Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Lampu hijau buat kardono

Pencalonan kardono sebagai ketua umum PSSI. surat telegram pengurus harian PSSI ke daerah agar memilih kardono sebagai ketua umum PSSI, dikritik. calon lainnya adalah probosutedjo.(or)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Kardono sampai pekan lalu tampaknya masih unggul dalam pemberitaan koran-koran sebagai calon kuat ketua umum PSSI dibanding dengan calon lainnya, Probosutedjo. Beberapa hari menjelang Kongres Luar Biasa PSSI, 10-11 November ini, sedikitnya sudah enam komisariat daerah (komda) PSSI menyatakan dukungannya kepada Kardono, sekretaris militer presiden itu. Sementara itu, Pengusaha Probosutedjo, ketua klub Mercu Buana, yang dicalonkan Syarnubi Said, ketua umum PSSI sekarang yang mengundurkan diri sebelum habis masa Jabatannya itu, masih belum memperoleh banyak dukungan. Ramai-ramai soal calon ketua umum itu semakin panas ketika Herlina Kasim melampiaskan kekesalannya kepada ketua Pengurus Harlan PSSI, Suparjo Poncowmoto minggu lalu. Ketua klub Caprina itu menuduh Suparjo mengirimkan sebuah telegram ke seluruh daerah untuk mempengaruhi komda-komda memilih Kardono. Isi kawat yang bertanggal 29 Oktober itu antara lain menyebutkan satu-satunya calon ketua umum PSSI yang direstui pimpinan nasional adalah Kardono. "Ini berarti PSSI menggiring perserikatan untuk menentukan satu pilihan. Telegram itu ibarat juru kendali yang diacungkan kedada perserikatan yang tentunya ingin memilih sendiri calon ketua PSSI," kata Herlina. Pengurus klub perserikatan dari Jakarta Timur itu juga menganggap telegram itu malah akan merusakkan nama baik Kardono. "Seakan-akan sekretaris militer presiden itu tak berani bertarung di kongres, sehingga perlu dikatrol. Hal itu bukan mengankat nama Kardono, tapi jelas menjatuhkannya," ujar Herlina lagi. Suara dengan nada yang sama juga datang dari Probosutedjo, yang bersama Kardono sebenarnya merupakan dua calon terkuat untuk jabatan tertinggi organisasi sepak bola itu. Probosutedjo menganggap telegram yang dikirimkan ke 27 komda itu melanggar prinsip demokrasi. "Telegram itu merupakan pemaksaan. Pancasila mengajarkan untuk menauhi hal-hal yang bersifat mendikte. Bunyi telegram itu 'kan dikte namanya, kata Probosutedjo kepada wartawan, seusai peresmian lapangan tenis Monas, Sabtu pekan lalu. Tapi Suparjo sendiri kemudian menolak tudingan itu. Menurut ketua harian PSSI itu,dalam GBHN yang baru saja disahkan MPR pun ada disebut bahwa sebuah organisasi olah raga tidak dapat melepaskan dirinya dari kebijaksanaan pemerintah. "Telegram itu saya lakukan atas dasar ini, dan tidak mengurangi hak perserikatan untuk memilih siapa pun. Pemilihan dilakukan atas dasar bebas langsung, dan rahasia," kata Suparjo. Namun, siapa pun yang terpilih dalam kongres nanti, yang jelas, ketua baru itu perlu kerja keras. Sebab, membenahi organisasi yang prestasinya sedang melorot itu bukan pekerjaan mudah. Kedudukan juru kunci dalam turnamen Pra-Olimpiade yang diikuti tim nasional saat ini benar-benar merupakan prestasi PSSI paling buruk selama ini. Lebih jelek dari turnamen serupa tahun 1980. Waktu itu PSSI lolos dari kedudukan nomor buncit hanya karena berhasil mengalahkan Filipina, tim yang dianggap paling lemah di Asia dengan 4-0. "Sekarang ini kita hancur sama sekali," kata Bardosono, ketua umum PSSI periode 1974-1977, yang seperti Syarnubi Said gagal menyelesaikan kepengurusannya sampai masa jabatannya berakhir. Tapi ketua yang gagal menyelesaikan kepengurusannya selama ini bukan cuma Bardosono. Setelah itu tercatat Ali Sadikin dan terakhir Syarnubi Said yang cuma sanggup menJalankan kepengurusannya separuh dari waktu yang ditentukan. Tidak jelas apakah kegagalan para ketua PSSI itu menyelesaikan masa kepengurusannya ada hubungannya dengan semakin merosotnya prestasi sepak bola Indonesia. Namun, Maladi sedikitnya menduga ada kaitannya. "Kalau sebuah tim tidak cocok dengan pengurus, bagaimana bisa berhasil," kata ketua PSSI 1950-1959 itu. Lantas kenapa para ketua umum PSSI tak mampu menyelesaikan periode kepengurusannya? "Mereka kehilangan kekompakannya di tengah jalan," kata Maladi. Pendapat ini dibenarkan juga oleh Kosasih Purwanegara, ketua PSSI 1967-1975. Perbedaan pendapat dalam kepengurusan Syarnubi Said, yang resmi akan berakhir pekan ini, misalnya, menurut Kosasih sering tampil di surat-surat kabar. "Kepengurusan sekarang ini ibarat banyak jenderal sedikit prajurit, sehingga semua dapat mengeluarkan pendapatnya," kata Kosasih. Kebijaksanaan dan keputusan pengurus sering berubah-ubah. Setiap ada input darl luar, keluar keputusan tanpa pertimbangan yang masak. "Begitu kompleksnya persoalannya sehingga lebih sulit memimpin PSSI dibanding bila memimpin perusahaan," kata Kosasih lagi, yang kini menjadi direktur PT Ferry Sonneville & Co kepada Rudy Novrianto dari TEMPO. Kasus yang sama terjadi pada kepengurusan sebelumnya di bawah Ali Sadikin yang mundur sebelum waktunya karena alasan politis. "Hanya waktu itu Bang Ali mempunyai wibawa tersendiri dalam memimpin, sehingga perpecahan dalam tubuh pengurus tidak tampak dari luar," kata Kosasih. Namun, persoalan yang diingat Kosasih dengan jelas adalah ketika dia menjadi penasihat dalam kepengurusan Bardosono. "Tindakannya otoriter. Bahkan Bardosono sebagai ketua sering menganggap dirinya pejabat tinggi, sehingga rapat sering diadakan di Bina Graha," katanya. Dan dengan alasan itu dia dan beberapa pengurus waktu itu ramairamai mengundurkan diri. Dari kasus ketiga ketua PSSI itu, Kosasih berpendapat bahwa sebaiknya dalam pemilihan ketua dalam kongres pekan ini dipilih satu formatir dan bukan tiga seperti yang selama ini terjadi. Penunjukan lebih dari satu formatir dari sei kolektivitas memang baik, saling menyumbangkan pikiran. Tapi bisa juga berakibat masing-masing ingin membawa orangnya sendiri-sendiri dalam keanggotaan pengurus. "Maka akan terjadi praktek dagang sapi lagi, sehingga pengurus tidak kompak," kata Kosasih. Namun, kompak atau tidak pengurus PSSI yang akan datang sangat tergantung kepada siapa yang akan terpilih. Dan siapa yang akan terpilih, bagi Bardosono, misalnya, tergantung pula dari restu atasan. "Adanya restu untuk Pak Kardono jelas akan menggeser Pak Probo. Padahal, dilihat dari segi pengalaman mengelola sebuah organisasi sepak bola, Pak Probo lebih baik selain dukungan dana yang memadai," katanya. Tapi, siapa pun yang akan terpilih, bagi bekas ketua yang kini jadi pengusaha anggrek itu, tidak jadi persoalan. "Yang mana pun yang terpilih, saya tetap bangga, mereka sama-sama sekampung kok, dari Godean, Yogyakarta," katanya tertawa. Kardono sendiri sudah menyatakan menerima pencalonan itu. "Tugas pokok saya adalah sekretaris militer presiden, tapi kalau lihat di kanan kiri bisa cawe-cawe, mengapa tidak," katanya, Sabtu pekan lalu kepada TEMPO. Apalagi, katanya, dia sudah diminta duduk dalam jabatan ketua umum PSSI itu oleh Menpora Abdul Gafur, Saleh Basarah yang mewakili KONI, dan Sigit Harjojudanto, ketua Galatama PSSI. "Koordinator saya sendiri, Mensesneg Sudharmono, sudah memberikan lampu hijau," kata Kardono. Tapi itu tidak berarti jabatan ketua umum PSSI sudah di tangan. "Meskipun saya terpilih, kalau tidak mendapat restu Presiden, saya akan menolak," ujar Kardono lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus