Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Kodokan Jakarta ?

Kejuaraan nasional judo berlangsung di Senayan. Haryanto chandra berhasil menang. diharapkan dia mewakili indonesia dalam kejuaraan judo asia.

20 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SISTEM yang membawanya harus bertarung dengan siapa saja. Kebetulan bekas gurunya menantang. Dan terjadi pertarungan final kelas bebas antara Haryanto Chandra dan Yono Budiono, sang guru. Sampai gong berbunyi, keduanya kelihatan sama kuat. Tapi wasit sepakat menyatakan Haryanto Chandra menang karena ia lebih agresif. "Saya tidak main sabun," cerita Haryanto tentang duel tadi dalam Kejuaraan Nasional Judo di Jakarta (4-7 Septeber). Namun adalah Yono yang melicinkan jalan Haryanto ke final, karena dia membendung juara nasional kelas bebas 1978 -- Raymond Rochili dari DKI -- di pool atas. Prestasi Haryanto bukan berarti tidak ada. Di pool bawah, ia menyapu semua lawannya: Yorgent Nusi (Irja), Yusuf Ismail (Sum-Sel), Yaneman Massie (DKI) dan Hassanudin dari Yogya. Itupun setelah menang mutlak di nomor kelas 86-95 kg. Putra bungsu keluaga Chen Ho Ham dari Bandung ini main judo sejak 1975. Yono pernah melatihnya sebelum ia masuk pelatnas SEA Games 1979 di Jakarta. Dalam SEA Games itu atlet Filipina yang kekar, Fernando Garcia, jadi saingannya dalam inal. Di bawah tepuk tangan penonton, mereka bertarung alot. Tinggal 24 detik sebelum usai pertandingan (5 menit), Haryanto berhasil menyapu lawannya dengan teknik horaigshi. "Buat ASEAN sih kita bisa bicara, tapi target saya menjadi juara Asia," katanya kepada Hasan Syukur dari TEMPO. Tapi bukan enteng. Itu berarti menantang juara dari Jepang dan Korea. Non Show Haryanto pernah dikirim bersama 4 judoka Indonesia lainnya ke Kejuaraan Dunia 1979 di Paris. Hasilnya, semua kalah. "Teknik atlet kita sebetulnya tidak kalah, cuma power yang kurang, " begitu alasannya. Tentu juga kurang pengalaman bertanding. Karena itu Haryanto, 25 tahun, ingin berlatih ke Jepang sleama 2-3 tahun. Di Bandung ia berlatih cuma 8 jam seminggu, padahal judoka Eropa dan Jepang berlatih minimal 3 jam sehari. Popularitas judo sepruh tahun terakhir ini jauh menurun dibanding olahraga beladiri lainnya seperti karate dan pencak silat. "Masalahnya, judo memakai kaidah non-show, " kata Tony Atmajaya, Ketua Bidang Pembinaan PJSI. A R. Soehoed, Menteri Perindustrian, yang akhir-akhir ini mempopulerkan sistem "bapak angkat" di bidang industri kecil, sejak Januari "diangkat" jadi Ketua Umum PB PJSI. Dia mengaku dirinya bukan pemain judo. "Dulu saya sport boxing, pencak dan sekarang ini berlayar," katanya. Namun Soehoed tampaknya serius jadi "bapak angkat". Ia tidak berniat mengirim atlet berlatih ke Kodokan, kiblat judo sedunia di Tokyo, tapi ia mau mendirikan kiblat baru di Jakarta. Dana pembangunan gedung judo konon sudah tersimpan di suatu bank, berjumlah Rp 250 juta "Yang pertama jadi perhatian saya adanya satu cente latihan. Itu program saya," kata Soehoed.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus