BAYANGAN orang luar, kini apalagi dulu, tentang atlet wanita di
Aceh cenderung mencemooh. Mereka selalu digambarkan berlatih
atau bertanding dengan aurat tertutup. Kalau memakai celana
pendek, apalagi baju renang, mereka bisa jadi omongan orang
sekampung.
Benar begitu? "Orang di sini tidak lagi mendelik melihat paha
telanjang," jawab Sri, pelajar SMA Negeri I Banda Aceh. Dalam
beratletik, katanya lagi para olahragawati di Aceh sudah lama
memakai celana pendek tanpa mengundang protes masyarakat.
"Pakaian renang pun sudah dianggap biasa saja."
Sri, selama ini, berlatih renang di laut. Lantaran Banda Aceh
belum memiliki sarana untuk olahraga renang. Satu-satunya kolam
pemandian di Mata Ie -- 3 km di luar kota -- tidak pula memenuhi
syarat untuk mencetak atlet berprestasi. Sekitar 20 tahun silam
Pemerintah Daerah Aceh pernah memancangkan tiang pembangunan
buat sarana ini. Tapi gagal. "Rencananya tak seimbang dengan
penyediaan dananya," kenang Hanafiah, bekas panitia pembangunan
kolam renang Banda Aceh.
Gagalnya pembangunan kolam renang di Banda Aceh, waktu itu,
ternyata menyulitkan generasi muda. Seperti diungkapkan Kantor
Berita Antara pekan lalu, banyak pemuda asal sana kehilangan
kesempatan memasuki AKABRI, gara-gara jatuh dalam ujian renang.
Ketika Menteri P&K Daoed Joesoef pergi ke Banda Aceh tahun
silam, soal kolam renang termasuk topik pembicaraannya dengan
pemerintah dan masyarakat setempat. Dan batu pertama pembangunan
kolam renang itu, lokasinya di Jalan Kesehatan, diletakkan oleh
Daoed Joesoef dua minggu lalu. Gubernur Aceh, Prof. A. Majid
Ibrahim mengutarakan kerja ini diharapkan selesai sebelum Juni
1981. "Dana untuk itu sudah tersedia," kata Athailah U Lam,
penanggungjawab proyek itu.
Pembangunan kolam renang ini akan menelan biaya sebesar Rp 578
juta. Dipikul oleh Departemen P&K (Rp 100 juta), Pemda Aceh (Rp
65 juta) dan sisanya sumbangan PT Raja Garuda Mas, PT Overseas
Lumber Indonesia serta PT Baybend Woyla. "Kami merasa terpanggil
untuk menyumbang," kata Sukanto, Direktur PT Raja Garuda Mas.
"Kami lihat sarana ini yang paling perlu mendapat bantuan."
Infrastruktur
Ketiga perusahaan penyumbang itu yang bergerak di bidang
perkayuan di Aceh mengutarakan harapan agar kolam renang ini
dibangun menurut standar Internasional. KONI Pusat juga
menginginkan itu. Telah dikirim Ir. Purnomo Hadi, ahli
infrastruktur dari Pusat Ilmu Olahraga untuk memberikan saran
dan petunjuk ke sana. Karena selama ini banyak pembangunan
sarana olahraga di daerah yang tidak memenuhi persyaratan. Kolam
renang yang dibangun tahun 1972 di Karang Panjang, Arnbon,
misalnya. Panjangnya cuma 25 m -- separuh dari standar
Internasional.
Pembangunan sarana olahraga di Indonesia, baik dari segi
lingkungan maupun teknik pembuatannya, yang kurang memenuhi
persyaratan prestasi itu, tak kurang dikritik Komite Olympiade
Internasional (IOC). Sejak 1977 KONI Pusat mulai menyediakan
penasihat teknis di bidang infrastruktur secara cuma-cuma. Di
antara daerah yang telah memanfaatkan tenaga konsultan ini
adalah Lampung sewaktu mereka membangun kolam renang di Pahoman,
Tanjung Karang.
Bagi Walikota Banda Aceh, Jakfar Ahmad, pembangunan kolam renang
itu suatu rahmat. "Selama ini orang yang mau berenang terpaksa
harus ke Krueng (Sungai) Aceh," katanya. Di antara perenang top
Indonesia yang mengawali karir di Krueng Aceh ini adalah
Kristiono Sumono. Walikota itu tak mempersoalkan mode baju
renang yang dipakai asal sopan.
Suatu tanda menggembirakan ialah Ketua Majelis Ulama Aceh,
Abdullah Ujung Rimba, membacakan doa selamat pada upacara
peletakkan batu pertamanya. "Semoga kolam renang ini kelak tidak
menjadi tempat maksiat," demikian ulama itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini