Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisruh infus mencuatkan nama Ribka Tjiptaning, 48 tahun. Ketua Komisi Kesehatan DPR ini gencar meminta pemerintah menarik infus buatan PT Otsuka Indonesia. Menurut dia, produsen infus asal Jepang ini membuat produk yang tidak steril.
Ribka menyampaikannya dalam rapat kerja resmi, kunjungan ke beberapa rumah sakit, maupun lewat media massa. Infus yang memakai metode bioburden, menurut dia, tidak sesuai dengan aturan baru pembuatan obat. Otsuka dan sebagian besar produsen infus dunia masih memakai metode dengan pemanasan 102 derajat Celsius itu.
Maka, dia meminta rumah sakit hanya menggunakan infus yang dibuat dengan metode overkill, yakni pemanasan 121 derajat Celsius. Nah, satu-satunya pabrik infus yang memakai metode ini di Asia Tenggara hanya Sanbe Farma.
Sikap Ribka ini sempat membingungkan para dokter dan ahli mikrobiologi. Metode bioburden merupakan teknologi terbaru pembuatan infus, mendampingi metode overkill yang kuno. Semua rujukan ilmu mikrobiologi mengakui keabsahan kedua metode ini.
Tempo menemui penulis memoar Aku Bangga Menjadi Anak PKI ini, Sabtu dua pekan lalu.
Bagaimana awalnya kasus ini hingga menarik perhatian Komisi IX?
Menurut Farmakope Indonesia sekarang, pemanasan (infus) 104 derajat sudah tidak lagi standar, karena masih ada virus yang tidak mati. Standar yang baru pemanasan 121 derajat Celsius. Nah, seperti Otsuka, kemasan botolnya akan lumer kalau dipanaskan 121 derajat Celsius selama 15 menit. WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) juga memakai standar itu.
Lalu apa yang dilakukan?
Kita tegur Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan). Dia mengaku akan menarik produk Otsuka dari peredaran. Sewaktu saya melakukan inspeksi penanganan korban banjir, kan banyak yang deman berdarah dan muntaber, pasti mereka diinfus. Saya kaget melihat infus Otsuka masih dipakai. Badan POM yang harus diberi pelajaran karena kerjanya nggak bener.
Menurut Badan POM, mereka hanya menghentikan sementara.
Ya, menarik dan menghentikan. Kami tidak ingin Badan POM punya standar ganda. Kalau infus bagus, katakan bagus. Saya marah terhadap sikap Badan POM ini.
Sebetulnya apa yang ditemukan DPR pada infus Otsuka?
Ketika saya koas (dokter muda), saya menemukan anak muntaber menjadi demam setelah diberi infus. Ada kasus juga di Nusa Tenggara Barat. Tapi kenapa Badan POM membiarkan? Saya ke Rumah Sakit Koja, Jakarta Utara, masih memakai infus Otsuka. Jika di Jakarta saja masih dipakai, bagaimana di daerah? Kalau tidak ada masalah, kurang kerjaan amat ngurusin beginian.
Dokumen terbaru WHO tidak mewajibkan pemanasan 121 derajat Celsius. Aturan WHO mana yang Anda pakai?
Ada. Saya punya dokumen setumpuk. Staf ahli saya yang mencari. Saya punya Farmakope Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, WHO.
Menteri Kesehatan menyebut infus Otsuka tidak masalah. Farmakope juga mengizinkan kedua metode (bioburden dan overkill). Mengapa rakyat harus membeli infus mahal dengan metode overkill, jika keduanya hasilnya sama?
Sekarang begini. Mau cari yang aman atau yang murah? Saya tanya ke Sanbe, selisih harga dengan infus Otsuka tak seberapa, cuma seribu rupiah.
Harga distributor selisihnya bisa dua sampai tiga kali lipat.
Memang ada persentase untuk dokter dan rumah sakit. Sekarang serahkan saja pilihan kepada rumah sakit. Mau pakai infus yang aman atau yang murah.
Persoalannya menjadi rumit ketika terjadi kelangkaan infus. Rumah sakit tidak melihat alasan harus membeli infus yang lebih mahal. Sebab, metode bioburden menjadi standar pembuatan infus di banyak negara.
Siapa bilang? Nanti kamu ke kantor gue saja. Gue jadi berargumen susah juga. Saya kasih setumpuk berkas. Gue jadi jengkel, nih.
Apakah semua ini bukan persoalan persaingan bisnis saja?
Kita kembalikan saja ke standardisasi. Mengapa Otsuka di Jepang pakai 121 derajat, kok di sini pakai 104 derajat? Apa memang beda, orang Jepang sama orang Indonesia?
Apakah pernah ada produsen infus yang mencoba mendekati Anda agar memberikan dukungan?
Nggak. Otsuka yang malah mau dekat-dekat saya lewat GMNI (Ge-rakan Mahasiswa Nasional Indonesia), dan Pemuda Demokrat. Kalau dia merasa benar, kenapa pula dia mau dekat-dekat saya. Saya menolak.
Apakah Anda pernah diundang ke pabrik Sanbe?
Ya, sewaktu peresmian rumah sakit dan pabrik Sanbe, saya diundang. Menteri Kesehatan juga datang. Apa itu dijadikan ukuran? Kalau mereka nggak benar, saya tidak akan ngomong benar. Kok, jadi lucu begini. Saya tidak terima apa-apa dari Pak Jahja (Jahja Santoso, pemilik Sanbe). Catat itu!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo