Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ditta Miranda Jasjfi, 45 tahun, memulai dengan ayunan kecil tangan kanan. Tangannya mulai mengembang, kakinya sedikit terbuka seperti membentuk kuda-kuda.
Kakinya kemudian melangkah menyamping kecil-kecil, lehernya seperti tertarik, kedua pergelangan tangannya ditautkan di depan dada dan melambai seperti kepak sayap burung. Dengan perlahan, ia mulai meliuk dan membuat gerakan seperti terbang dengan sayap. Rambut dan rok panjangnya ikut terayun. Dengan gerak yang anggun, dia menelungkup dan menggerakkan kedua kakinya ke belakang bertumpu pada lutut. Ditta mengakhirinya dengan berjalan menuju sisi kiri panggung.
Ditta adalah penari Indonesia yang malang-melintang di Eropa sebagai penari koreografer-koreografer terkemuka Jerman. Ia murid Pina Bausch (almarhum), pelopor Tanztheater di Jerman. Pada 28 Juli lalu, ia berpentas di Goethe-Institut, Jakarta, menampilkan secuil koreografi Pina berjudul Ten Chi. Ditta menyuguhkan bagiannya di karya itu selama lima menit.
Selama lima menit itu Ditta menampilkan beberapa gerakan detail khas penari Jepang. "Saya mengingat ketenangan dan energi mereka," ujarnya. Koreografi inilah yang mengantar Ditta mendapatkan penghargaan penari terbaik pilihan kritikus se-Eropa pada 2004. Karya ini secara lengkap dipentaskan terakhir di London, dalam acara London 2012 Festival/Cultural Olympiad, Juni-Juli lalu.
Selanjutnya, Ditta bersama penari balet Siko Priyanto menarikan TOK karya Farida Oetoyo-guru tarinya saat masih di Jakarta. Mengenakan topeng putih, berkain Bali sedada, keduanya mengayun naik-turun seperti burung hendak terbang. Dengan iringan nada gending, tubuh mereka merendah dan menggeliat bersama. Koreografi dan musiknya ini telah berubah dari aslinya yang dibuat pada 1986. Kali ini Wong Aksan memberi sentuhan musiknya. "Ini sudah personal Ditta," ujar Farida.
Selepas TOK, Ditta kembali membawakan bagian dari solonya dalam karya Pina Bausch: Vollmond. Februari tahun depan, koreografi ini bakal dipentaskan di London. Koreografi aslinya panggung berlatar belakang curahan air dan batu raksasa tiruan. Para penari bebas bergerak di dalam panggung yang menjadi seperti kolam.
Di Goethe-tanpa air tentunya-Ditta mempertontonkan secuplik keterlibatannya di situ. Dia mulai dengan menjimpit gaun panjang warna salem dan mengangkatnya hingga lutut. Mendadak gerakan terhenti, seperti takut atau terkejut tergambar di wajahnya. Sejenak kemudian, sementara tubuhnya membungkuk, kedua tangannya mengayun dan menangkap sesuatu. Tangannya lalu terentang seperti penari Bali dan sedikit bergerak.
Badan Ditta kemudian sedikit condong ke belakang. Leher dan kepalanya ikut memutar hingga rambutnya berantakan menutup wajahnya. Tubuh mungil itu bergerak lentur, jari-jemari tangannya terus bergerak-gerak seperti orang meniup suling. Berhenti agak di pinggir, perempuan berambut panjang ini meringkuk, lalu mengelus-elus dengan cepat pahanya. Usapannya bergerak naik menelusuri perut, dada, dan wajahnya, seperti sangat menginginkan kehadiran seseorang.
Kedua tangannya menjumput rambutnya yang panjang dan mengangkatnya. Matanya pun agak membelalak. Seperti penanda keterkejutan. Malam itu kita melihat kekuatan Ditta. Hanya lima menit, tapi ragam ekspresi geraknya begitu kaya-dan terasa milik Ditta sendiri.
Dian Yuliastuti
Ditta Miranda:
Pina Bilang Tarian Saya Unik
Tahun 1979. Ditta Miranda ingat ia masih berumur 12 tahun. Saat itu, Pina Bausch dan rombongan menyambangi Jakarta. Ditta menonton pertunjukan mereka di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki. Hujan mengguyur Jakarta kala itu. Ditta kecil terpukau oleh salah satu karya Pina Bausch yang ditampilkan: The Rite of Spring. Ia membayangkan dirinya menjadi balerina. Sama sekali tak pernah disangkanya, 21 tahun kemudian, ia justru menjadi salah satu penari utama andalan Tanztheater Wuppertal pimpinan Pina Bausch.
Bahkan dia menari solo untuk nomor The Rite of Spring yang pernah disaksikannya semasa kecil itu. Berikut ini petilan wawancara dengan penari bertubuh mungil dengan rambut sepinggang itu.
Sejak kapan mulai belajar menari?
Sebenarnya sejak berumur empat tahun sudah suka menari. Kami tinggal di Paris dan Ayah-Ibu sering mengajak menonton balet Opera de Paris. Saat itu, saya selalu berdiri dan ikut menari-nari. Lalu saya dimasukkan ke sekolah balet setempat. Begitu pulang ke Indonesia, umur 10 tahun, saya masuk Sumber Cipta (pimpinan Farida Feisol). Di sana belajar balet, tari tradisional seperti Jawa, Sunda, Sulawesi, dan Bali, tango, cha-cha, dan sebagainya. Saya suka semuanya.
Bagaimana bisa sampai bergabung dengan Pina Bausch?
Ke Jerman, saya tadinya hanya belajar bahasa Jerman di Schwbisch Hall. Lalu saya diundang Folkwang Hochschule dan masuk ke sana. Setelah tiga setengah tahun bersekolah, saya lulus sebagai murid terbaik pada 1993. Setelah itu, bergabung di Folkwang Tanzstudio selama setahun. Kemudian saya menjadi penari Susanne Linke dan Urs Dietrich di Bremer Theater (Bremen) selama enam tahun, 1994-2000. Sejak 2000, saya bergabung di Tanztheater Wuppertal Pina Bausch, sampai sekarang.
Gampangkah masuk ke Tanztheater?
Oh, susah sekali. Oh iya, saya baru tahu bahwa di sekolah itu dulu Pina juga yang menyeleksi. Dari 300 pelamar, diambil tujuh orang. Dari tujuh ini, diambil satu. Pina tadinya mencari penari yang tinggi untuk pengganti penarinya yang keluar. Saya tidak tahu dia mencari yang tinggi, sementara saya kan kecil.
Pina bilang menari saya bagus, kualitasnya bagus, kepribadian saya bagus. Dan soal kepribadian ini diulang berkali-kali. Tapi dia bilang minta waktu untuk menimbang dan mengubah cara pandangnya, tidak harus penari yang tinggi. Saya harus bolak-balik menanyakan keputusannya selama tiga bulan. Sampai akhirnya saya menyerah. Saya mau balik ke Indonesia, sudah menyusun rencana mau mengajari anak cacat menari. Hari itu saya sudah mau beli tiket pulang. Ibu saya sudah senang, bahkan mau ke Jerman membantu beres-beres. Tapi, suatu pagi, asisten Pina menelepon dan saya diterima. Bahkan dia bilang saya harus belajar banyak solo.
Apa yang diinginkan Pina dari penarinya?
Hmm dia ingin kami menjadi diri kami sendiri, jujur, sealami mungkin. Dia harus merasakan apa yang kami rasakan. Itu tidak mudah, apalagi saya pemalu dan penakut. Tapi dia tahu cara mengeluarkan kualitas yang dia mau dari penarinya. Saya sendiri enggak tahu bagaimana caranya. Dia juga jarang memuji. Kalau benar atau bagus, tidak bilang apa-apa. Tapi dia tahu yang kami rasakan. Dia bilang tarian saya unik dan sulit diganti.
Bagaimana proses kreatif Anda mencari gerak tari?
Pina mau lihat apa pun ide kami. Kami 100 persen dibebaskan mencari gerakan. Kadang ada gerakan yang tak sengaja kami buat, eh, dia malah suka. Idenya sering dari pertanyaan. Dia minta penarinya menjawab pertanyaannya dengan gerakan. Misalnya, dia tanya tentang love, longing, tulis nama dengan gerakan.
Setiap gerakan direkam, jadi setiap penari ada videonya sendiri. Setelah beberapa bulan, Pina melihatnya bersama penari. Mana yang dia suka atau tidak. Setelah itu, disambung, dirangkai jadi koreografi. Jadi seperti membuat puzzle. Dia yang berhak mengubahnya.
Ide Anda sendiri dari mana?
Kalau saya, dari pengalaman hidup. Seperti rambut (dia mengambil dua jumput rambut panjangnya dan mengangkatnya), ini untuk pertanyaan tentang perasaan jika kaget atau melihat sesuatu yang penting. Ada juga gerakan di Vollmond. Dia tanya angin. Saya suruh penari laki-laki ke bawah saya. Saya, yang memakai rok panjang, melompat-lompat dan dia merasakan anginnya dari rok saya. Atau hujan. Waktu itu saya membayangkan airnya menetes di wajah atau badan (sambil memperagakan dua jari telunjuk menotok wajah atau badannya). Ada juga, ditanya badai, saya berputar dengan tangan terentang.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo