AGAMA, ETOS KERJA DAN PERKEMBANGAN EKONOMI
Editor : Taufik Abdullah
Penerbit: LP3ES, Yayasan Obor dan LEKNAS-LIPI.
Cetakan: Pertama, 1979.
SALAH satu pertanyaan dasar bagi ilmu-ilmu sosial, ialah apa
yang menggerakkan orang untuk berbuat sesuatu. Begitulah
pengantar Taufik Ablullah dalam buku ini.
Bila Karl Marx berusaha menerangkannya dengan mengembangkan
suatu teori yang total mengenai masyarakat, maka Max Weber
(1864-1920) mendekati masalah ini dengan melihat hubungan
doktrin agama dengan perilaku ekonomi. Tesis Weber ini
dikemukakannya dalam bukunya yang paling terkenal, The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
Dan Taufik bertolak dari pertanyaan, seberapa jauhkah tesis
Weber ini berlaku dalam konteks Islam.
Dalam bab pertama Taufik menguraikan etik kerja (atau etik
Protestan) yang muncul terutama dari sekte Calvinisme dan
hubungannya dengan 'semangat kapitalisme'. Weber sendiri
bertolak dari asumsi dasar bahwa rasionalitas adalah unsur pokok
yang muncul dari kebudayaan Barat, yang mempunyai nilai dan
pengaruh universal. Inilah akar utama kapitalisme yang
mewujudkan diri dalam perilaku ekonomi rasional dan ditunjang
oleh sistem hukum dan administrasi yang rasional pula.
Modernisme Islam
Weber -- pernah menjabat guru besar hukum, politik ekonomi, ilmu
politik yang kemudian juga aktif dalam politik -- menemukan
suatu hubungan erat antara ide, doktrin agama dan dorongan
keharusan material. Doktrin Protestan, terutama Calvinisme
dilihatnya sebagai pasangan dari semangat kapitalisme ini,
karena doktrin agamanya mengajarkan, "hanya kerja keraslah yang
dapat menghilangkan keraguan religius dan memberi kepastian akan
rahmat". Sikap hidup duniawi yang diinginkan oleh agama ini
adalah suatu 'askese duniawi' (innerweltliche Askese,
innerworldly ascetism), yaitu intensifikasi pengabdian agama
yang dijalankan dalam kegairahan kerja. Sifat-sifat seperti
ketekunan, hemat, berperhitungan, rasional dan sanggup menahan
diri adalah bagian dari baik etik Protestan maupun semangat
kapitalisme.
Weber sendiri tak pernah mengatakan adanya hubungan kausatif
antara doktrin agama dan perilaku ekonomi -- ia hanya mencari
hubungan-hubungan yang mungkin ada antara kedua fenomena ini.
Pendekatannya pun bertolak dari kecenderungan metodologis yang
disebut Verstehen, yaitu usaha untuk mempelajari gejala sosial
bertolak dari motivasi si pelaku. Dengan perkataan lain,
berusaha mengerti makna subjektif dari suatu tindakan.
Berbagai kritik dilontarkan terhadap Weber, baik terhadap
tesisnya itu sendiri maupun terhadap metode verstehen-nya yang
sering disangsikan validitas ilmiahnya. Isu ini pulalah yang
diambil Taufik Abdullah, terutama terhadap pembahasan Weber
tentang Islam.
Penggambaran Weber tentang Islam kadang kontradiktif: di satu
pihak dikatakannya Islam terlalu mengandalkan pada takdir
sehingga mengundang sikap hidup yang fatalistis, namun ia juga
mengatakan bahwa Islam bukanlah agama "keselamatan" tetapi
agama yang mengejar 'prestise sosial', yang menurutnya terlihat
jelas dari perang suci Islam. Struktur sosial Islam yang
patrimonial dan feodalistis hanya merupakan kelanjutan yang
'logis' saja dari kecenderungan di atas, katanya.
Karakterisasi yang paling keras dan yang paling tak dapat
diterima Taufik ialah yang mengatakan bahwa Islam itu
'anti-akal' dan 'sangat menentang ilmu pengetahuan'. Tidak
adanya dasar sikap hidup yang rasionalistis inilah terutama
menghambat kemajuan Islam dalam bidang ekonomi. Padahal sejak
pertengahan abad ke-19 gerakan modernisme Islam berdasar pada
akal yang memang bersumber pada Quran. "Bagi kelas-kelas di Asia
yang tidak intelektual, tidak ada jalan dari rasa keagamaan yang
gaib menuju ke arah pengawasan jiwa yang rasional dan metodis"
(Weber dalam Abdullah, 1979:88). Sebenarnya hal ini tidak hanya
berlaku di Asia. Di Barat pun bagi 'kelas-kelas yang tidak
intelektual' ini (kelas-kelas tingkat sosial bawah), banyak
jalan tertutup bagi mereka: ya pada kekuasaan politis, ekonomi,
pengetahuan, informasi, selain kedua hal yang disebut Weber itu.
Tulisan Weber mengenai etika Protestan dan Islam ditampilkan
secara aslinya dalam buku ini (Weber, Sekte-sekte Protestan dan
Semangat Kapitalisme dan sikap Agama-agama Dunia Lain terhadap
Orde Sosial dan Ekonomi).
Cuci Tangan
Memang sering tampak kedangkalan pengamatan Weber terhadap
Islam, walaupun sekali-sekali mengena. Ia mengatakan Islam
berubah dari bentuk aslinya (yaitu agama monoteistis yang kun
menjadi suatu agama perjuangan nasional Arab, yang kemudian
menjelma menjadi agama yang memiliki ciri-ciri kelas yang sangat
kuat. Ibadat-ibadat Islam dianggapnya hanya berbentuk ritual
saja dan kewajiban beribadat dan etisnya pun sangat sederhana.
Kekurangan Weberr bukan saja terbatas pada kurangnya pengetahuan
tentang sejarah perkembangan Islam, tetapi juga dasar konseptual
dan sikap ilmiah yang tidak tepat. Metodologi Verstehennya tak
dipergunakan untuk memahami pergerakan Islam -- pendekatannya
terbatas pada pengamatan fenomena empiris dari prajurit Islam
dan pengamatan superfisial dari 'mekanisasi' Islam tanpa
berusaha mengerti makna dari tindakan pelaku Islam.
Strategi Taufik Abdullah dalam menyuguhkan permasalahan yang
ingin dibahasnya cukup unik. Ia mulai dengan satu bab introduksi
yang memberikan dasar epistimologis pendekatan Weber dan membuka
isu permasalahannya. Lantas disusul tulisan asli Weber beserta
tanggapan-tanggapan atas tesis Weber, terutama dalam kaitannya
dengan Islam (dari W.F. Wertheim, Bryan S. Turner, Hussain
Alatas), dan beberapa studi kasus yang bersifat
historis/sosiologis/ antropologis (dari Clifford Geertz dan
James T. Siegel). Pembaca sepertinya diminta menilai dan
'menyimpulkan' sendiri validitas tesis Weber dan kaitannya
dengan Islam.
Apakah dengan cara demikian ia mencuci tangan dari tugas
membahas dan membuat analisa yang mendalam tentang topiknya itu?
Namun penyuguhan dilakukan dengan baik: introduksi yang "membuka
tabir", memberikan latar belakang historis dan teoritis,
sekaligus menyampaikan inti-inti permasalahan dengan singkat,
dan terjemahan teks yang enak dibaca.
Julia Suryakusuma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini