SISTEM yang membawanya harus bertarung dengan siapa saja.
Kebetulan bekas gurunya menantang. Dan terjadi pertarungan final
kelas bebas antara Haryanto Chandra dan Yono Budiono, sang guru.
Sampai gong berbunyi, keduanya kelihatan sama kuat. Tapi wasit
sepakat menyatakan Haryanto Chandra menang karena ia lebih
agresif.
"Saya tidak main sabun," cerita Haryanto tentang duel tadi dalam
Kejuaraan Nasional Judo di Jakarta (4-7 Septeber). Namun adalah
Yono yang melicinkan jalan Haryanto ke final, karena dia
membendung juara nasional kelas bebas 1978 -- Raymond Rochili
dari DKI -- di pool atas.
Prestasi Haryanto bukan berarti tidak ada. Di pool bawah, ia
menyapu semua lawannya: Yorgent Nusi (Irja), Yusuf Ismail
(Sum-Sel), Yaneman Massie (DKI) dan Hassanudin dari Yogya.
Itupun setelah menang mutlak di nomor kelas 86-95 kg.
Putra bungsu keluaga Chen Ho Ham dari Bandung ini main judo
sejak 1975. Yono pernah melatihnya sebelum ia masuk pelatnas
SEA Games 1979 di Jakarta. Dalam SEA Games itu atlet Filipina
yang kekar, Fernando Garcia, jadi saingannya dalam inal. Di
bawah tepuk tangan penonton, mereka bertarung alot. Tinggal 24
detik sebelum usai pertandingan (5 menit), Haryanto berhasil
menyapu lawannya dengan teknik horaigshi.
"Buat ASEAN sih kita bisa bicara, tapi target saya menjadi juara
Asia," katanya kepada Hasan Syukur dari TEMPO. Tapi bukan
enteng. Itu berarti menantang juara dari Jepang dan Korea.
Non Show
Haryanto pernah dikirim bersama 4 judoka Indonesia lainnya ke
Kejuaraan Dunia 1979 di Paris. Hasilnya, semua kalah. "Teknik
atlet kita sebetulnya tidak kalah, cuma power yang kurang, "
begitu alasannya. Tentu juga kurang pengalaman bertanding.
Karena itu Haryanto, 25 tahun, ingin berlatih ke Jepang sleama
2-3 tahun. Di Bandung ia berlatih cuma 8 jam seminggu, padahal
judoka Eropa dan Jepang berlatih minimal 3 jam sehari.
Popularitas judo sepruh tahun terakhir ini jauh menurun
dibanding olahraga beladiri lainnya seperti karate dan pencak
silat. "Masalahnya, judo memakai kaidah non-show, " kata Tony
Atmajaya, Ketua Bidang Pembinaan PJSI.
A R. Soehoed, Menteri Perindustrian, yang akhir-akhir ini
mempopulerkan sistem "bapak angkat" di bidang industri kecil,
sejak Januari "diangkat" jadi Ketua Umum PB PJSI. Dia mengaku
dirinya bukan pemain judo. "Dulu saya sport boxing, pencak dan
sekarang ini berlayar," katanya.
Namun Soehoed tampaknya serius jadi "bapak angkat". Ia tidak
berniat mengirim atlet berlatih ke Kodokan, kiblat judo sedunia
di Tokyo, tapi ia mau mendirikan kiblat baru di Jakarta. Dana
pembangunan gedung judo konon sudah tersimpan di suatu bank,
berjumlah Rp 250 juta "Yang pertama jadi perhatian saya adanya
satu cente latihan. Itu program saya," kata Soehoed.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini