Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Etika weber dalam bandingan

Jakarta: lp3es, yayasan obor dan leknas-lipi, 1979 resensi oleh: yulia suryakusuma. (bk)

26 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGAMA, ETOS KERJA DAN PERKEMBANGAN EKONOMI Editor : Taufik Abdullah Penerbit: LP3ES, Yayasan Obor dan LEKNAS-LIPI. Cetakan: Pertama, 1979. SALAH satu pertanyaan dasar bagi ilmu-ilmu sosial, ialah apa yang menggerakkan orang untuk berbuat sesuatu. Begitulah pengantar Taufik Ablullah dalam buku ini. Bila Karl Marx berusaha menerangkannya dengan mengembangkan suatu teori yang total mengenai masyarakat, maka Max Weber (1864-1920) mendekati masalah ini dengan melihat hubungan doktrin agama dengan perilaku ekonomi. Tesis Weber ini dikemukakannya dalam bukunya yang paling terkenal, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dan Taufik bertolak dari pertanyaan, seberapa jauhkah tesis Weber ini berlaku dalam konteks Islam. Dalam bab pertama Taufik menguraikan etik kerja (atau etik Protestan) yang muncul terutama dari sekte Calvinisme dan hubungannya dengan 'semangat kapitalisme'. Weber sendiri bertolak dari asumsi dasar bahwa rasionalitas adalah unsur pokok yang muncul dari kebudayaan Barat, yang mempunyai nilai dan pengaruh universal. Inilah akar utama kapitalisme yang mewujudkan diri dalam perilaku ekonomi rasional dan ditunjang oleh sistem hukum dan administrasi yang rasional pula. Modernisme Islam Weber -- pernah menjabat guru besar hukum, politik ekonomi, ilmu politik yang kemudian juga aktif dalam politik -- menemukan suatu hubungan erat antara ide, doktrin agama dan dorongan keharusan material. Doktrin Protestan, terutama Calvinisme dilihatnya sebagai pasangan dari semangat kapitalisme ini, karena doktrin agamanya mengajarkan, "hanya kerja keraslah yang dapat menghilangkan keraguan religius dan memberi kepastian akan rahmat". Sikap hidup duniawi yang diinginkan oleh agama ini adalah suatu 'askese duniawi' (innerweltliche Askese, innerworldly ascetism), yaitu intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja. Sifat-sifat seperti ketekunan, hemat, berperhitungan, rasional dan sanggup menahan diri adalah bagian dari baik etik Protestan maupun semangat kapitalisme. Weber sendiri tak pernah mengatakan adanya hubungan kausatif antara doktrin agama dan perilaku ekonomi -- ia hanya mencari hubungan-hubungan yang mungkin ada antara kedua fenomena ini. Pendekatannya pun bertolak dari kecenderungan metodologis yang disebut Verstehen, yaitu usaha untuk mempelajari gejala sosial bertolak dari motivasi si pelaku. Dengan perkataan lain, berusaha mengerti makna subjektif dari suatu tindakan. Berbagai kritik dilontarkan terhadap Weber, baik terhadap tesisnya itu sendiri maupun terhadap metode verstehen-nya yang sering disangsikan validitas ilmiahnya. Isu ini pulalah yang diambil Taufik Abdullah, terutama terhadap pembahasan Weber tentang Islam. Penggambaran Weber tentang Islam kadang kontradiktif: di satu pihak dikatakannya Islam terlalu mengandalkan pada takdir sehingga mengundang sikap hidup yang fatalistis, namun ia juga mengatakan bahwa Islam bukanlah agama "keselamatan" tetapi agama yang mengejar 'prestise sosial', yang menurutnya terlihat jelas dari perang suci Islam. Struktur sosial Islam yang patrimonial dan feodalistis hanya merupakan kelanjutan yang 'logis' saja dari kecenderungan di atas, katanya. Karakterisasi yang paling keras dan yang paling tak dapat diterima Taufik ialah yang mengatakan bahwa Islam itu 'anti-akal' dan 'sangat menentang ilmu pengetahuan'. Tidak adanya dasar sikap hidup yang rasionalistis inilah terutama menghambat kemajuan Islam dalam bidang ekonomi. Padahal sejak pertengahan abad ke-19 gerakan modernisme Islam berdasar pada akal yang memang bersumber pada Quran. "Bagi kelas-kelas di Asia yang tidak intelektual, tidak ada jalan dari rasa keagamaan yang gaib menuju ke arah pengawasan jiwa yang rasional dan metodis" (Weber dalam Abdullah, 1979:88). Sebenarnya hal ini tidak hanya berlaku di Asia. Di Barat pun bagi 'kelas-kelas yang tidak intelektual' ini (kelas-kelas tingkat sosial bawah), banyak jalan tertutup bagi mereka: ya pada kekuasaan politis, ekonomi, pengetahuan, informasi, selain kedua hal yang disebut Weber itu. Tulisan Weber mengenai etika Protestan dan Islam ditampilkan secara aslinya dalam buku ini (Weber, Sekte-sekte Protestan dan Semangat Kapitalisme dan sikap Agama-agama Dunia Lain terhadap Orde Sosial dan Ekonomi). Cuci Tangan Memang sering tampak kedangkalan pengamatan Weber terhadap Islam, walaupun sekali-sekali mengena. Ia mengatakan Islam berubah dari bentuk aslinya (yaitu agama monoteistis yang kun menjadi suatu agama perjuangan nasional Arab, yang kemudian menjelma menjadi agama yang memiliki ciri-ciri kelas yang sangat kuat. Ibadat-ibadat Islam dianggapnya hanya berbentuk ritual saja dan kewajiban beribadat dan etisnya pun sangat sederhana. Kekurangan Weberr bukan saja terbatas pada kurangnya pengetahuan tentang sejarah perkembangan Islam, tetapi juga dasar konseptual dan sikap ilmiah yang tidak tepat. Metodologi Verstehennya tak dipergunakan untuk memahami pergerakan Islam -- pendekatannya terbatas pada pengamatan fenomena empiris dari prajurit Islam dan pengamatan superfisial dari 'mekanisasi' Islam tanpa berusaha mengerti makna dari tindakan pelaku Islam. Strategi Taufik Abdullah dalam menyuguhkan permasalahan yang ingin dibahasnya cukup unik. Ia mulai dengan satu bab introduksi yang memberikan dasar epistimologis pendekatan Weber dan membuka isu permasalahannya. Lantas disusul tulisan asli Weber beserta tanggapan-tanggapan atas tesis Weber, terutama dalam kaitannya dengan Islam (dari W.F. Wertheim, Bryan S. Turner, Hussain Alatas), dan beberapa studi kasus yang bersifat historis/sosiologis/ antropologis (dari Clifford Geertz dan James T. Siegel). Pembaca sepertinya diminta menilai dan 'menyimpulkan' sendiri validitas tesis Weber dan kaitannya dengan Islam. Apakah dengan cara demikian ia mencuci tangan dari tugas membahas dan membuat analisa yang mendalam tentang topiknya itu? Namun penyuguhan dilakukan dengan baik: introduksi yang "membuka tabir", memberikan latar belakang historis dan teoritis, sekaligus menyampaikan inti-inti permasalahan dengan singkat, dan terjemahan teks yang enak dibaca. Julia Suryakusuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus