Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Peranakan Tionghoa Bukanlah Orang Lain

Mereka bukanlah komunitas tunggal dengan stereotipe yang diembuskan Orde Baru: antisosial, gila uang, dan tak peduli lingkungan.

12 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peranakan Tionghoa di Nusantara
Penulis: Iwan Santosa
Tebal: xx + 316 hlm
Edisi: I, Mei 2012
Penerbit: Penerbit Buku Kompas

TAK semua peranakan Tionghoa semakmur Liem Sioe Liong. Di masa tuanya, Encek (paman) Ek Ceng masih mencangkul kebun yang ia tanami singkong, pepaya, kacang, serta buah-buahan untuk menghidupi keluarganya. Hingga kemudian kedamaiannya terusik oleh pembangunan perumahan buat orang-orang gedongan. Hari-hari Ek Ceng sebagai petani pun berlalu.

Sebagian tetangga Ek Ceng pindah ke udik dan bertani di pedalaman. Sebagian lainnya mencoba berdagang di kota, tapi menjumpai peruntungan mereka bukan di situ. "Kami semua turun-temurun jadi petani. Tidak punya keahlian untuk berdagang atau hidup di kota," tutur Yap Cun The, petani berusia 60 tahun yang tersudut hingga di Nalagati, sebuah dusun yang terletak di Kabupaten Tangerang.

Perbauran hidup antara orang-orang yang kerap disebut Cina Benteng dan suku Betawi, Banten, serta Sunda berlangsung akrab. Hidup mereka cair tanpa sekat berkat gambang kromong, tari cokek, kawin campur, dan kue keranjang untuk perayaan Imlek. Lenong Betawi serta barongsai dan wayang potehi kerap tampil bersama untuk merayakan acara tahunan yang digelar di kelenteng.

Jejak peleburan peranakan Tionghoa ke kultur setempat sangat terasa pula di Bali, bahkan sudah dimulai sejak akhir 1200-an, yang ditandai oleh perkawinan Raja Jaya Pangus dan Kang Tjin We. Kenangan tentang pasangan ini diukir dalam sepasang barong landung: lelaki berkulit hitam bermata lebar dan perempuan berkulit putih bermata sipit. Hingga kini, karakter pasangan ini masih dihormati oleh warga peranakan ataupun Bali.

Lewat sketsa-sketsa pendeknya, Iwan Santosa mengisahkan ragam kehidupan peranakan Tionghoa di negeri ini. Kisah perihal kesukaran ekonomi, ketersingkiran dari "kemajuan zaman", dan ketertinggalan dalam pendidikan yang mereka alami sama persis seperti yang dirasakan suku-suku lain. Sketsa-sketsa ini berbicara betapa peranakan Tionghoa itu bukanlah komunitas tunggal dengan stereotipe yang diembuskan Orde Baru: antisosial, gila uang, dan tidak peduli lingkungan.

Buku ini menampik stereotipe seperti itu. Pembauran yang berlangsung alamiah sudah terjadi jauh sebelum rezim Orde Baru menggaungkan gagasan serupa, yang dalam prakteknya dibingkai oleh kepentingan politik yang sanggup membangkitkan prasangka dan mudah menyulut prahara. Di dalamnya terpatri jejak kolonial Belanda, yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas: Eropa, Asia (termasuk Arab dan Tionghoa), dan pribumi.

Iwan menyusuri tempat-tempat yang menjadi bukti bahwa peranakan Tionghoa bukanlah warga yang datang kemarin sore. Seperti direkam Iwan, di Kampung Pekojan, di sisi kawasan Glodok, Jakarta Barat, orang Tionghoa asli kampung ini memiliki tradisi bersalam­an ala muslim. Di kampung ini, orang Tionghoa, Arab, dan Melayu bersaudara sejak zaman dulu. Asimilasi, pembauran, peleburan—apa pun sebutannya—berjalan tanpa dipaksakan dan tanpa aroma politik sedikit pun.

Sebagai kumpulan sketsa, tumpang-tindih dan pengulangan cerita masih terjumpai dalam buku ini. Namun tak mengurangi kualitas pesan yang disampaikan Iwan bahwa kohesivitas di masyarakat akar rumput sesungguhnya demikian kuat dan sudah berlangsung sangat lama. Jejaknya melekat dalam wayang potehi yang dimainkan dalang arek Suroboyo, masjid Lautze bergaya arsitektur paduan Cina-Arab, novel Bunga Roos dari Tjikembang (1927) yang ditulis sastrawan Kwee Tek Hoay, ataupun peran historis mereka dalam perjuangan kemerdekaan.

Catatan perjalanan Iwan ini, dengan desain sampul yang "sangat Indonesia", mengingatkan pada pengalaman masa kecil ketika kepentingan politik berusaha memorak-porandakan kohesivitas itu selepas peristiwa berdarah 1965. Tapi, bagi anak sekolah dasar di sebuah kecamatan di tepi Sungai Brantas, Jawa Timur, upaya itu tak mampu menghancurkan persahabatan anak-anak Jawa dengan peranakan Tionghoa. Mereka tetap bermain bola, menirukan kungfu ala Bruce Lee, membuat lampion bersama untuk merayakan Imlek, dan berbagi es lilin. Sayangnya, untuk waktu yang lama, pembauran alamiah itu tercemar oleh stigma negatif yang diembuskan rezim penguasa.

Dian R. Basuki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus