Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang Bujono
PADA mulanya adalah ”Pencuri itu berhasil ditangkap polisi.” Kemudian bermunculanlah variannya, umpamanya, ”Akhirnya mikrolet yang tercebur ke Banjir Kanal Barat berhasil dievakuasi pasukan pemadam kebakaran.” Atau, ”Semburan lumpur Sidoarjo belum berhasil diatasi para teknisi.” Satu contoh lagi, ”Rel kereta api yang patah berhasil diperbaiki para montir kereta.”
Kalimat-kalimat itu tampaknya tak bermasalah dari sisi tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tapi, siapakah yang berhasil? Pencuri atau polisi, mikrolet atawa pasukan pemadam kebakaran, semburan lumpur atau para teknisi, rel kereta atau montir kereta? Mustahil rasanya seorang pencuri berusaha agar ditangkap, atau rel kereta api bisa bergerak sendiri bagaikan ular, lalu memperbaiki diri sendiri yang patah. Kecuali, itu semua dalam kaitan yang sangat khusus. Misalnya, pencuri itu memang ingin ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena bermaksud menemui temannya yang sudah terlebih dahulu tertangkap dan si teman itu tak boleh dibezuk. Dan ihwal rel kereta? Siapa tahu rel itu terletak di suatu daerah kerajaan para peri, dan makhluk-makhluk halus tak terlihat mata manusia itu punya hobi memperbaiki rel patah.
Oh, kebingungan mencari siapa atau apa yang berhasil itu oleh sebab anda memahami ”berhasil” sebagai kata kerja—kata seseorang. Padahal, kata dia selanjutnya, kalau kita maknai ”berhasil” sebagai kata keterangan yang menjelaskan kata ”ditangkap” dan lain-lainnya itu, bukankah lalu jelas semuanya? Ia pun menjelaskan maksudnya bahwa ”berhasil” menerangkan ”penangkapan”, bukan ”pencuri”. ”Cobalah hilangkan ’polisi’, bukankah jelas maksud kalimat ini: Pencuri itu berhasil ditangkap?” katanya mengakhiri kuliah.
Benar juga. Tapi lalu tidak jelas siapa yang menangkap pencuri itu, kata saya. ”Anda rupanya tak rela menghargai keberhasilan seseorang, sehingga untuk membenarkan kalimat itu mesti menghilangkan polisi,” tuduh saya sengit. Diskusi berlanjut, dan akhir nya kami setuju, diperlukan tambahan satu kalimat lagi agar jerih payah polisi tak dilupakan: Pencuri itu berhasil ditangkap. Upaya polisi selama ini tak sia-sia. Begitulah, misalnya.
Jadi, ketika ”berhasil” dipahami sebagai kata kerja, kalimat Pencuri itu berhasil ditangkap polisi membingungkan: adakah di dunia ini pencuri yang berupaya agar dirinya ditangkap. Karena itu ”berhasil” dalam kalimat itu mesti dipahami sebagai kata keterangan, agar makna kalimat jelas.
Namun setelah seseorang tadi pergi, dan saya mencoba memahami ”berhasil” sebagai kata keterangan yang menjelaskan ”ditangkap”, ternyata saya tetap bingung: terasa ada penjelasan yang rancu. Tidakkah awalan ”di” pada kata kerja dalam kalimat pasif untuk menunjukkan subyek yang dikenai pekerjaan itu (dalam hal ini pencuri, bukan perampok atau pembunuh)? Sedangkan kata ”berhasil” menunjuk pada polisi (bukan tentara, bukan massa)? Jadi bagaimana Pencuri itu berhasil ditangkap polisi tidak membingungkan kalau kata keterangan yang menunjuk pada polisi (”berhasil”) juga untuk menjelaskan kata kerja yang menunjuk pada pencuri (”ditangkap”)? Ini berbahaya, seolah-olah kita menyamakan pencuri dan polisi.
Alamak, tidakkah sebaiknya kalimat itu disederhanakan saja? Yaitu dengan menghilangkan penyebab kerancuan, si kata ”berhasil” itu. Tidakkah ini lebih jernih: Pencuri itu ditangkap polisi? Atau, mengikuti kata seseorang tadi, ”polisi” kita sembunyikan, jadilah Pencuri itu berhasil ditangkap. Namun penyederhanaan ini terpaksa menghilangkan ”berhasil” yang menegaskan itu, atau ”polisi” yang berjasa. Adakah cara untuk mempertahankan ”berhasil” dan ”polisi”, sehingga kita tak dituduh sebagai orang yang tak tahu menghargai jerih-payah orang lain, dan kalimat itu tetap masuk di akal? Bagaimana kalau ”ditangkap” diubah sedemikian rupa sehingga tak lagi menunjuk pada ”pencuri”, melainkan menerangkan yang diperbuat oleh ”polisi”? Dan itu tidak sulit. Kita ubah saja kalimat pasif itu menjadi aktif: Akhirnya, polisi berhasil menangkap pencuri itu.
Alhasil, dengan mengaktifkan kalimat itu kita mestinya tak termasuk yang masih harus menghayati nasihat Khonghucu. Itulah nasihat bahwa seyogianya kita selalu menghargai keberhasilan orang lain, bukannya ”sulit menghargai keberhasilan orang lain, merasa berhasil bila orang lain mengalami kesulitan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo