DI Kiel, Jerman Timur, para ahli mempersiapkan Kornelia Ender
sewaktu masih berusia 8 tahun supaya kelak meratui kolam renang.
Bentuk otot maupun metabolisme tubuhnya dipelajari di
laboratorium untuk menentukan program latihan yang bakal
dijalaninya. Ternyata tak sia-sia. Di Olympiade 1976 ia menyabet
rekor dunia dalam usia 17 tahun.
Di Indonesia, bidang kedokteran olahraga belum mendapat
perhatian mendalam. Misalnya, Ketua KONI Jakarta, Erwin
Baharuddin, mengatakan para pelatih umumnya masih beranggapan
kita tetap bisa berprestasi tanpa penelitian ilmiah.
Pusat Kedokteran Olahraga sudah ada di stadion utama Senayan,
Jakarta, sejak tahun 1965, tapi kurang dimanfaatkan untuk
pembinaan. "Padahal prestasi puncak tak mungkin dicapai, kalau
kekurangan atlet tak diketahui," komentar dr. Haryo Tilarso,
Sekjen PKO.
Pusat Ilmiah Olahraga (PIO), juga di Senayan, sudah menemukan
hubungan antara prestasi atlet dengan soal otot, saraf,
pelepasan energi, dan psikologi. Ternyata belum semua masalah
itu bisa ditanggulangi. Terutama karena, menurut dr. Abubakar
Saleh, pimpinan PIO, belum ada tenaga maupun laboratorium yang
lengkap seperti di luar negeri.
Alat kedokteran olahraga yang ada di Senayan itu baru
dimanfaatkan untuk meneliti penglepasan energi. Cabang
bulutangkis, balap sepeda, dan tinju sudah berkenalan dengan
alat itu. Prestasi ketiga cabang ini terhitung menonjol.
Penglepasan energi ini diukur dengan pesawat telemetri, semacam
pemancar radio mini.
Alat itu dipasang di dada atlet yan disuruh melakukan gerak.
Denyut jantungnya dipancarkan oleh alat tadi ke sebuah pesawat
penerima. Berdasarkan data di pesawat itu, dokter atau pelatih
dapat membaca kapasitas si atlet guna pedoman menaikkan dosis
latihan.
Dari cabang balap sepeda, PKO pernah meneliti seorang seperti
Sutyon tahun 1977. Pembalap ini paling baik fisiknya
dibandingkan rekannya yang lain. "Kalau teman-temannya sudah
mempergunakan 80% kapasitas denyut jantungnya untuk suatu
kecepatan tertentu, Sutyono belum apa-apa, ujar dr. Haryo.
Cabang bulutangkis, dengan telemetri, menemukan Lius Pongoh
berfisik yang tangguh. "Walau ia sudah mengejar bola ke seluruh
lapangan, melakukan smash, atau rally panjang, denyut
jantungnya masih belum mendekati kapasitas penuh," demikian dr.
Haryo.
Metode ilmiah dari PKO itu belum sepenuhnya diterima pelatih
maupun atlet. "Kami sering dimusuhi," kata Ir. Haryo. Ia
disangka ingin ikut campur mengatur latihan cabang yang
bersangkutan. Sedang para atlet merasa cemas akan tak lulus bila
diuji fisiknya di PKO. Juga belum banyak cabang yang memakai
jasa psikolog olahraga dalam mendampingi atlet. Ahlinya sendiri
pun masih sedikit.
Tim bulutangkis putri menjelang turnamen Piala Uber 1975 di
Jakarta, pernah meminta bantuan Dr. Saparinah Sadli, kini Dekan
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tim berhasil. Apa yang
dilakukannya? Ny. Sadli menolak untuk membeberkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini