Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Kilap Mutiara dari Benua Hitam

Pemain dari Afrika bergelimang kemewahan di Liga Primer. Ancaman tidak langsung bagi tim nasional Inggris.

10 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI segala penjuru London mereka mengarah pada sebuah titik di pusat kota. Di sebuah klub malam mereka berkumpul. Melihat wajah-wajah yang ada di situ, sudah pasti pencinta sepak bola dunia dengan mudah mengenali mereka. Malam itu hadir, antara lain, Emmanuel Eboue, Kolo Toure, Emmanuel Adeba yor—ketiganya bintang Arsenal—dan Didier Drogba, andalan Chelsea.

Yang menyatukan mereka apa lagi kalau bukan karena asal negara atau klub yang sama. Eboue, Toure, dan Drogba sama-sama dari Pantai Gading, sedangkan Adebayor adalah pemain Togo. ”Paling tidak, sebulan sekali kami berkumpul bersama,” kata Drogba.

”African Boys”—demikian para pemain Benua Hitam ini sering disebut—memang sedang berada di puncak: muda, tenar, dan kaya. Dalam beberapa tahun belakangan, seperti halnya liga dunia lainnya, sepak bola Inggris—liga paling keras dan panas di jagat raya ini—tak bisa lepas dari peran para pemain Afrika.

Keberadaan mereka kini mulai mendapat sorotan. Ini gara-gara pekan lalu muncul hasil survei yang digelar BBC. Badan penyiaran itu menyebutkan, dalam sepekan pertama pertandingan Liga Primer musim ini, hanya 37 persen pemain starter yang pribumi. Angka ini turun drastis dari 76 persen pada 1992. ”Masa depan sepak bola Inggris dalam bahaya,” kata Trevor Brooking, Direktur Pengembangan Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA).

Maklum saja, saat ini dari 500-an pemain liga utama Inggris, ada 337 pemain asing dari 66 negara. Sebagian besar berasal dari Afrika. Mereka juga punya posisi yang penting dan selalu masuk starting eleven alias menjadi pemain inti. Dari 20 klub liga primer, hanya Aston Villa, Derby County, Manchester City, Reading, Sunderland, dan Manchester United—dulu pernah diperkuat Eric Djemba-Djemba dari Kamerun—yang tak memiliki pemain Afrika.

Di Arsenal ada Kolo Toure, Eboue, Adebayor, dan Song. Juga Alhaj Diouf, Meite, dan Faye di Bolton; Kanu, Mwaru wari, Utaka, dan LuaLua di Portsmouth; Sissoko di Liver pool; Obafemi Martins di Newcastle, McCarthy di Blackburn. Dan tentu saja di Chelsea, yang punya dua pemain vital Didier Drogba dan Michael Essien asal Ghana.

Penderitaan semakin lengkap jika menilik daftar top scorer. Hanya Frank Lampard seorang yang terselip di antara 10 pemain paling produktif musim ini. Di antara mereka muncul nama Obafemi Martins dan John Utaka, keduanya dari Nigeria. Musim lalu, dua pencetak gol terbanyak Liga Inggris juga berasal dari Afrika, yakni Drogba dan Benedict McCarthy (Afrika Selatan). Selain itu, masih ada Aiyegbeni Yakubu (Nigeria) di peringkat ke-10.

Kehadiran mereka sebenarnya bukanlah hal yang baru. Mereka menyerbu ke berbagai liga dunia tepatnya pada pertengahan 1990-an, saat tim dari Afrika unjuk gigi di Piala Dunia dan juga Olimpiade. Pemain dari Afrika digemari karena memiliki kekuatan fisik, talenta, dan skill yang tidak kalah mumpuni dibanding pemain Amerika Latin.

Bedanya, ini yang jadi kelebihan, mereka mau dibayar murah. Ibarat barang elektronik, harga Cina kualitas Jepang. ”Di Afrika banyak pemain yang seperti permata yang belum digosok,” kata John Fashanu, bekas bintang klub Wimbledon keturunan Nigeria.

Demam Afrika dimulai saat pelatih Arsenal, Arsene Wenger, memakai beberapa pemain hitamnya seperti Nwanko Kanu. Namun yang paling bersemangat tentu saja Jose Mourinho, pelatih asal Chelsea. Saat mulai menangani klub itu tiga tahun silam, pelatih asal Portugal ini memboyong Drogba, yang bersinar di Marseille. Tidak tanggung-tanggung, Drogba dihargai lebih dari Rp 400 miliar, rekor pemain termahal Chelsea waktu itu.

Media di sana sempat sinis. Katanya, uang sebanyak itu bisa menghidupi para pengungsi di Darfur, Sudan, yang ketika itu dilanda kelaparan. Yang lain menyebut, pembelian Drogba ibarat membeli kucing dalam karung. Tapi, hasilnya, dua kali dia membawa Chelsea juara Liga Primer, prestasi yang tidak pernah terjadi sejak 1955.

Kini Drogba menikmati segalanya dari sepak bola. Di musim ini, namanya masuk sebagai 10 pemain di Liga Inggris dengan penghasilan terbesar. Kontrak barunya, November tahun silam, yang berlaku hingga 2010, membuatnya diganjar gaji Rp 1,7 miliar per minggu.

Dengan duit yang lebih dari cukup itu, dia menghidupi Alla, istrinya asal Mali, dan tiga anak yang lucu-lucu. Ke mana-mana dia mengendarai mobil mewah, salah satunya Porsche Cayenne. Dia pun tidak perlu pusing dengan biaya pendidikan anak-anaknya, seperti yang dialaminya saat kecil.

Kemewahan tidak hanya milik Drogba. Essien juga menerima bayaran yang tidak sedikit. Malah dia memecahkan rekor pemain Afrika termahal dengan kontrak Rp 460 miliar. Tapi, dalam soal gaji per minggu, dia masih di bawah Drogba.

Pemain Afrika lainnya yang kaya raya juga tidak sedikit jumlahnya. Obafemi Martins, pemain Newcastle yang sebelum musim ini dimulai sempat diperebutkan beberapa klub, juga menikmati hidupnya. Ke mana saja dia pergi, dia mengendarai Mercedes-Benznya. Hidupnya tak lagi sulit seperti yang dialami beberapa tahun sebelumnya. ”Obafemi telah menjadi tulang punggung yang berhasil bagi keluarga,” kata Alhaja, ibunda Martins.

Dengan penghasilan yang lebih dari cukup untuk pemuda berusia 22 tahun, Martins bisa pulang ke negeri nya se suka hati nya saat off di lapangan. Di kampung halaman nya, Martins yang dibeli dari Inter seharga 10 juta pound sterling (Rp 187 miliar) itu bisa menikmati hidup di apartemen mewahnya di Lagos, Nigeria. Nilainya kini, konon, sudah naik ke kisaran Rp 250 miliar.Lantas bagaimana mereka mengelola keuangan sebanyak itu? Aman. Mereka beruntung. Istri atau pacar mereka bukan perempuan yang gila belanja seperti kebanyakan pasangan pemain bintang asal Inggris. Perempuan-perempuan ini dikenal dengan sebutan WAG alias wife and girlfriend, yang gemar menghamburkan uang pasangannya.

Istri pemain Afrika kebanyakan merupakan ibu rumah tangga. Mereka tahu betul uang yang mereka dapatkan membutuhkan waktu yang panjang dan perjalanan yang sulit. Akibat kerap diguncang prahara kekerasan perang sipil dan bencana kelaparan, banyak di antara mereka yang bermigrasi ke Eropa. ”Pamanku membujuk orang tuaku untuk membawaku ke Prancis demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” kata Drogba mengingat kejadian saat dia berusia lima tahun.

Penghasilan besar tidak lantas hanya masuk ke reke ning mereka. Sebagian meng alir sebagai devisa ke negeri asalnya. Satu yang pasti, naiknya pendapatan dari hak siar televisi saat digelar kejuaraan Piala Afrika terjadi akibat tingginya nilai jual para pemain Afrika yang bermain di liga-liga Eropa. Sebagian dari uang itu dibagikan untuk pembinaan di berbagai federasi sepak bola di benua itu.Artinya, sepak bola Afrika akan makin maju dan sepertinya prediksi Pele mendekati kenyataan. Kata dia, 25 tahun pertama abad ini, Afrika akan menggeser dominasi Amerika Latin dan Eropa sebagai penguasa sepak bola dunia. Bisa jadi harga mereka pun akan terus merayap menjangkau langit.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus