PADA mulanya adalah perasaan harus berbuat sesuatu. Dan Guruh,
sebagaimana diakuinya, mencirii perbuatan itu dengan semangat
mercu suar, serba-besar-dan-gemerlapan. Ia "ingin mengembalikan
citra kejayaan Nusantara di zaman Majapahit-Sriwijaya."
Nostalgia, memang, bukan hal yang haram. Hanya saja yang
ditampilkan Guruh mengenai "puncak-puncak emas" zaman lampau
itu, di pentas Balai Sidang Senayan, 12, 13, 14 dan 16 September
kemarin, antara lain: seorang ratu yang ditandu dengan iringan
para prajurlt bertombak telanjang dada. Suatu prosesi yang
dihadirkan secara khusyuk, penuh penghormatan dan keelokan. Dan
Guruh sama sekali tidak merasa risi.
Anak bungsu presiden pertama RI ini, berusia 27 tahun, memang
nampak terpukau pada feodalisme. Itulah pula agaknya hasil yang
ia peroleh selama mempelajari masa lampau Indonesia ketika
sekolah arkeologi di Negeri Belanda, 1972.
Barangkali Guruh hanya melihat apa yang berlangsung di sekitar
kursi emas keraton. Bukan yang di luarnya -- kehidupan rakyat
sebenarnya, yang hampir tak pernah tercatat dalam prasasti. Dan
yang diwariskan masa lampau memang hanya berita kemegahan. Tak
ada cerita tentang darah atau air mata.
Karena itu, baik dalam pementasannya yang pertama Januari tahun
lalu maupun ini, wajah Indonesia hanya molek belaka. Tanpa warna
buram, tanpa kepedihan. Bahkan tanpa pergulatan.
Sebenarnya, kalau saja Guruh tidak takut dicap macam-macam
--sebagaimana ia menerima sebutan glamorous yang ditiupkan orang
secara sinis kepadanya, dengan gagah -- tak ada masalah. Hanya
agaknya ia banyak diganggu oleh tuntutan yang mungkin juga di
bawah sadar -- untuk "mengembalikan citra kebesaran Indonesia"
segala. Padahal bobot kedalamannya, dan lingkungannya yang lebih
banyak meriah daripada menukik, ternyata membatasi kakinya untuk
hanya bergerak di sekitar klise dalam pemikiran dan ucapan.
Tokoh si Anu dan si Polan, misalnya, dua "anak kecil" yang
mengembara untuk "mempertanyakan kebesaran negeriya", diberi
berbagai semboyan yang gagah dan satu pekikan: "Mari kita
dobrak kebobrokan!" Tapi di pentas yang mahal itu, ternyata tak
terjadi pendobrakan atau apa pun. Orang-orang hanya menari,
menyanyi -- dan brrr ....
Memang Guruh menjaditampak tidak mcmihak siapa-siapa. Juga tidak
jelas benar siapa yang ditujunya. Seorang pada posisi Guruh
memang bisa, sebagaimana dicerminkan si Anu -- tokoh yang hanya
mewakili dirinya -- senantiasa diliputi keraguan. Semangat dan
cita-citanya besar, tapi tak tahu mesti berbuat apa. Akhirnya
hanya bermimpi -- tentang kejayaan masa lampau ....
Dan mimpi itu diwujudkan dengan kemewahan luar biasa. Dimainkan
sekitar 300 orang remaja, dengan biaya lebih Rp 100 juta,
pertunjukan muncul dengan cantik. Meski tak sesegar pertunjukan
pertamanya dahulu, dengan hasil yang dicapai kali ini
setidak-tidaknya Guruh telah meneguhkan dirinya sebagai manajer
pertunjukan hiburan yang berhasil. Bahkan boleh disebut
satu-satunya orang yang ahli di bidang bisnis seperti itu di
negeri ini sampai saat ini.
Itu suatu prestasi. Tak, pertunjukannya bukan jenis pasaran
--meskipun isinya memang layu. Dengan musik yang lebih apik
--diaransir Candra Darusman Elfa Seciora dan Franki Raden
--dilengkapi rekaman iringan Tokyo Philharmonic Orchestra,
pementasan 2« jam itu berhasil memaku penonton yang suka hal-hal
yang ringan, lancar dan gemerlapan. Guruh memang sutradara
panggung yang cergas, dan koordinator yang rapi.
Beberapa adegan mencuat. Misalnya suasana di sebuah hotel mewah
dengan nyanyian (Trio Bebek) dan disko. Guruh menggarapnya
dengan bagus, baik tari, kostum maupun tata lampunya. Dan itu
hanya membuktikan bahwa ia sangat akrab dengan lingkungan itu.
Sementara itu, lapisan masyarakat lain yang kelasnya lebih
rendah seperti tak dijamahnya sama sekali. Memang dihadirkan,
di sayap kiri dan kanan panggung, tapi sangat fisikal. Ada
becak, gerobak bakso, sate dan bencong-bencong dan hanya itu.
Hanya pelengkap penderita. Juga kelompok dokter, perawat, polisi
di sayap lain, pun para mahasiswa, dibengongkan saja.
Adegan para turis di sebuah pantai di Bali -- di mana Chrisye
muncul menyanyikan satu lagu berbahasa Inggris juga menarik.
Meski penggambaran laut dengan kain yang dikibas-kibaskan itu
sudah berulang-ulang. Hadirnya seseorang bermain selancar di
sana membuatnya lucu. Kecuali itu, beberapa komposisi tari kipas
cukup unik.
O ya, ada juga Achmad Albar dengan sepeda motor trailnya. Tapi
itu hanya mengulang yang dulu. Juga ada Warkop Prambors, tanpa
Nanu. Grup lawak ini terasa rutin saja.
Yudhistira ANM Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini