka, Endang Witarsa, 2 pemain impor dalam klub itu ikut
memainkan peranan menentukan sehingga Niac Mitra bisa
mempertahankan kedudukan juara.
Basri tidak menyanggah peranan yang dimainkan kedua pemain asing
yang bergabung dalam Niac. "Mereka bisa membawa tim kami lebih
maju dan disukai publik," katanya.
Dia memuji disiplin kedua pemain asing yang berada dalam
asuhannya itu. Mereka juga tidak meminta perlakuan berlebihan.
Fandi Ahmad, misalnya, malahan menampik mobil yang disediakan
buatnya kalau mau pergi. Ia memilih dibonceng sepeda motor saja.
Kadang-kadang dia sudah senang kalau bisa berangkat dengan
becak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini