Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Saatnya tiba menggebrak pajak

Tiga RUU mengenai perpajakan diserahkan kepada DPR dalam RUU tersebut fasilitas pajak bagi PMA dan PMDN di tiadakan, juga meniadakan pembebasan pajak atas deposito, tabanas, taska.(eb)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK kritik dikemukakan Menteri Keuangan Radius Prawiro ketika ia pekan lalu menyerahkan tiga naskah Rancangan Undang-undang (RUU) mengenai perpajakan kepada DPR. Kata Menteri, sistem perpajakan yang kini berlaku ternyata "sangat rumit dan sukar dipahami, baik oleh pemungut maupun pembayar pajak." Bahkan tingginya tarif Pajak Pendapatan (PPd) perorangan, antara 10% dan 50%, malah menimbulkan rangsangan besar untuk menghindarinya. Buktinya, 90% penerimaan PPd yang punya 10 lapisan itu, kata Menteri, justru datang dari gaji karyawan yang dipotong oleh perusahaannya. Bertolak dari kenyataan itu, pemerintah akhirnya berusaha menyederhanakan tarif dan lapisan kena pajak. Dalam pengaturan mengenai pajak perorangan dan badan usaha yang dituangkan dalam satu naskah, yakni RUU Pajak Penhasilan 1984, pendapatan kena pajak hanya terdiri dari tiga lapisan dengan tarif 15%, 25%, dan 35%. Sedang yang sekarang ada terdiri dari 58 tarif: PPd perorangan dengan tarif 10%-50% punya 10 lapisan, dan Pajak Perseroan (PPs) dengan tarif 20%-45% punya 48 lapisan. "Walaupun sistem sekarang cukup progresif, dalam pelaksanaan dirasakan tidak memenuhi sasarannya," ujar Menteri Radius. PPs yang dapat dipungut pada tahun anggaran lalu memang hanya Rp 674,5 milyar dari sasaran Rp 822,5 milyar. Karena itu, perbaikan diperlukan, apalagi mengingat kenaikan penerimaan dalam negeri di luar pajak minyak tampak pelan, jika dibandingkan pajak minyak (lihat grafik). Seperti diketahui, peranan pajak nonminyak ini hanya mencapai 6% dari produk domestik bruto yang Rp 61,7 milyar tahun lalu - padahal peranannya dua tahun lalu masih 9%. Dalam RUU mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang-barang Mewah, penyederhanaan tarif dan struktur pemungutan pajak juga tampak dilakukan. Untuk obyek pajak barang umum, rancangan itu hanya mengenal dua tarif - 0% dan 10%. Ketentuan tarif baru itu dianggap cukup maju jika dibandingkan dengan peraturan sekarang yang mengenal delapan tarif atas perdagangan dalam negeri, dan enam tarif atas usaha impor. Tarif yang sederhana ini, kata Menteri Radius, akan gampang dilaksanakan karena mudah diDahami, baik oleh pemungut maupun pembayar pajak. Jadi, kalau misalnya harga suatu barang eks pabrik Rp 1.000, dan sesudah melalui pedagang besar, lalu pengecer, dan akhirnya sampai ke konsumen menjadi Rp 1.500, maka jumlah pajak yang masuk ke barang itu hanya Rp 100. Atau 10% dari harga jual eks pabrik. Jadi, Jumla pajak yan ditanggung konsumen hanya Rp 100 atas harga akhir eks pengecer Rp 1.500. Karena pembayaran pajak secara kredit diperbolehkan dalam sistem baru itu, maka pungutan berganda diharapkan pula akan lenyap. Jadi, suatu perusahaan pengolahan yang sebelumnya dipungut pajak atas bahan baku yang dibelinya kelak bisa memotongkan jumlah pajak yang dibayarnya itu jika menjual hasil produksinya. Dengan kata lain, pungutan pajak tidak akan dikenakan lagi pada setiap perpindahan barang seperti terjadi kini, yang hanya memberatkan konsumen. Diharapkan pula, kata Menteri Radius, perusahaan-perusahaan tidak akan terdorong lagi melakukan integrasi vertikal demi menghindari pajak berganda. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya, kini pemerintah kelihatan berusaha memperlakukan barang mewah secara khusus, dengan memberlakukan tarif pajak penjualan 10% dan 20%. Jika diperlukan, tarif ini bisa diubah jadi serendah-rendahnya 5%, dan setinggi-tingginya 30%. Pajak penjualan sebesar itu dikenakan sebagai tambahan atas Pajak Pertambahan Nilai Barang, dan bukan sebagai pengganti dari pajak itu. Karena itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dipungut secara bersama dengan Paii jak Pertambahan Nilai. Sasaran pembebanan pajak yang tinggi itu, menuj rut penjelasan RUU itu, ditujukan "untuk mengurangi pola konsumsi mewah." Adapun barang-barang yang dikelompokkan mewah itu, antara lain alat olah raga, misalnya golf, kendaraan bermotor, kamera, kapal pesiar, organ, dan kelompok barang yang membahayakan lingkungan hidup, seperti senapan angin. Banyak pihak tentu akan tidak setuju dengan pengelompokan ini. Misalnya truk dan kendaraan maga lainnya, juga motor, tak blsa dibilang "mewah" zaman sekarang. Untuk mencegah perbedaan penafsiran mengenai mewah tidaknya suatu barang, pemerintah akan mengeluarkan suatu peraturan dalam penggolongan itu. Tapi, jika barang mewah dan barang umum tadi diekspor, semua pajak yang membebaninya bisa diminta kembali atau, dengan kata lain, semua barang ekspor hakikatnya dibebaskan dari pajak. Dengan beleid semacam itu - di dalam harga barang ekspor tidak termasuk beban pajak - diharapkan oleh pemerintah "barang ekspor bisa lebih bersaing di pasaran internasional." Belum jelas benar apakah beleid itu kelak akan menghapuskan pelbagai pungutan di daerah atas pelbagai komoditi dan barang ekspor. Yang sudah pasti, menurut rancangan itu, pengusaha kecil yang menghasilkan dan menjual barang atau memberikan jasa langsung kepada pemakai dibebaskan dari pajak. Toh ada juga sejumlah kalangan yang meragukan aparat pemerintah akan mampu menangani pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah itu. Sebuah organisasi besar yang rumit dengan pengawasan ketat, kata sumber itu, jelas diperlukan untuk, misalnya, melaksanakan pengembalian beban pajak atas barang yang diekspor. Tapi, untuk itu, "aparat pajak belum siap bahkan rencana pendidikandan usaha komputerisasi hingga kini belum dilakukan," katanya. Kalangan ini juga mengkritik rencana pemerintah, seperti tertuang dalam RUU Pajak Penghasilan, yang meniadakan sama sekali fasilitas pajak untuk PMA dan PMDN. Pencabutan fasilitas pajak itu, kata mereka, justru hanya akan menyebabkan Indonesia bukan lagi jadi tempat menarik. Benarkah? Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Suhartoyo justru melihat rancangan ItU, yang mengenakan tarif maksimum 35%, masih menguntungkan pengusaha. Ambil contoh sebuah PMA, yang dikenai tarif maksimum 45% dan masa bebas pajak enam tahun, selama 30 tahun berusaha praktis harus membayar pajak 1.080%. Tapi, dengan ketentuan baru, yang tarif maksimumnya 35%, pengusaha selama 30 tahun hanya bayar pajak 1.050%. Keringanan sebesar 30% itu, menurut Suhartoyo, "masih tetap merupakan rangsangan." Tapi keharusan membayar pajak mulai tahun pertama produksi itu, menurut dia, jelas akan banyak- "mengganggu perputaran arus uang." Maklum, jika sebelumnya mereka bisa memanfaatkan laba perusahaan untuk modal kerja, maka kelak laba itu akan banyak habis dimakan pajak. Tapi pengenaan pajak itu tentu tidak dilakukan terhadap perusahaan, yang biasanya pada tahun pertama dan kedua merugi. Kendati tarif dalam RUU Pajak Penghasilan lebih rendah, obyek yang kena pajak kelak semakin bertambah lebar. Penghasilan dari modal berupa harta bergerak, seperti bunga, dividen, royalti, dan penghasilan dari modal berupa harta tak bergerak, seperti rumah, kelak juga kena pajak. Dengan kata lain, pembebasan pajak untuk deposito berjangka, sampai pun tabanas,dan taska, serta keringanan pajak bagi perusahaan yang memasyarakat, ditiadakan sama sekali. Mungkin saja ketentuan dalam RUU Pajak Penghasilan itu kelak akan membuat orang lebih senang menyimpan uang di bawah bantal, misalnya denan cara membeli emas. Bagi Sutadi Sukarya, ketua Badan Pelaksana Pasar Modal, peniadaan keringanan pajak untuk perusahaan yang go public, "bukan satu-satunya yang mempengaruhi pasar modal. Menurut dia, bukan tak mungkin ada perusahaan yang tertarik menjual saham karena diizinkan melakukan perluasan usaha. Apapun akibatnya kelak, kata Sutadi, "yang lebih sehat memang jika pengecualian dari ketentuan pokok, seperti pembebasan dan keringanan pajak, dihilangkan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus