NAMA Kardono sampai pekan lalu tampaknya masih unggul dalam
pemberitaan koran-koran sebagai calon kuat ketua umum PSSI
dibanding dengan calon lainnya, Probosutedjo. Beberapa hari
menjelang Kongres Luar Biasa PSSI, 10-11 November ini,
sedikitnya sudah enam komisariat daerah (komda) PSSI menyatakan
dukungannya kepada Kardono, sekretaris militer presiden itu.
Sementara itu, Pengusaha Probosutedjo, ketua klub Mercu Buana,
yang dicalonkan Syarnubi Said, ketua umum PSSI sekarang yang
mengundurkan diri sebelum habis masa Jabatannya itu, masih
belum memperoleh banyak dukungan.
Ramai-ramai soal calon ketua umum itu semakin panas ketika
Herlina Kasim melampiaskan kekesalannya kepada ketua Pengurus
Harlan PSSI, Suparjo Poncowmoto minggu lalu. Ketua klub Caprina
itu menuduh Suparjo mengirimkan sebuah telegram ke seluruh
daerah untuk mempengaruhi komda-komda memilih Kardono. Isi kawat
yang bertanggal 29 Oktober itu antara lain menyebutkan
satu-satunya calon ketua umum PSSI yang direstui pimpinan
nasional adalah Kardono.
"Ini berarti PSSI menggiring perserikatan untuk menentukan satu
pilihan. Telegram itu ibarat juru kendali yang diacungkan
kedada perserikatan yang tentunya ingin memilih sendiri calon
ketua PSSI," kata Herlina. Pengurus klub perserikatan dari
Jakarta Timur itu juga menganggap telegram itu malah akan
merusakkan nama baik Kardono. "Seakan-akan sekretaris militer
presiden itu tak berani bertarung di kongres, sehingga perlu
dikatrol. Hal itu bukan mengankat nama Kardono, tapi jelas
menjatuhkannya," ujar Herlina lagi.
Suara dengan nada yang sama juga datang dari Probosutedjo, yang
bersama Kardono sebenarnya merupakan dua calon terkuat untuk
jabatan tertinggi organisasi sepak bola itu. Probosutedjo
menganggap telegram yang dikirimkan ke 27 komda itu melanggar
prinsip demokrasi. "Telegram itu merupakan pemaksaan. Pancasila
mengajarkan untuk menauhi hal-hal yang bersifat mendikte. Bunyi
telegram itu 'kan dikte namanya, kata Probosutedjo kepada
wartawan, seusai peresmian lapangan tenis Monas, Sabtu pekan
lalu.
Tapi Suparjo sendiri kemudian menolak tudingan itu. Menurut
ketua harian PSSI itu,dalam GBHN yang baru saja disahkan MPR pun
ada disebut bahwa sebuah organisasi olah raga tidak dapat
melepaskan dirinya dari kebijaksanaan pemerintah. "Telegram itu
saya lakukan atas dasar ini, dan tidak mengurangi hak
perserikatan untuk memilih siapa pun. Pemilihan dilakukan atas
dasar bebas langsung, dan rahasia," kata Suparjo.
Namun, siapa pun yang terpilih dalam kongres nanti, yang jelas,
ketua baru itu perlu kerja keras. Sebab, membenahi organisasi
yang prestasinya sedang melorot itu bukan pekerjaan mudah.
Kedudukan juru kunci dalam turnamen Pra-Olimpiade yang diikuti
tim nasional saat ini benar-benar merupakan prestasi PSSI paling
buruk selama ini. Lebih jelek dari turnamen serupa tahun 1980.
Waktu itu PSSI lolos dari kedudukan nomor buncit hanya karena
berhasil mengalahkan Filipina, tim yang dianggap paling lemah di
Asia dengan 4-0. "Sekarang ini kita hancur sama sekali," kata
Bardosono, ketua umum PSSI periode 1974-1977, yang seperti
Syarnubi Said gagal menyelesaikan kepengurusannya sampai masa
jabatannya berakhir.
Tapi ketua yang gagal menyelesaikan kepengurusannya selama ini
bukan cuma Bardosono. Setelah itu tercatat Ali Sadikin dan
terakhir Syarnubi Said yang cuma sanggup menJalankan
kepengurusannya separuh dari waktu yang ditentukan. Tidak jelas
apakah kegagalan para ketua PSSI itu menyelesaikan masa
kepengurusannya ada hubungannya dengan semakin merosotnya
prestasi sepak bola Indonesia. Namun, Maladi sedikitnya menduga
ada kaitannya. "Kalau sebuah tim tidak cocok dengan pengurus,
bagaimana bisa berhasil," kata ketua PSSI 1950-1959 itu.
Lantas kenapa para ketua umum PSSI tak mampu menyelesaikan
periode kepengurusannya? "Mereka kehilangan kekompakannya di
tengah jalan," kata Maladi. Pendapat ini dibenarkan juga oleh
Kosasih Purwanegara, ketua PSSI 1967-1975. Perbedaan pendapat
dalam kepengurusan Syarnubi Said, yang resmi akan berakhir pekan
ini, misalnya, menurut Kosasih sering tampil di surat-surat
kabar. "Kepengurusan sekarang ini ibarat banyak jenderal sedikit
prajurit, sehingga semua dapat mengeluarkan pendapatnya," kata
Kosasih.
Kebijaksanaan dan keputusan pengurus sering berubah-ubah. Setiap
ada input darl luar, keluar keputusan tanpa pertimbangan yang
masak. "Begitu kompleksnya persoalannya sehingga lebih sulit
memimpin PSSI dibanding bila memimpin perusahaan," kata Kosasih
lagi, yang kini menjadi direktur PT Ferry Sonneville & Co kepada
Rudy Novrianto dari TEMPO.
Kasus yang sama terjadi pada kepengurusan sebelumnya di bawah
Ali Sadikin yang mundur sebelum waktunya karena alasan politis.
"Hanya waktu itu Bang Ali mempunyai wibawa tersendiri dalam
memimpin, sehingga perpecahan dalam tubuh pengurus tidak tampak
dari luar," kata Kosasih.
Namun, persoalan yang diingat Kosasih dengan jelas adalah ketika
dia menjadi penasihat dalam kepengurusan Bardosono. "Tindakannya
otoriter. Bahkan Bardosono sebagai ketua sering menganggap
dirinya pejabat tinggi, sehingga rapat sering diadakan di Bina
Graha," katanya. Dan dengan alasan itu dia dan beberapa pengurus
waktu itu ramairamai mengundurkan diri.
Dari kasus ketiga ketua PSSI itu, Kosasih berpendapat bahwa
sebaiknya dalam pemilihan ketua dalam kongres pekan ini dipilih
satu formatir dan bukan tiga seperti yang selama ini terjadi.
Penunjukan lebih dari satu formatir dari sei kolektivitas
memang baik, saling menyumbangkan pikiran. Tapi bisa juga
berakibat masing-masing ingin membawa orangnya sendiri-sendiri
dalam keanggotaan pengurus. "Maka akan terjadi praktek dagang
sapi lagi, sehingga pengurus tidak kompak," kata Kosasih.
Namun, kompak atau tidak pengurus PSSI yang akan datang sangat
tergantung kepada siapa yang akan terpilih. Dan siapa yang akan
terpilih, bagi Bardosono, misalnya, tergantung pula dari restu
atasan. "Adanya restu untuk Pak Kardono jelas akan menggeser Pak
Probo. Padahal, dilihat dari segi pengalaman mengelola sebuah
organisasi sepak bola, Pak Probo lebih baik selain dukungan dana
yang memadai," katanya. Tapi, siapa pun yang akan terpilih, bagi
bekas ketua yang kini jadi pengusaha anggrek itu, tidak jadi
persoalan. "Yang mana pun yang terpilih, saya tetap bangga,
mereka sama-sama sekampung kok, dari Godean, Yogyakarta,"
katanya tertawa.
Kardono sendiri sudah menyatakan menerima pencalonan itu. "Tugas
pokok saya adalah sekretaris militer presiden, tapi kalau lihat
di kanan kiri bisa cawe-cawe, mengapa tidak," katanya, Sabtu
pekan lalu kepada TEMPO. Apalagi, katanya, dia sudah diminta
duduk dalam jabatan ketua umum PSSI itu oleh Menpora Abdul
Gafur, Saleh Basarah yang mewakili KONI, dan Sigit Harjojudanto,
ketua Galatama PSSI. "Koordinator saya sendiri, Mensesneg
Sudharmono, sudah memberikan lampu hijau," kata Kardono. Tapi
itu tidak berarti jabatan ketua umum PSSI sudah di tangan.
"Meskipun saya terpilih, kalau tidak mendapat restu Presiden,
saya akan menolak," ujar Kardono lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini