Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

olahraga

Lari dari Belenggu Kemiskinan

Faktor genetika dan nutrisi membuat atlet Jamaika mendominasi lari cepat. Keinginan menjadi warga terhormat turut memberi andil.

12 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN turun deras sekali di Kingston, ibu kota Jamaika, Ahad dua pekan lalu. Angin pun berembus lebih kencang daripada biasanya. Tapi ratusan orang yang berkerumun di depan layar lebar di sebuah sudut kota tetap bergeming. Sore itu mereka ingin menjadi saksi kehebatan sang idola, Usain Bolt, pada laga final lari 100 meter putra di Olimpiade XXX London 2012.

Kian lama kerumunan semakin besar. Pengendara mobil dan sepeda motor yang kebetulan lewat menghentikan kendaraan seenak udel mereka, karena tak ingin ketinggalan momen bersejarah itu. Seorang polisi yang ingin menertibkan dibikin tak berdaya oleh debat pengendara motor. ”Kalau mau tilang, silakan saja. Tapi saya tetap akan ikut menonton perlombaan di layar itu,” kata si pengendara motor.

Sejurus kemudian keriuhan mereda. Semua mata berkonsentrasi ke layar karena perlombaan telah dimulai. Tapi keheningan itu tak bertahan lama. Kurang dari 10 detik, suasana tiba-tiba meledak. Bolt mencapai finis terdepan dengan catatan waktu 9,63 detik.

Tak ayal, kegaduhan pun tercipta. Panci dan wajan dipukul-pukul. Trompet ditiup-tiup. Dan bendera Jamaika dikibar-kibarkan. Semua warga bersukacita. ”Bolt adalah ’The Real McCoy’!” teriak Alex Banbury, salah seorang penonton. McCoy adalah karakter di film Star Trek yang berperawakan tenang tapi selalu berhasil menyelesaikan masalah.

Sudah tentu, untuk prestasinya ini, Bolt diganjar medali emas. Dengan medali itu, dia sekaligus sukses mempertahankan gelar yang diraih di Olimpiade Beijing empat tahun silam. Yang lebih istimewa, dalam pertandingan kali ini medali perak disabet orang Jamaika lainnya, Yohan Blake.

Jamaika benar-benar tak tertandingi. Dan itu belum cukup. Di bagian putri, pelari Jamaika, Shelley-Ann Fraser-Pryce, juga menyabet medali emas di nomor lari 100 meter. Veronica Campbell-Brown, rekan senegaranya, menyumbangkan perunggu. Seperti Bolt, Fraser-Pryce mempertahankan dominasinya di lintasan jarak pendek itu dalam dua Olimpiade berturut-turut.

Apakah yang dimakan orang-orang dari negeri kecil di Kepulauan Karibia itu sehingga menjadi jagoan di lintasan pendek? Bolt, Blake, Fraser-Pryce, dan Campbell-Brown adalah generasi terbaru. Sebelum mereka, Jamaika memiliki sprinter tangguh Asafa Powell. Pria ini memegang rekor dunia lari 100 meter, sebelum dipecahkan Bolt dengan waktu 9,58 detik.

Sebelumnya, negeri miskin dengan pendapatan per kapita US$ 4.750 ini sudah melahirkan atlet besar lain, misalnya Arthur Wint, Merlene Ottey, dan Herb Mackinley.

Jadi, apakah rahasia negeri berpenduduk sekitar 3 juta jiwa itu hingga mampu mencetak atlet-atlet hebat? Hal ini pulalah yang mengganggu pikiran para terapis fisik, antropologis, ahli nutrisi, dan pakar genetika. Riset pun mereka gelar.

Pada 2010, jurnal Jamaica Gleaner menurunkan artikel hasil riset gabungan University of Glasgow dan University of the West Indies. Mereka meneliti 200 olahragawan Jamaika. Serangkaian tes menunjukkan dalam tubuh para atlet itu terdapat zat protein Actinen (ACTN3). Zat ini mendekam pada serat otot kejut yang mudah berkontraksi dan memungkinkan orang berlari kencang.

Profesor Rachel Irving dari University of the West Indies dalam penelitiannya juga menemukan apa yang ia sebut ”gen cepat” bernama serotonin. Menurut dia, jumlah serotonin dalam tubuh orang Jamaika cukup banyak. ”Serotonin membuat mental menjadi tangguh. Jika kadarnya tinggi, Anda akan lebih berfokus, agresif, dan memiliki keyakinan tinggi,” kata Irving.

Selain itu, ada yang disebut dengan cock bottom. Ini adalah bentuk tulang belakang dan pangkal paha yang memiliki sudut tertentu dengan tulang pinggul sehingga otot bagian depan memungkinkan lutut terangkat lebih tinggi ketika punggung dalam posisi tegak lurus.

Banyak yang percaya susunan tulang tersebut berkontribusi besar terhadap tambahan tenaga para pelari cepat Jamaika. Itu terjadi ketika kaki sedikit diturunkan saat menjejak tanah. Protein Actinen dan cock bottom adalah sifat genetik bawaan para atlet Jamaika, yang pada atlet negara lain kadar Actinen sangat rendah.

Selain genetika, ada faktor nutrisi yang diduga membuat orang Jamaika mampu berlari kencang. Hal ini ditemukan Profesor Errol Morrison, Rektor University of Technology, Jamaika. Menurut dia, rahasianya ada pada tanaman ubi rambat dan pisang berwarna hijau. Ini makanan yang jadi kegemaran penduduk Jamaika.

Ubi rambat diyakini mengandung zat hypo steroids, yang berfungsi seperti zat perangsang. Adapun pisang hijau memproduksi phytate, yang bertindak sebagai penambah tenaga. ”Tapi, ingat, ini hanya sebuah hipotesis,” ujar Morrison mewanti-wanti. Tentunya hipotesis itu berdasarkan beberapa kali penelitian biokimia dan anatomi. ”Secara mendasar, saya menyimpulkan kekuatan mereka adalah kombinasi dari genetika, nutrisi, dan latihan.”

Ada lagi faktor lain, yakni sifat keras dan kasar orang Jamaika. Seorang pemikir Jamaika, Martin Henry, membandingkannya dalam dunia binatang. Dia mengatakan hewan yang mampu berlari cepat adalah yang memiliki sifat agresi tinggi. Henry yakin terdapat hubungan positif antara kecepatan dan agresivitas. Dan warga Jamaika memang terkenal kasar dan agresif.

Anthony Davis, direktur olahraga di University of Technology (UTech) Jamaika, punya pendekatan lain. Menurut dia, kehebatan para pelari Jamaika adalah hasil binaan yang tertata rapi terhadap talenta yang belum terasah. Selain itu, ada dorongan yang kuat dari para atlet untuk terlepas dari belenggu kemiskinan.

”Lari cepat itu bisa dilatih. Ini seperti ilmu lainnya yang bisa dipelajari,” kata Davis. Tak mengherankan jika para pelajar di UTech mendominasi skuad atletik Jamaika. Usain Bolt dan Asafa Powell berasal dari akademi ini.

Davis juga percaya ada hubungan erat antara sukses di atletik dan kemiskinan. ”Kebanyakan atlet ini mencoba untuk lari dari kemiskinan,” ucapnya. Olahraga, bagi mereka, adalah kesempatan mendapat edukasi lebih tinggi, dan itu akan membuat mereka menjadi warga terhormat.

Sore itu, saat namanya diumumkan pembawa acara sebelum bertanding, ketegangan Bolt mereda. ”Saat itu saya berpikir inilah waktunya,” katanya. Keyakinannya terbukti. Dia meraup medali emas sekaligus memberi kado bagi Jamaika, yang merayakan hari kemerdekaan esok harinya. Bolt benar-benar telah menjadikan dirinya sebagai warga terhormat.

Firman Atmakusuma, Muhamad Rizki (Telegraph.co.uk, Glendoncaba.com, Sfgate.com)


Perbandingan Rekor Dunia
Asafa PowellUsain Bolt
9,77
Athena, Yunani 14 Juni 2005
9,72
New York, Amerika 31 Mei 2008
9,763
Gateshead, Inggris 11 Juni 2006
9,69
Beijing, Cina 16 Agustus 2008
9,762
Rieti, Italia 9 September 2007
9,58
Berlin, Jerman 16 Agustus 2009

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus