Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUSANA muslimah kini memasuki era baru," kata Dian Pelangi pada Sabtu siang yang berlimpah sinar matahari. Kami duduk di ruang depan butiknya di Bintaro, Jakarta, mengelilingi meja marmer, sambil sesekali tersenyum kepada tamu yang datang dan pergi. Di pertengahan bulan puasa, butiknya penuh pelanggan yang mencari baju baru untuk Hari Raya. Lebaran selalu menjadi puncak penjualan pakaian muslim.
Busana muslimah era baru—yang tadi ia bilang itu—tergambar dari apa yang Dian pakai: gaun katun merah jambu, blazer putih-hitam bermotif geometris, dan jilbab jumputan warna-warni yang terkesan berlapis-lapis. Kasual, mencerminkan kemudaan, dan berani bermain dengan elemen mode meski tak berlebihan.
Riasan di wajah membuat alisnya yang horizontal semakin kentara. Bentuk alis yang—menurut ahli raut wajah (fisiognomi) Naomi R. Tickle—biasanya dimiliki oleh orang yang memproduksi estetika.
Dian perancang busana lulusan l'Ecole Supérieure des Arts et techniques de la Mode (ESMOD), sekolah mode pertama di Prancis yang buka cabang di Indonesia. Tiga belas butik Dian Pelangi tersebar di Indonesia hingga Malaysia. Rancangannya menjadi tren dan ditiru habis-habisan di Tanah Abang. Perempuan 21 tahun ini adalah lokomotif era baru busana muslimah. Selain dia, ada Ria Miranda, Fifi Alvianto, Jenahara Nasution, dan Ghaida Tsurayya. Semuanya muda dan cantik.
Meski Islam datang ke Indonesia sejak lebih dari seribu tahun lalu, busana muslimah baru marak dipakai pada 1980-an. Fenomena ini direkam oleh Emha Ainun Nadjib dalam pementasan Lautan Jilbab bersama Jamaah Shalahuddin pada 1988. Sosiolog Belanda, Niels Mulder, mengatakan, bersamaan dengan pementasan Lautan Jilbab, busana muslimah mulai menjadi budaya masyarakat.
Pada saat itulah muncul satu-dua perancang busana muslimah, seperti Ida Royani dan Ida Leman. Setelah Reformasi, perancang yang menyediakan koleksi premium untuk perempuan berjilbab semakin banyak. Hanya, rancangan mereka masih terlalu unik untuk bisa dipakai sehari-hari. "Pangsa pasarnya ibu-ibu dan terkesan ribet," kata Jenahara, putri pasangan Keenan Nasution-Ida Royani.
Anak-anak muda yang ingin tampil kasual tak melirik rancangan yang terkesan berat dan tua itu. Mereka membeli busana biasa lalu memasang jilbab di atasnya. "Tapi, karena tidak dirancang sebagai busana muslimah, perlu banyak penyesuaian," kata Dian. Lengan baju yang kurang panjang harus ditambahi kaus dalam. Demikian juga gaun panjang dengan bahan transparan. "Akibatnya, berlapis-lapis dan panas."
Hal itu mulai berubah pada 2009, ketika Dian memamerkan koleksi bertajuk Turkish Delight. Orang sadar, busana muslimah bisa dibuat modis. Apalagi setelah dia meluncurkan line baru, DP by Dian Pelangi. Rancangannya terlihat muda, kasual, dan tidak berat oleh elemen mode. Jilbab tak lagi segitiga yang kaku, tapi tak juga berbentuk aneh seperti yang disodorkan perancang senior. "Intinya adalah mix and match," kata Dian.
Maksudnya, dulu para perancang menjual busana muslimah satu set: dari atas hingga bawah. Kini para perancang muda cenderung menjual dalam potongan terpisah. Orang bisa membeli atasannya saja dari koleksi seorang perancang, lalu memadukannya dengan bawahan dari perancang lain. Mereka bebas berkreasi. Termasuk berbagai cara memakai jilbab. Sementara dulu jilbab berbentuk segitiga, kini kebanyakan memakai pashmina persegi panjang.
Tapi bukankah untuk melakukan padu padan perlu pengetahuan mode yang baik? "Tentu, tapi masyarakat sekarang kan sudah pintar," kata Dian. "Ada Internet dan majalah mode. Mereka bisa mengambil inspirasi dari mana pun."
Hal yang sama dilakukan Jenahara. Hanya, dia menyertakan lembar panduan padu padan. "Dengan panduan itu, pembeli tahu enaknya memakai baju ini dengan bawahan apa atau celana ini dengan atasan seperti apa," katanya.
Jenahara perempuan 27 tahun yang berbicara dengan ringan. Ia mewarisi banyak hal dari ibunya: wajahnya yang bergaris Timur Tengah dan bakatnya mendesain baju. Baru tahun ini lulusan sekolah mode Susan Budihardjo itu membuka butik, tapi sudah enam jaringan butik yang ia miliki. Omzetnya Rp 200 juta per bulan. Seperti koleksi karya perancang busana muslimah muda, ia banyak memakai bahan katun dan kaus.
Meski memiliki sejumlah kesamaan, Jenahara yakin setiap perancang punya karakteristik dan pasar berbeda. Sementara koleksi Dian berwarna cerah dan memakai motif jumputan atau batik, Jena memilih polos dan gelap. "Bahkan, kalau menuruti hati, saya ingin koleksi semua berwarna hitam," katanya.
Casa Elana milik Fifi Alvianto juga jarang memakai motif, terutama untuk koleksi Eid Series 2012. Tapi lulusan Multimedia Institut Teknologi Bandung ini memberi warna yang lebih cerah dan potongannya tidak sesederhana Jenahara. Kebebasan memadu-padankan busana juga tecermin dalam koleksi ini. Fifi, yang juga fashion blogger, tentu tak ingin menjebak pelanggannya dalam penampilan monoton.
Lain lagi dengan rancangan Ria Miranda, yang tahun ini membuka delapan dari sembilan butiknya. Rancangan Ria, yang satu kelas dengan Dian di ESMOD, didominasi warna pastel dan lebih feminin. Sebagian besar tanpa motif. Kalaupun ada, hanya motif bunga kecil. "Ini sesuai dengan karakter saya," katanya. Ria memang kalem. Cara bicaranya lembut dan lebih banyak tersenyum.
Tiap tiga bulan Ria mendesain 25 model baju. Masing-masing dibuat 300 lembar pakaian. Artinya, setiap triwulan ada 7.500 lembar baju yang dia produksi. Harganya antara Rp 250 ribu dan Rp 600 ribu. Untuk line yang lebih muda, Shabby Chic, memang harganya lebih murah, di bawah Rp 300 ribu. Tapi, untuk line premium, Ria Miranda Prime, harganya bisa Rp 10 juta. Seperti koleksi rekan-rekannya, baju Ria bisa dipadu-padankan. Sebagai bekal padu padan, dia menerbitkan buku Inspiration, yang berisi paduan berbusana dan belasan cara memakai jilbab modern.
Siapakah pemakai busana mereka? Dian menyorongkan buku setebal 583 halaman ke atas meja. Judulnya Hijab Street Style, baru terbit tiga hari sebelumnya. Konsep buku tersebut mirip situs TheSartrorialist.com, yang memotret mode jalanan. Isinya foto-foto para pemakai jilbab modis di 17 kota Indonesia, plus Bangkok, Kuala Lumpur, dan Singapura. Mereka berani bergaya dengan jilbab aneka rupa. Bukan model di atas catwalk, perempuan itu kebanyakan dipotret di tempat umum.
Di bagian akhir buku itu ada bab The Inspirators, para perempuan yang dianggap memberi inspirasi dalam gaya berjilbab masa kini. Salah satunya artis Eddies Adelia, yang berjilbab sekitar dua tahun lalu. Bagi Eddies, berjilbab tidak membuatnya mati gaya. "Saya bisa memadu-padankan pakaian," tuturnya pekan lalu. "Saya tidak harus membeli banyak baju baru, justru memanfaatkan banyak baju lama dipadukan dengan jilbab." Dia menambahkan, "Kalau untuk pengajian, saya menggunakan jilbab yang simpel dari bahan katun Paris."
Sebagian pemakai busana muslimah modis ini tergabung dalam Hijabers Community, yang didirikan dua tahun lalu. Mereka juga terpengaruh gaya perancang Dina Toki-O dari Mesir dan Hana Tajima dari Inggris.
Kelompok ini memang lebih senang memakai istilah hijab ketimbang jilbab. "Jilbab itu kan hanya kerudung, sedangkan hijab itu busana yang menutup semua aurat," kata Dian. Dari situlah kemudian ada yang menyebut mereka sebagai hijabista—paduan antara hijab dan fashionista atau penggemar mode. Dian hanya tersenyum saat ditanya tentang hal itu. "Kami bukan sosialita yang memakai baju mahal," katanya. "Kami hanya ingin tampil sesuai dengan karakter kami."
Qaris Tajudin, Hadriani P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo