Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seumur hidup Lilian Thuram tak pernah melupakan masa kecilnya yang pahit. Ayahnya pergi entah ke mana. Bersama empat saudaranya, ia harus hidup prihatin bersama ibunya. Sang bunda akhirnya membawa mereka hijrah dari Guadeloupe, Karibia—sebuah negeri koloni Prancis—ke Paris. Saat itu Thuram baru sembilan tahun.
Di negeri baru, hidup mereka tak lantas membaik. Tinggal di Fontainebleau, daerah padat di pinggiran Paris, sang ibu mesti memeras keringat untuk mendapat sepotong roti. Namun di sana Thuram mendapatkan kehangatan. Dia bisa puas bermain sepak bola dengan anak-anak lain dari berbagai bangsa. Ada yang dari Portugal, Pakistan, negara-negara Arab, dan tentu bocah Prancis, si pribumi.
Pengalaman menyepak si kulit bundar bersama anak dari berbagai bangsa bukan cuma milik Thuram. Hampir semua pemain Prancis pernah mengalaminya.
Prancis merupakan negeri kuali adukan. Sehari-hari mereka terbiasa hidup campur baur antara berbagai bangsa, ras, dan agama. Dari komunitas seperti itu muncul julukan bagi tim Ayam Jantan sebagai ”Black-Blanc-Beur” atau Hitam, Putih, dan Cokelat.
Warna-warna itu mengacu pada kulit para pemain sepak bola negeri itu. Black (slang untuk noir alias gelap) untuk mereka yang berasal dari Afrika. Putih untuk keturunan Eropa. Sedangkan cokelat adalah mereka yang berasal dari kawasan Afrika Utara atau Magribi.
Berkat mereka, Prancis punya tim sepak bola yang kuat dan solid. Prestasi sebagai juara dunia pada 1998 dan juara Eropa dua tahun be-rikutnya menjadi bukti. Finalis Pia-la Dunia tahun lalu di Jerman ini diisi lebih dari separuh keturunan pendatang. Mereka berasal dari berbagai negara, kebanyakan merupakan bekas koloni negeri itu.
Patrick Vieira datang dari Senegal, Claude Makélélé dari Kongo, Lilian Thuram dan William Gallas berasal dari Guadeloupe, sedangkan Éric Abidal lahir di Martinique. Jangan lupa pula, Kapten Zinedine Zidane adalah keturunan Aljazair.
Kendati mereka telah mengangkat nama Prancis di gelanggang internasional, tak sedikit warga negeri anggur itu yang tetap mencibir. Salah satunya Jean-Marie Le Pen, politisi ekstrem kanan dari Front National. Tim yang menjadi juara dunia 1998 disebutnya sebagai Prancis palsu. Empat tahun kemudian para pemain menolak pencalonan Le Pen sebagai presiden.
Tahun lalu Le Pen mengkritik Raymond Domenech karena dianggap terlalu banyak memasukkan pemain hitam dalam tim. Dia menginginkan agar semua pemain Prancis merupakan keturunan asli negeri itu. Ah, politisi tahu apa tentang sepak bola. Keindahan permainan Prancis justru karena bercampurnya bakat dari berbagai ras itu.
IB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo