Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Lain Kiel, IAIN Jakarta

Penelitian olah raga belum diterima secara baik oleh para pelatih dan atlit. di senayan orang masih memanfaatkan pko (pusat kedokteran olah raga).

26 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Kiel, Jerman Timur, para ahli mempersiapkan Kornelia Ender sewaktu masih berusia 8 tahun supaya kelak meratui kolam renang. Bentuk otot maupun metabolisme tubuhnya dipelajari di laboratorium untuk menentukan program latihan yang bakal dijalaninya. Ternyata tak sia-sia. Di Olympiade 1976 ia menyabet rekor dunia dalam usia 17 tahun. Di Indonesia, bidang kedokteran olahraga belum mendapat perhatian mendalam. Misalnya, Ketua KONI Jakarta, Erwin Baharuddin, mengatakan para pelatih umumnya masih beranggapan kita tetap bisa berprestasi tanpa penelitian ilmiah. Pusat Kedokteran Olahraga sudah ada di stadion utama Senayan, Jakarta, sejak tahun 1965, tapi kurang dimanfaatkan untuk pembinaan. "Padahal prestasi puncak tak mungkin dicapai, kalau kekurangan atlet tak diketahui," komentar dr. Haryo Tilarso, Sekjen PKO. Pusat Ilmiah Olahraga (PIO), juga di Senayan, sudah menemukan hubungan antara prestasi atlet dengan soal otot, saraf, pelepasan energi, dan psikologi. Ternyata belum semua masalah itu bisa ditanggulangi. Terutama karena, menurut dr. Abubakar Saleh, pimpinan PIO, belum ada tenaga maupun laboratorium yang lengkap seperti di luar negeri. Alat kedokteran olahraga yang ada di Senayan itu baru dimanfaatkan untuk meneliti penglepasan energi. Cabang bulutangkis, balap sepeda, dan tinju sudah berkenalan dengan alat itu. Prestasi ketiga cabang ini terhitung menonjol. Penglepasan energi ini diukur dengan pesawat telemetri, semacam pemancar radio mini. Alat itu dipasang di dada atlet yan disuruh melakukan gerak. Denyut jantungnya dipancarkan oleh alat tadi ke sebuah pesawat penerima. Berdasarkan data di pesawat itu, dokter atau pelatih dapat membaca kapasitas si atlet guna pedoman menaikkan dosis latihan. Dari cabang balap sepeda, PKO pernah meneliti seorang seperti Sutyon tahun 1977. Pembalap ini paling baik fisiknya dibandingkan rekannya yang lain. "Kalau teman-temannya sudah mempergunakan 80% kapasitas denyut jantungnya untuk suatu kecepatan tertentu, Sutyono belum apa-apa, ujar dr. Haryo. Cabang bulutangkis, dengan telemetri, menemukan Lius Pongoh berfisik yang tangguh. "Walau ia sudah mengejar bola ke seluruh lapangan, melakukan smash, atau rally panjang, denyut jantungnya masih belum mendekati kapasitas penuh," demikian dr. Haryo. Metode ilmiah dari PKO itu belum sepenuhnya diterima pelatih maupun atlet. "Kami sering dimusuhi," kata Ir. Haryo. Ia disangka ingin ikut campur mengatur latihan cabang yang bersangkutan. Sedang para atlet merasa cemas akan tak lulus bila diuji fisiknya di PKO. Juga belum banyak cabang yang memakai jasa psikolog olahraga dalam mendampingi atlet. Ahlinya sendiri pun masih sedikit. Tim bulutangkis putri menjelang turnamen Piala Uber 1975 di Jakarta, pernah meminta bantuan Dr. Saparinah Sadli, kini Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tim berhasil. Apa yang dilakukannya? Ny. Sadli menolak untuk membeberkannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus