Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertandingan belum usai. Masih ada 20 menit tersisa. Namun puluhan ribu penonton di Stadion Stade de France, Paris, seketika berdiri dan memberikan aplaus panjang ketika Samir Nasri ditarik ke luar lapangan.
Gelandang Olympique Marseille itu punya andil penting dalam pertandingan persahabatan Prancis vs Austria yang digelar pada akhir Maret lalu. Lewat sebuah tendangan bebas, ia memberikan umpan matang ke Karim Benzema, penyerang Lyon. Gawang Austria bergetar. Prancis menang 1-0.
Malam itu merupakan debut gemilang Samir di tim nasional Prancis. Sepanjang pertandingan, sosok Zinedine Zidane seakan hadir lagi di lapangan hijau. Dribble-nya yahud. Sentuhan bo-lanya anggun bak penari balet, tapi tetap bertenaga. Tendangan bola matinya amat terarah.
Sebenarnya pemain berusia 19 tahun ini sudah mendapat kesempatan tampil bersama tim nasional Prancis saat menghadapi Lithuania dalam penyisihan Piala Eropa, sepekan sebelumnya. Sayang, ketika itu pelatih Raymond Domenech tidak menurunkannya.
Nama Samir memang tengah jadi buah bibir di jagat sepak bola Prancis. Dia disebut-sebut sebagai Zidane baru. Kendati berasal dari generasi yang berbeda, keduanya memiliki banyak persamaan. Mereka sama-sama keturunan Aljazair, lahir dan besar di Marseille, dan main pertama kali di tim nasional pada usia 19 tahun.
”Di usianya yang masih muda, pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana dia menjaga konsistensi. Bagaimana dia bisa bermain seperti yang diharapkan, dari peluit pertama ditiup sampai pertandingan usai,” kata Domenech. Seakan ingin menumbuhkan kepercayaan diri Samir, sang pelatih memberikan kostum nomor 10 kepunyaan Zidane kepada pemain debutan itu.
Djibril Cisse, pemain senior tim Prancis, ikut memuji permainannya. ”Dia sungguh-sungguh penuh bakat,” ujar pemain yang kini dalam status pinjaman dari Liverpool itu. Cisse yakin bahwa temannya itu suatu saat akan menjadi bintang besar. ”Bukan omong kosong. Saya melihat dia berlatih tiap hari. Kualitasnya oke.”
Di Marseille, Manajer Klub Albert Emon memasang Samir di posisi yang sama dengan Zidane: sebagai play maker di belakang penyerang. Bersama Frank Ribéry dan bek kiri asal Nigeria Taye Taiwo, Samir menjadi trio maut di klubnya. Marseille sampai pekan lalu masih berada di peringkat kelima, jauh tertinggal (23 poin) dari Lyon di posisi puncak.
Toh sanjungan seperti itu sama sekali tidak membuatnya besar kepala. Sebaliknya dia malah sebal. ”Perbandingan ini sungguh mengganggu. Itu menjadi tekanan berat. Saat Zidane tiba di Juventus, semua orang membandingkannya dengan Platini. Padahal semua itu sama sekali tidak berguna,” katanya sengit.
Kecemerlangan Samir bukan terlihat baru-baru ini saja. Ia sudah memukau ketika tampil bersama Les Espoirs (tim nasional Prancis U-17) menjuarai Piala Eropa, tiga tahun silam. Sejak itu namanya meroket. Namun dia tetap enggan disamakan dengan Zidane. ”Cuma ada satu Zidane, hanya satu Platini, saya tetap Samir.”
Di Stade de Velodrome, kandang Marseille, dia bisa membius sekitar 50 ribu penonton. Tepuk tangan gemuruh selalu mengiringi aksinya di lapangan hijau. Tapi semua itu sama sekali tidak membuat gaya hidupnya berubah. Samir tetap Samir yang bersahaja.
Sampai sekarang dia masih memilih tinggal bersama orang tuanya di perkampungan padat di sudut Kota Marseille. Hampir 60 persen penduduk di kawasan itu penganggur. ”Media berusaha mengubah statusku dan menyatakan saya telah sukses. Tapi bukan itu yang terjadi.”
Lahir di Marseille pada 26 Juni 1987 dari keluarga imigran Aljazair, sejak kecil Samir sudah bermain sepak bola bersama anak-anak sebayanya. Bakatnya mulai terlihat saat berusia lima tahun. Setahun kemudian sang ayah memasukkannya ke klub sepak bola lokal.
Permainannya di klub anak-anak itu menarik perhatian pemandu bakat dari Olimpique Marseille, Freddy Assolen dan Roger Giovanini. Meski dilirik klub besar, sang ayah yang juga bertindak sebagai manajernya tak terpukau.
Setelah berusia sembilan tahun, barulah Samir pindah ke Marseille. Di klub itu bakatnya makin terasah. Setelah terpilih menjadi pemain tim junior klub, prestasinya kian kinclong di tim nasional junior usia 17 tahun.
Bukan berarti Samir tak punya kelemahan. Kepada L’Equipe, media terkemuka Prancis, dia pernah terus terang menunjukkan statistik pribadinya yang kurang mengesankan. Dari 82 penampilan, termasuk di ajang Piala UEFA, hingga dua pekan silam dia baru mencetak tiga gol dan membuat tujuh umpan yang jadi gol.
”Saya masih labil. Bisa saja bermain bagus dalam 20 menit tapi setelah itu kedodoran. Saya masih terus berusaha memperbaikinya.” Namun pengakuan jujur itu tak menipiskan pandangan klub-klub bahwa ia merupakan jaminan mutu.
Bursa klub besar Eropa sudah mema-sukkan namanya ke daftar pemain yang paling diincar. Pemilik Inter Milan Massi-mo Moratti, kabarnya, sudah menugasi eksekutifnya menemui ayah Samir guna membicarakan kemungkinan memboyongnya ke tim juara Liga Italia itu.
Peminat lain adalah Barcelona. Menurut sebuah koran Prancis, klub asal Spanyol itu pada musim depan akan membawa Nasri bersama pilar Marseille yang lain, Franck Ribéry dan Taye Taiwo, ke Nou Camp.
Klubnya sekarang, Olympique Marseille, paham betul anak imigran itu telah menjadi emas yang bisa mendatangkan keuntungan besar. Peminat sudah bejibun. Tanpa semir, Samir sudah mengkilap.
Kontrak dengan Marseille sendiri akan berakhir pada 2009, dan sampai saat ini klub itu belum mengajukan kontrak baru. Itu bisa berarti bintang ini sudah siap dilepas. Banderol untuk Samir pun sudah dipatok: 25 juta euro atau sekitar Rp 305 miliar.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo