RENCANA menjadikan kelapa sawit sebagai primadona ekspor
komoditi nonminyak bumi hangat lagi. Di Jakarta, pekan lalu,
beberapa pengusaha sempat gerah sesudah mendengar bahwa ketua
BKPM Suhartoyo mendadak membatalkan rencana pengembangan
komoditi itu lewat perkebunan besar swasta. Untuk kelapa sawit
itulah, antara lain, kata Suhartoyo tiga bulan lalu, pemerintah
mencadangkan lahan 500 ribu ha di Sumatera, Kalimantan, dan
Irian Jaya.
Menurut Suhartoyo, sedikitnya ada 13 kelompok pengusaha swasta
yang sudah menyatakan minatnya ketika itu. Apakah semua rencana
promosi itu benar dibatalkan?"Ah, saya tak pernah mengucapkan
perkataan dibatalkan," jawab ketua Badan Koordinasi Penanaman
Modal itu. Ditemui TEMPO, orang Nomor I di BKPM itu memastikan
tak ada perubahan mendasar dalam rencana pengembangan kelapa
sawit. "Saya hanya mengutarakan alternatif-alternatif guna
mematangkan konsep pelaksanaan rencana itu," tuturnya.
Dari beberapa alternatif yang dikemukakannya, Suhartoyo
menganggap layak jika dikembangkan pola Perkebunan Inti Rakyat
(PIR) untuk kepentingan itu. Pola yang meletakkan pengusaha
swasta sebagai inti kegiatan dan petani rakyat sebagai lapisan
pembantunya itu, katanya, suda diterapkan dipelbagai perkebunan
pemerintah di Sumatera. "Tapi pola seperti itu belum pernah
dilaksanakan swasta," katanya lagi. Dia, sayang, tak mau
mengutarakan secara persis bagaimana mekanisme PIR itu harus
dilaksanakan.
Tapi Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras
Hasjrul Harahap menjelaskan bahwa pola PIR yang akan
dikembangkan itu mewajibkan pihak swasta, pada tahap pertama,
sebagai pelaksana proyek selama empat tahun. Selain membuka
lahan, mereka juga diharuskan menanam, memupuk, dan memelihara
tanaman hingga menghasilkan. Setelah itu, pemerintah akan
membeli secara tunai 80% dari areal tadi untuk selanjutnya
dijual pada para petani secara kredit antara 10 dan 20 tahun.
Dalam pola PIR itu pemerintah bertanggung jawab membangun
fasilitas infrastruktur, sedangkan pembangunan pabriknya jadi
tanggung jawab swasta. Lahan 250 ribu ha, yang tersebar di Riau,
Jambi, Sumatera Selatan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur
pada tahap pertama ini sudah ditawarkan. Kendati untuk
mengembangkan lahan setiap 10 ribu ha dan membangun sebuah
pabrik pengolahan kelapa sawit butuh dana sedikitnya Rp 40
milyar, kata Menteri Hasjru, sudah ada 20 perusahaan swasta
yang menyatakan minat menggarapnya.
Dengan kemajuan teknologi, hasil kelapa sawit yang kini baru
empat ton, kata Menteri Hasjrul, bisa ditingkatkan jadi delapan
ton setiap ha. Iklimnya pun sangat membantu. Tapi kemudahan dan
keadaan alam itu saja belum cukup buat pengusaha. "Kami perlu
keDastian dan kestabilan harga dalam menjalankan usaha itu,"
kata Oestara Wiradinata, ketua Kompartemen Perkebunan dan
Pertanian Kadin. Maksudnya, dia meminta agar pemerintah aktif
pula mengawasi setiap perubahan harga kelapa sawit di pasar
lokal dan luar negeri.
Pemerintah tentu paham bagaimana mengatur harga "agar tidak
jatuh di saat produksi melimpah, tapi tidak membubung tinggi
jika produksi sedang susut," katanya.
Dalam kaitan itu Oestara meminta agar pemerintah menjalankan
fungsinya sebagai badan penyangga harga, yang akan membeli
kelapa sawlt ari petani di saat panen raya dan melepasnya
kembali ketika masa panenan lewat. Dengan berusaha mengendalikan
harga itulah, katanya, investasi besar di situ sedikitnya bakal
terjamin "tidak akan sia-sia."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini