Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Patriotisme gedongan

Pementasan kedua grup swara mahardhika pimpinan guruh sukarnoputro, dengan judul: 'untukmu indonesiaku' di balai sidang, senayan. pementasan melukiskan kejayaan masa lalu.

20 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA mulanya adalah perasaan harus berbuat sesuatu. Dan Guruh, sebagaimana diakuinya, mencirii perbuatan itu dengan semangat mercu suar, serba-besar-dan-gemerlapan. Ia "ingin mengembalikan citra kejayaan Nusantara di zaman Majapahit-Sriwijaya." Nostalgia, memang, bukan hal yang haram. Hanya saja yang ditampilkan Guruh mengenai "puncak-puncak emas" zaman lampau itu, di pentas Balai Sidang Senayan, 12, 13, 14 dan 16 September kemarin, antara lain: seorang ratu yang ditandu dengan iringan para prajurlt bertombak telanjang dada. Suatu prosesi yang dihadirkan secara khusyuk, penuh penghormatan dan keelokan. Dan Guruh sama sekali tidak merasa risi. Anak bungsu presiden pertama RI ini, berusia 27 tahun, memang nampak terpukau pada feodalisme. Itulah pula agaknya hasil yang ia peroleh selama mempelajari masa lampau Indonesia ketika sekolah arkeologi di Negeri Belanda, 1972. Barangkali Guruh hanya melihat apa yang berlangsung di sekitar kursi emas keraton. Bukan yang di luarnya -- kehidupan rakyat sebenarnya, yang hampir tak pernah tercatat dalam prasasti. Dan yang diwariskan masa lampau memang hanya berita kemegahan. Tak ada cerita tentang darah atau air mata. Karena itu, baik dalam pementasannya yang pertama Januari tahun lalu maupun ini, wajah Indonesia hanya molek belaka. Tanpa warna buram, tanpa kepedihan. Bahkan tanpa pergulatan. Sebenarnya, kalau saja Guruh tidak takut dicap macam-macam --sebagaimana ia menerima sebutan glamorous yang ditiupkan orang secara sinis kepadanya, dengan gagah -- tak ada masalah. Hanya agaknya ia banyak diganggu oleh tuntutan yang mungkin juga di bawah sadar -- untuk "mengembalikan citra kebesaran Indonesia" segala. Padahal bobot kedalamannya, dan lingkungannya yang lebih banyak meriah daripada menukik, ternyata membatasi kakinya untuk hanya bergerak di sekitar klise dalam pemikiran dan ucapan. Tokoh si Anu dan si Polan, misalnya, dua "anak kecil" yang mengembara untuk "mempertanyakan kebesaran negeriya", diberi berbagai semboyan yang gagah dan satu pekikan: "Mari kita dobrak kebobrokan!" Tapi di pentas yang mahal itu, ternyata tak terjadi pendobrakan atau apa pun. Orang-orang hanya menari, menyanyi -- dan brrr .... Memang Guruh menjaditampak tidak mcmihak siapa-siapa. Juga tidak jelas benar siapa yang ditujunya. Seorang pada posisi Guruh memang bisa, sebagaimana dicerminkan si Anu -- tokoh yang hanya mewakili dirinya -- senantiasa diliputi keraguan. Semangat dan cita-citanya besar, tapi tak tahu mesti berbuat apa. Akhirnya hanya bermimpi -- tentang kejayaan masa lampau .... Dan mimpi itu diwujudkan dengan kemewahan luar biasa. Dimainkan sekitar 300 orang remaja, dengan biaya lebih Rp 100 juta, pertunjukan muncul dengan cantik. Meski tak sesegar pertunjukan pertamanya dahulu, dengan hasil yang dicapai kali ini setidak-tidaknya Guruh telah meneguhkan dirinya sebagai manajer pertunjukan hiburan yang berhasil. Bahkan boleh disebut satu-satunya orang yang ahli di bidang bisnis seperti itu di negeri ini sampai saat ini. Itu suatu prestasi. Tak, pertunjukannya bukan jenis pasaran --meskipun isinya memang layu. Dengan musik yang lebih apik --diaransir Candra Darusman Elfa Seciora dan Franki Raden --dilengkapi rekaman iringan Tokyo Philharmonic Orchestra, pementasan 2« jam itu berhasil memaku penonton yang suka hal-hal yang ringan, lancar dan gemerlapan. Guruh memang sutradara panggung yang cergas, dan koordinator yang rapi. Beberapa adegan mencuat. Misalnya suasana di sebuah hotel mewah dengan nyanyian (Trio Bebek) dan disko. Guruh menggarapnya dengan bagus, baik tari, kostum maupun tata lampunya. Dan itu hanya membuktikan bahwa ia sangat akrab dengan lingkungan itu. Sementara itu, lapisan masyarakat lain yang kelasnya lebih rendah seperti tak dijamahnya sama sekali. Memang dihadirkan, di sayap kiri dan kanan panggung, tapi sangat fisikal. Ada becak, gerobak bakso, sate dan bencong-bencong dan hanya itu. Hanya pelengkap penderita. Juga kelompok dokter, perawat, polisi di sayap lain, pun para mahasiswa, dibengongkan saja. Adegan para turis di sebuah pantai di Bali -- di mana Chrisye muncul menyanyikan satu lagu berbahasa Inggris juga menarik. Meski penggambaran laut dengan kain yang dikibas-kibaskan itu sudah berulang-ulang. Hadirnya seseorang bermain selancar di sana membuatnya lucu. Kecuali itu, beberapa komposisi tari kipas cukup unik. O ya, ada juga Achmad Albar dengan sepeda motor trailnya. Tapi itu hanya mengulang yang dulu. Juga ada Warkop Prambors, tanpa Nanu. Grup lawak ini terasa rutin saja. Yudhistira ANM Massardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus